Bagaimana Menerapkan Hukum Acara Peradilan Tipikor?

Rabu, 29 Juni 2022 - 13:00 WIB
loading...
Bagaimana Menerapkan Hukum Acara Peradilan Tipikor?
Romli Atmasasmita (Foto: Dok. Sindonews)
A A A
Romli Atmasasmita
Guru Besar Hukum Universitas Padjadjaran

PERTANYAAN ganjil di atas yang muncul berdasarkan pengamatan dan pengalaman praktik ternyata masih perlu, aktual dan relevan dengan kondisi dan situasi praktik penegakan hukum terhadap berbagai kasus tindak pidana korupsi (tipikor).

Bukti-bukti dalam beberapa perkara tipikor telah membuktikan terdapat kekeliruan mendasar. Kekeliruan tersebut terkait pertanyaan seperti apakah kejaksaan dan pengadilan tipikor berwenang memeriksa , menuntut dan mengadili kasus pelanggaran undang-undang (UU) lain selain UU Tipikor? Hal ini berkaitan dengan masalah kewenangan dan lingkup objek UU Nomor 31 tahun 1999 yang diubah menjadi UU Nomor20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dan Pasal 6 UU Nomor 46 Tahun 1999 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.

Pasal 14 UU Tipikor menyatakan sebagai berikut: Setiap orang yang melanggar ketentuan undang-undang yang secara tegas menyatakan bahwa pelanggaran terhadap ketentuan undang-undang tersebut sebagai tindak pidana korupsi berlaku ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini (UU Tipikor).

Pelanggaran UU administratif yang menyatakan sebagai tipikor hanya terdapat pada Pasal 36A UU Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas UU Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. UU tersebut menyatakan sebagai berikut: Pegawai pajak yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri secara melawan hukum dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang untuk memberikan sesuatu, untuk membayar atau menerima pembayaran, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri, diancam dengan pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan perubahannya.

Dalam praktik banyak terjadi kekeliruan penerapan hukum, antara lain yaitu perkara pelanggaran UU Pasar Modal, UU Perbankan dan UU administratif pidana lain yang dituntut dan diadili sebagai perkara tipikor sedangkan UU tersebut tidak termasuk lingkup ketentuan Pasal 14 UU Tipikor.

Bertolak dari pengamatan dan pengalaman praktik sebagai tenaga ahli jelas dan nyata aparat penegakan hukum (APH) tidak memperhatikan seksama, tidak teliti, serta mengabaikan keberadaan ketentuan Pasal 14 UU Tipikor.

Hal yang sama terjadi dalam penerapan Pasal 6 ayat (4) UU Nomor 6 tahun 1999 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Wewenang Pengadilan Tipikor dalam Pasal 6 aquo menyatakan, Hakim berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara: a. tindak pidana korupsi; b. tindak pidana pencucian uang yang tindak pidana asalnya adalah tindak pidana korupsi; dan/atau c. tindak pidana yang secara tegas dalam undang-undang lain ditentukan sebagai tindak pidana korupsi. Pasal 6 ayat (4) UU aquo merupakan padanan Pasal 14 UU Tipikor sehingga sesungguhnya pengadilan tipikor dilarang dan tidak dibenarkan memeriksa dan megadili perkara pelanggaran administratif yang tidak diakui sebagai tipikor.

Merujuk pada dua pasal di dalam dua UU aquo, jelas dan nyata bahwa kedua pasal tersebut membatasi penerapan hukum acara peradilan tipikor yang selama ini dalam praktik telah dilanggar dan telah banyak terpidana yang kini mendekam di Lapas karena kekeliruan penerapan hukum semata-mata.

Dalam sudut pandang historis dan sosiologi, hukum merupakan cermin dari pandangan masyarakatnya yang selalu berubah-ubah dari masa ke masa.Perubahan tersebut sangat tergantung dari penilaian masyarakat mengenai adil dan tidak adil,perbuatan tercela dan tidak tercela. Pandangan masyarakat Indonesia terhadap korupsi telah ditetapkan dalam Ketetapan MPRS Nomor X Tahun 1988 yang diwujudkan di dalam UU Nomor 3 tahun 1971, UU Nomor 31 tahun 1999 dan terakhir UU Nomor 20 tahun 2001.

Perubahan demi perubahan UU Tipikor mencerminkan kehendak bangsa Indonesia yang secara serius menuntut pemberantasan korupsi yang tuntas sehingga diharapkan kemiskinan rakyat dapat ditiadakan dan kesejahteraan meningkat. Di sisi lain pelaku tipikor dapat dicegah dan dipidana sehingga menjadi jera/tobat/kapok dan kerugian negara akibat korupsi dapat dicegah atau dapat dikembalikan.

Namun demikian semangat bangsa yang antikorupsi, kolusi, nepotisme (KKN) terutama terhadap pelaku korporasi harus dilandasi dan dibatasi oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku serta mempertimbangkan dampak (outcome) yang terjadi dari pemberantasan tipikor. Perubahan pandangan terhadap antikorupsi harus dievaluasi mengingat pembentukan hukum maupun penegakan hukum era globalisasi abad 21 serta dampaknya tidak terlepas dari kondisi negara dan bangsa termasuk Indonesia dari ketergantungan perkembangan ekonomi global saat ini.

Kehidupan bangsa dan negara era globalisasi juga tergantung dari arah perkembangan ekonomi dunia di mana kedudukan korporasi adalah counter-partner negara dalam mencapai cita-cita kesejahteraan rakyat.

Politik hukum negara yang bersifat unilateral dalam hubungan antarbangsa sebaiknya dievaluasi dengan mempertimbangkan mudharat dan maslahatnya bagi bangsa dan negara. Tidak semua perkara korupsi oleh korporasi berdampak negatif pada kesejahteraan rakyat karena juga terdapat sisi positif. Di sisi lain, filosofi hukum pidana yang bertujuan penjeraan di era abad 21 telah lama ditinggalkan bahkan di beberapa negara telah berhasil digunakan pendekatan baru dengan tujuan memulihkan keadaan akibat kerusakan yang ditimbulkan oleh le talionis, dikenal dengan restorative justice.

Ideologi baru abad 21 tersebut telah terbukti memberikan kontribusi positif baiik terhadap pelaku maupun korban seperti contoh penyelesaian pidana kasus suap oleh pabrikan Boeing, terhadap Dirut PT Garuda yang berakhir pembayaran denda penalti sebesar 3,6 miliar euro atau sekitar Rp62,18 triliun (kurs Rp 17.273) kepada AS, Inggris dan Perancis. Ketiga negara asal pabrikan Airbus-Boeing telah menerapkan politik hukum pidana terbaru yang disebut, Deferred Prosecution Agreement (DPA) -mirip keadilan restorative justice (RJ).

Politik non-penal tersebut telah berhasil memberikan pemasukan kepada ketiga negara sebesar 3.6 miliar euro dan di sisi lain korporasi Boeing tidak dihukum dengan kewajiban harus kooperatif bersedia merestrukturisasi serta negara wajib melindungi korporasi tersebut dari penuntutan pihak lain. Sedangkan kepada lima negara korban suap termasuk Indonesia tidak diberikan kompensasi yang sama.

Merujuk pada contoh kasus tersebut jelas dan nyata bahwa politik hukum pidana kelima negara korban tersebut (state’s victim) telah jauh tertinggal dari ketiga negara-negara yang justru telah mendorong negara lain terutama negara berkembang untuk mengadopsi dan meratifikasi UNCAC 2003. Contoh nyata tersebut mencerminkan telah terjadi perubahan politik pemidanaan di ketiga negara penerima kompensasi dari pelaku korupsi (suap) yaitu dari politik kriminalisasi menjadi politik dekriminalisasi dan kompensasi.

Hukum acara peradilan tipikor dalam kasus suap dan pelanggaran ketentuan Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor memerlukan reevaluasi yang dianut UU Nomor 8 Tahun 1981 KUHAP sehingga dapat dicegah kerugian yang lebih besar, bukan hanya pada negara akan tetapi juga terhadap pelaku korporasi yang telah terbukti melakukan korupsi.

Politik kriminal yang terbaru ini dapat bersifat saling menguntungkan pelaku dan korban di mana kegiatan pelaku korporasi tetap dapat berlangsung dengan menghasilkan keuntungan finansial dan negara di sisi lain memperoleh keuntungan finansial dari pemasukan pajak (PPh/Ppn) dan devisa ekspor.

Baca Juga: koran-sindo.com
(bmm)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1867 seconds (0.1#10.140)