Revisi UU KPK Dinilai Langgar Asas Pembentukan Undang-Undang
Rabu, 24 Juni 2020 - 18:52 WIB
JAKARTA - Mantan Ketua Mahkamah Agung (MA) Bagir Manan memandang revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK) Nomor 19 Tahun 2019 telah melanggar asas-asas umum pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik. Menurut dia, pembentuk undang-undang yaitu DPR dan pemerintah sudah mengabaikan berbagai pendapat publik dalam proses revisi tersebut.
"Dalam negara demokrasi, mengabaikan pendapat publik dalam pembentukan peraturan perundang-undangan dapat digolongkan sebagai pelanggaran atas asas-asas umum pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik," kata Bagir saat menyampaikan keterangan sebagai ahli pemohon dalam sidang uji materi revisi UU KPK di Mahkamah Konstitusi, Rabu (24/6/2020).
Banyak pernyataan publik, baik dari kalangan akademisi, tulisan-tulisan di media massa, hingga kumpulan-kumpulan ahli yang meminta agar UU KPK yang lama tetap dipertahankan dan menghentikan pembahasan Rancangan Undang-Undang KPK versi baru. Ironinya, DPR maupun pemerintah sama sekali tidak atau kurang merespons dan mempertimbangkan pernyataan-pernyataan publik tersebut.(Baca Juga: Empat Aspek Jokowi Dinilai Enggan Keluarkan Perppu KPK)
"Dalam demokrasi, memperhatikan dengan sungguh-sungguh pandangan atau pendapat publik, merupakan suatu prosedur yang sama sekali tidak boleh diabaikan. Partisipasi publik tetap diperlukan untuk lebih menjamin perwujudan kehendak rakyat," katanya.
Hal lain yang juga dianggap telah dilanggar, menurut Bagir, yaitu aspek kehati-hatian. Padahal, aspek itu dalam tatanan demokrasi didapat dengan cara memperhatikan secara sungguh-sungguh kenyataan-kenyataan dan pandangan atau pendapat yang hidup dalam masyarakat.
Proses pembahasan revisi UU KPK tanpa melibatkan publik dilakukan dengan tergesa-gesa. Cara itu tampak dalam pembentukan beleid yang diselesaikan begitu singkat, hanya dalam waktu 12 hari. Selain mengesankan ketergesa-gesaan, juga kurang keterbukaan atau transparansi untuk membatasi partisipasi publik.(Baca Juga: Revisi UU Berlaku, Posisi Jokowi dalam Penguatan KPK Dipertanyakan)
"Kurangnya transparensi dalam pembentukan UU KPK yang baru, mengesankan ada inkonsistensi dengan pemberantasan korupsi sebagai upaya membangun pemerintahan yang bersih sebagai salah satu wujud pemerintahan yang baik atau good governance," ujarnya.
Perlu diketahui, Bagir Manan merupakan salah satu ahli yang dihadirkan pemohon yakni mantan pimpinan KPK periode 2015-2019 yaitu Agus Rahardjo, Laode M Syarief, dan Saut Situmorang. Selain dia, ahli lainnya yang dilibatkan yaitu akademisi Universitas Brawijaya Aan Eko Widiarto.
Selain mereka, beberapa pegiat antikorupsi juga melakukan gugatan terhadap UU KPK hasil revisi yang disahkan DPR pada September 2019 tersebut. Mereka antara lain eks pimpinan KPK Erry Riyana Hardjapamekas dan Mochamad Jasin, serta beberapa pemohon lainnya yaitu Jovi Andrea Bachtiar, Sholikhah, Betty Alisjahbana, dan Ismid Hadad.
"Dalam negara demokrasi, mengabaikan pendapat publik dalam pembentukan peraturan perundang-undangan dapat digolongkan sebagai pelanggaran atas asas-asas umum pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik," kata Bagir saat menyampaikan keterangan sebagai ahli pemohon dalam sidang uji materi revisi UU KPK di Mahkamah Konstitusi, Rabu (24/6/2020).
Banyak pernyataan publik, baik dari kalangan akademisi, tulisan-tulisan di media massa, hingga kumpulan-kumpulan ahli yang meminta agar UU KPK yang lama tetap dipertahankan dan menghentikan pembahasan Rancangan Undang-Undang KPK versi baru. Ironinya, DPR maupun pemerintah sama sekali tidak atau kurang merespons dan mempertimbangkan pernyataan-pernyataan publik tersebut.(Baca Juga: Empat Aspek Jokowi Dinilai Enggan Keluarkan Perppu KPK)
"Dalam demokrasi, memperhatikan dengan sungguh-sungguh pandangan atau pendapat publik, merupakan suatu prosedur yang sama sekali tidak boleh diabaikan. Partisipasi publik tetap diperlukan untuk lebih menjamin perwujudan kehendak rakyat," katanya.
Hal lain yang juga dianggap telah dilanggar, menurut Bagir, yaitu aspek kehati-hatian. Padahal, aspek itu dalam tatanan demokrasi didapat dengan cara memperhatikan secara sungguh-sungguh kenyataan-kenyataan dan pandangan atau pendapat yang hidup dalam masyarakat.
Proses pembahasan revisi UU KPK tanpa melibatkan publik dilakukan dengan tergesa-gesa. Cara itu tampak dalam pembentukan beleid yang diselesaikan begitu singkat, hanya dalam waktu 12 hari. Selain mengesankan ketergesa-gesaan, juga kurang keterbukaan atau transparansi untuk membatasi partisipasi publik.(Baca Juga: Revisi UU Berlaku, Posisi Jokowi dalam Penguatan KPK Dipertanyakan)
"Kurangnya transparensi dalam pembentukan UU KPK yang baru, mengesankan ada inkonsistensi dengan pemberantasan korupsi sebagai upaya membangun pemerintahan yang bersih sebagai salah satu wujud pemerintahan yang baik atau good governance," ujarnya.
Perlu diketahui, Bagir Manan merupakan salah satu ahli yang dihadirkan pemohon yakni mantan pimpinan KPK periode 2015-2019 yaitu Agus Rahardjo, Laode M Syarief, dan Saut Situmorang. Selain dia, ahli lainnya yang dilibatkan yaitu akademisi Universitas Brawijaya Aan Eko Widiarto.
Selain mereka, beberapa pegiat antikorupsi juga melakukan gugatan terhadap UU KPK hasil revisi yang disahkan DPR pada September 2019 tersebut. Mereka antara lain eks pimpinan KPK Erry Riyana Hardjapamekas dan Mochamad Jasin, serta beberapa pemohon lainnya yaitu Jovi Andrea Bachtiar, Sholikhah, Betty Alisjahbana, dan Ismid Hadad.
(abd)
Lihat Juga :
tulis komentar anda