Menyikapi Gerakan Khilafah dan Radikalisme di Indonesia
Selasa, 07 Juni 2022 - 13:54 WIB
Tindak pidana terorisme bukan tindak politik atau tindak pidana yang disponsori oleh kegiatan politik atau tindak pidana yang berkolaborasi dengan politik. Secara hukum, terorisme tidak ada kaitan dengan politik, sehingga sekalipun kemudian terdapat bukti keterlibatan parpol tertentu, tetap saja penegak hukum harus berpegang teguh pada ketentuan peraturan per UU-an yang berlaku. Aparat tidak perlu ragu-ragu untuk melakukan tindakan pro justitia, termasuk terhadap pengurus partai politik tersebut.
Namun di sisi lain, dalam menghadapi terorisme sekalipun telah terdapat pengaturan tegas dalam UU Terorisme. Aparat harus merujuk pada KUHP yang mengatur antara lain larangan perbuatan yang mengandung pernyataan permusuhan, kebencian atau penghinaan di antara atau terhadap golongan-golongan rakyat Indonesia (Pasal 157 KUHP); perbuatan yang menentang penguasa umum (pemerintah) dengan kekerasan, atau menentang suatu hal lain seperti dimaksud alam pasal di atas dengan maksud agar isi yang menghasut diketahui atau lebih diketahui oleh umum (Pasal 161 KUHP); perbuatan dengan sengaja di muka umum dengan tulisan menghina suatu penguasa/pemerintah yang ada di Indonesia (Pasal 207 KUHP).
APH juga haus menyelidiki perbuatan makar dan perbuatan persiapan untuk melakukan makar (Pasal (Pasal 104, 108, dan Pasal 107 KUH). Tidak ada alasan hukum, tidak ada UU atau ketentuan lain yang melarang perbuatan pernyataan berbau khilafah dan secara terang-terangan di muka umum menghasut dan atau menggerakan masyarakat untuk membentuk negara khilafah atau radikalisme.
Bukti dari hal ini adalah pencabutan izin ormas HTI dan FPI serta tindakan hukum terhadap HRS dan tuntutan terorisme terhadap M (tokoh FPI) dan tercatat 922 narapidana terorisme di seluruh Lapas di Indonesia.
Di dalam menghadapi Gerakan radikalisme dan terorisme demi tegaknya NKRI dan Pancasila yang berbasiskan perlindungan Hak Asasi Manusia, diperlukan ketegasan sikap pemerintah. Negeri ini ber-Pancasila, sehingga pendekatan humanis-agamis dan kebebasan hak dan tanggung jawab berbangsa dan bernegara tetap dipertahankan dan diwujudkan dalam setiap langkah hukum, termasuk tindakan Densus 88 Antiteror. Selain langkah hukum, juga program deradikalisasi dan pembinaan serta rehabilitasi.
Namun pendekatan hukum dan non-hukum tersebut tidak menimbulkan efek jera dan tidak ada pengaruhnya terhadap aktivitas pendukung khilafah. Bahkan secara terang-terangan dan terbuka berani seorang ulama-kelompok masyarakat tertentu menyatakan bahwa yang cocok bagi negeri ini negara khilafah dan bom bunuh diri adalah syahid.
Pernyataan tersebut termasuk penghasutan terhadap masyarakat untuk 'memisahkan' NKRI dari Pancasila dan UUD 45 serta berpotensi memecah belah persatuan Indonesia berdasarkan status agamanya. Pernyataan ulama tersebut jelas bertentangan dengan Konstitusi UUD 45 yang telah mengakui perbedaan dalam kesatuan tanpa membeda-bedakan atas dasar suku, agama dan etnik.
Ratifikasi Indonesia atas International Convention for the Suppression on Financing Terrorism, dengan UU Nomor 9 Tahun 2013 membuktikan komitmen Indonesia menghadapi pendanaan terorisme. Setiap bentuk pengumpulan dana atau kampanya pendanaan untuk membantu konflik Suriah dan di negara Arab lain merupakan perbuatan pelanggaran hukum, sehingga seharusnya dicegah dan atau ditindak secara hukum tanpa kecuali siapa pun pelakunya.
Tidak ada kegiatan terorisme tanpa pendanaan dan kegiatan tersebut selalu dibalut kegiatan sosial kemasyarakatan. Dalam hal ini betapa pentingnya peranan masyarakat untuk memberikan informasi kegiatan radikalisme dan terorisme serta PPATK untuk mengumpulkan informasi dan menelusuri asal muasal dana-dana yang masuk dan keluar dari orang per orangan atau ormas atau parpol tertentu.
Dana yang dimaksud dalam Pasal 1 angka 7 UU Nomor 9 tahun 2013 adalah semua aset atau benda bergerak atau tidak bergerak, baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud, yang diperoleh dengan cara apa pun dan dalam bentuk apa pun, termasuk dalam format digital atau elektronik, alat bukti kepemilikan, atau keterkaitan dengan semua aset atau benda tersebut, tetapi tidak terbatas pada kredit bank, cek perjalanan, cek yang dikeluarkan oleh bank, perintah pengiriman uang, saham, sekuritas, obligasi, bank draf, dan surat pengakuan utang.
Namun di sisi lain, dalam menghadapi terorisme sekalipun telah terdapat pengaturan tegas dalam UU Terorisme. Aparat harus merujuk pada KUHP yang mengatur antara lain larangan perbuatan yang mengandung pernyataan permusuhan, kebencian atau penghinaan di antara atau terhadap golongan-golongan rakyat Indonesia (Pasal 157 KUHP); perbuatan yang menentang penguasa umum (pemerintah) dengan kekerasan, atau menentang suatu hal lain seperti dimaksud alam pasal di atas dengan maksud agar isi yang menghasut diketahui atau lebih diketahui oleh umum (Pasal 161 KUHP); perbuatan dengan sengaja di muka umum dengan tulisan menghina suatu penguasa/pemerintah yang ada di Indonesia (Pasal 207 KUHP).
APH juga haus menyelidiki perbuatan makar dan perbuatan persiapan untuk melakukan makar (Pasal (Pasal 104, 108, dan Pasal 107 KUH). Tidak ada alasan hukum, tidak ada UU atau ketentuan lain yang melarang perbuatan pernyataan berbau khilafah dan secara terang-terangan di muka umum menghasut dan atau menggerakan masyarakat untuk membentuk negara khilafah atau radikalisme.
Bukti dari hal ini adalah pencabutan izin ormas HTI dan FPI serta tindakan hukum terhadap HRS dan tuntutan terorisme terhadap M (tokoh FPI) dan tercatat 922 narapidana terorisme di seluruh Lapas di Indonesia.
Di dalam menghadapi Gerakan radikalisme dan terorisme demi tegaknya NKRI dan Pancasila yang berbasiskan perlindungan Hak Asasi Manusia, diperlukan ketegasan sikap pemerintah. Negeri ini ber-Pancasila, sehingga pendekatan humanis-agamis dan kebebasan hak dan tanggung jawab berbangsa dan bernegara tetap dipertahankan dan diwujudkan dalam setiap langkah hukum, termasuk tindakan Densus 88 Antiteror. Selain langkah hukum, juga program deradikalisasi dan pembinaan serta rehabilitasi.
Namun pendekatan hukum dan non-hukum tersebut tidak menimbulkan efek jera dan tidak ada pengaruhnya terhadap aktivitas pendukung khilafah. Bahkan secara terang-terangan dan terbuka berani seorang ulama-kelompok masyarakat tertentu menyatakan bahwa yang cocok bagi negeri ini negara khilafah dan bom bunuh diri adalah syahid.
Pernyataan tersebut termasuk penghasutan terhadap masyarakat untuk 'memisahkan' NKRI dari Pancasila dan UUD 45 serta berpotensi memecah belah persatuan Indonesia berdasarkan status agamanya. Pernyataan ulama tersebut jelas bertentangan dengan Konstitusi UUD 45 yang telah mengakui perbedaan dalam kesatuan tanpa membeda-bedakan atas dasar suku, agama dan etnik.
Ratifikasi Indonesia atas International Convention for the Suppression on Financing Terrorism, dengan UU Nomor 9 Tahun 2013 membuktikan komitmen Indonesia menghadapi pendanaan terorisme. Setiap bentuk pengumpulan dana atau kampanya pendanaan untuk membantu konflik Suriah dan di negara Arab lain merupakan perbuatan pelanggaran hukum, sehingga seharusnya dicegah dan atau ditindak secara hukum tanpa kecuali siapa pun pelakunya.
Tidak ada kegiatan terorisme tanpa pendanaan dan kegiatan tersebut selalu dibalut kegiatan sosial kemasyarakatan. Dalam hal ini betapa pentingnya peranan masyarakat untuk memberikan informasi kegiatan radikalisme dan terorisme serta PPATK untuk mengumpulkan informasi dan menelusuri asal muasal dana-dana yang masuk dan keluar dari orang per orangan atau ormas atau parpol tertentu.
Dana yang dimaksud dalam Pasal 1 angka 7 UU Nomor 9 tahun 2013 adalah semua aset atau benda bergerak atau tidak bergerak, baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud, yang diperoleh dengan cara apa pun dan dalam bentuk apa pun, termasuk dalam format digital atau elektronik, alat bukti kepemilikan, atau keterkaitan dengan semua aset atau benda tersebut, tetapi tidak terbatas pada kredit bank, cek perjalanan, cek yang dikeluarkan oleh bank, perintah pengiriman uang, saham, sekuritas, obligasi, bank draf, dan surat pengakuan utang.
Lihat Juga :
tulis komentar anda