Kesejahteraan dan Akselerasi Ekonomi Berkeadilan
Rabu, 18 Mei 2022 - 13:44 WIB
Dari hal tersebut, kita sepenuhnya mengapresiasi kebijakan redistribusi aset 12,7 juta hektare lahan yang dicanangkan pemerintah. Tetapi yang harus disiapkan juga adalah kebijakan-kebijakan pendukungnya sehingga sebuah kebijakan bisa operasional di lapangan. Contoh sederhana, kebijakan redistribusi dan legalisasi aset tidak akan efektif tanpa ditopang dengan kebijakan dalam investasi pertambangan, perkebunan tanaman industri, dan juga pemukiman.
Maknanya bahwa tanpa kebijakan yang sistemik dan terintegarsi dari hulu hingga hilir, pembangunan (ekonomi) dikhawatirkan hanya akan menyordorkan serentetan ketimpangan dan kemelaratan. Meminjam istilah Max Weber, kesenjangan justru akan menyebabkan kita terjebak pada “sangkar besi” (the iron cage) pembangunan itu sendiri.
Dalam konteks akselerasi akses rakyat atas tanah melalui skema redistribusi lahan 12,7 juta hektare misalnya, yang harus diantisipasi adalah terjadinya tumpang tindih dan konflik pertanahan. Di situlah pentingnya disiapkan seperangkat regulasi yang menyertainya.
Aturan dan kebijakan yang dilahirkan harus mampu melindungi aset masyarakat dari hisapan korporasi besar. Misalnya, karena jumlah lahan sawah di Jawa sangat terbatas, maka yang harus dilakukan adalah pemerintah harus melindungi sawah yang sudah ada agar tidak diubah menjadi lahan properti.
Cuplikan beberapa fakta di atas menunjukkan bahwa wajah ketimpangan memang kompleks. Setidaknya ada lima sumber utama penyebab ketimpangan. Pertama, ketimpangan penguasan tanah. Banyak petani dan penduduk tidak punya lahan atau hunian yang layak. Karena itu tidak heran jika kemiskinan di pedesaan terus meluas karena ketimpangan penguasaan tanah yang parah.
Kedua, akumulasi penguasaan lahan membuat lahan banyak tidak dimanfaatkan dan harganya semakin tak terjangkau. Ketiga, tenaga kerja kurang kompeten, kewirausahaan lemah, serta pasar kerja yang tidak netral terhadap ras. Keempat, adanya perbedaan kesempatan, pendidikan, dan modal yang semakin memperparah ketimpangan. Dan kelima, birokrasi cenderung fokus sebagai pengelola proyek dan tidak peka pada ketimpangan.
Berbagai akar ketimpangan di atas perlu dicari solusinya dengan tepat. Tepat dititik inilah penting bagi pemerintah mengembangkan kebijakan keberpihakan atau affirmative policy yang mampu menumbuhkan sektor-sektor terpinggirkan. Desain kebijakan juga tidak sekadar memberikan kesamaan perlakuan (equality), namun lebih pada keadilan (equity).
Kebijakan keberpihakan misalnya dapat dilakukan dengan merumuskan secara detail lapak mana yang bisa dimasuki korporasi besar dan mana yang bisa dikerjasamakan dengan pelaku mikro, kecil, atau menengah. Masyarakat tidak bisa dibiarkan bertarung dalam arena pasar bebas yang kadang tidak adil sejak awalnya. Di sinilah pentingnya regulasi sebagai wujud komitmen dan keberpihakan negara.
Salah satu wujud komitmen dan keberpihakan negara adalah adanya kebijakan kesamaan akses. Dengan akses yang sama, diharapkan akan terwujud pertumbuhan kompetitif dan ruang gerak yang sama untuk survive. Kebijakan yang bisa dilakukan misalnya dengan membuat regulasi bahwa pengusaha besar tidak boleh menguasai semua lini, tetapi juga memberikan akses ruang untuk pelaku usaha kecil. Dengan itu maka struktur ekonomi yang berkeadilan akan tercipta.
Kesadaran dan komitmen ini penting karena saat ini 1% penduduk mengendalikan 49,3% sumber daya ekonomi Indonesia. Sementara itu, korporasi menguasai hampir 60% lahan perkebunan kelapa sawit di Indoensia. Sedang gini ratio penguasaan tanah sebesar 0,59%.
Maknanya bahwa tanpa kebijakan yang sistemik dan terintegarsi dari hulu hingga hilir, pembangunan (ekonomi) dikhawatirkan hanya akan menyordorkan serentetan ketimpangan dan kemelaratan. Meminjam istilah Max Weber, kesenjangan justru akan menyebabkan kita terjebak pada “sangkar besi” (the iron cage) pembangunan itu sendiri.
Dalam konteks akselerasi akses rakyat atas tanah melalui skema redistribusi lahan 12,7 juta hektare misalnya, yang harus diantisipasi adalah terjadinya tumpang tindih dan konflik pertanahan. Di situlah pentingnya disiapkan seperangkat regulasi yang menyertainya.
Aturan dan kebijakan yang dilahirkan harus mampu melindungi aset masyarakat dari hisapan korporasi besar. Misalnya, karena jumlah lahan sawah di Jawa sangat terbatas, maka yang harus dilakukan adalah pemerintah harus melindungi sawah yang sudah ada agar tidak diubah menjadi lahan properti.
Cuplikan beberapa fakta di atas menunjukkan bahwa wajah ketimpangan memang kompleks. Setidaknya ada lima sumber utama penyebab ketimpangan. Pertama, ketimpangan penguasan tanah. Banyak petani dan penduduk tidak punya lahan atau hunian yang layak. Karena itu tidak heran jika kemiskinan di pedesaan terus meluas karena ketimpangan penguasaan tanah yang parah.
Kedua, akumulasi penguasaan lahan membuat lahan banyak tidak dimanfaatkan dan harganya semakin tak terjangkau. Ketiga, tenaga kerja kurang kompeten, kewirausahaan lemah, serta pasar kerja yang tidak netral terhadap ras. Keempat, adanya perbedaan kesempatan, pendidikan, dan modal yang semakin memperparah ketimpangan. Dan kelima, birokrasi cenderung fokus sebagai pengelola proyek dan tidak peka pada ketimpangan.
Berbagai akar ketimpangan di atas perlu dicari solusinya dengan tepat. Tepat dititik inilah penting bagi pemerintah mengembangkan kebijakan keberpihakan atau affirmative policy yang mampu menumbuhkan sektor-sektor terpinggirkan. Desain kebijakan juga tidak sekadar memberikan kesamaan perlakuan (equality), namun lebih pada keadilan (equity).
Kebijakan keberpihakan misalnya dapat dilakukan dengan merumuskan secara detail lapak mana yang bisa dimasuki korporasi besar dan mana yang bisa dikerjasamakan dengan pelaku mikro, kecil, atau menengah. Masyarakat tidak bisa dibiarkan bertarung dalam arena pasar bebas yang kadang tidak adil sejak awalnya. Di sinilah pentingnya regulasi sebagai wujud komitmen dan keberpihakan negara.
Salah satu wujud komitmen dan keberpihakan negara adalah adanya kebijakan kesamaan akses. Dengan akses yang sama, diharapkan akan terwujud pertumbuhan kompetitif dan ruang gerak yang sama untuk survive. Kebijakan yang bisa dilakukan misalnya dengan membuat regulasi bahwa pengusaha besar tidak boleh menguasai semua lini, tetapi juga memberikan akses ruang untuk pelaku usaha kecil. Dengan itu maka struktur ekonomi yang berkeadilan akan tercipta.
Kesadaran dan komitmen ini penting karena saat ini 1% penduduk mengendalikan 49,3% sumber daya ekonomi Indonesia. Sementara itu, korporasi menguasai hampir 60% lahan perkebunan kelapa sawit di Indoensia. Sedang gini ratio penguasaan tanah sebesar 0,59%.
tulis komentar anda