Kesejahteraan dan Akselerasi Ekonomi Berkeadilan

Rabu, 18 Mei 2022 - 13:44 WIB
loading...
Kesejahteraan dan Akselerasi Ekonomi Berkeadilan
A Muhaimin Iskandar (Foto: Ist)
A A A
A Muhaimin Iskandar
Wakil Ketua DPR RI, Ketua Umum DPP PKB

SALAH satu terget pembangunan yang dicanangkan pemerintah tahun 2022 adalah penurunan rasio gini (tingkat ketimpangan), penurunan angka kemiskinan, serta perbaikan indikator kesejahteraan. Rasio gini tahun 2022 ditargetkan berada pada kisaran 0,376-0,378. Sementara angka kemiskinan diharapkan berada pada angka 8,5-9,0%. Sedang IPM (Indeks Pembangunan Manusia) meningkat mencapai 73,41-73,46.

Atas dasar itu, pemerintah pun di masa pademi berfokus pada dua hal besar, yakni perlindungan sosial dan pengentasan kemiskinan. Karena itu berbagai rancangan kebijakan ekonomi yang berkeadilan harus menjadi pelapis utama jika hendak mewujudkan target yang dicanangkan. Ekonomi yang berkeadilan dengan demikian harus menjadi basis filsafat politik utama yang memandu arah dan tujuan pembangunan.

Salah satu hal paling esensial menuju ekonomi berkeadilan adalah soal redistribusi aset. Paket kebijakan 12,7 juta hektare lahan yang pernah dicanangkan untuk program redistribusi aset sesungguhnya bisa menjadi pintu masuk strategis guna mengakselerasi ekonomi berkeadilan. Melalui redistribusi aset diharapkan akan terjadi pemerataan ekonomi dan kesejahteraan.

Soal redistribusi aset inilah sesungguhnya yang menjadi akar kemiskinan dalam masyarakat agraris seperti Indonesia. Karena itu, program reforma agraria tidak akan berhasil dan hanya akan menjadi catatan indah di kertas bila hanya menjadi ajang bagi-bagi lahan belaka. Solusinya, kebijakan tersebut harus menjadi bagian integral upaya memperkecil ketimpangan kepemilikan modal dasar masyarakat guna pemerataan akses.

Altar di republik ini menyodorkan fakta bahwa petani gurem atau buruh tani tanpa lahan selama ini memang menjadi bagian utama ketimpangan lahan. Kelompok inilah penyumbang prosentase kemiskinan terbesar di desa. Karena itu guna memangkas kesenjangan tersebut salah satunya harus dimulai dari hulu, yakni melakukan tata kelola reformasi agraria dan pajak berkeadilan.

Saat ini setidaknya terdapat lebih dari 28 juta petani dengan status tidak memiliki tanah. Pada saat bersamaan pemerintah juga belum mempunyai road map yang jelas dan berkelanjutan soal implementasi reforma agraria melalui kebijakan redistribusi aset dan legalisasi aset.

Karena itu, pemerintah perlu diingatkan bahwa komitmen memangkas kesenjangan ini harus sistemik dan bukan sekadar program parsial. Demokratisasi ekonomi tidak boleh sepotong-potong, tetapi terintegrasi dengan kebijakan lainnya. Berbagai paket kebijakan ekonomi juga harus melihat persoalan dari hulu hingga hilir. Tanpa itu kebijakan hanya akan menumpuk di kertas-kertas kerja tanpa punya dampak signifikan.

Dari hal tersebut, kita sepenuhnya mengapresiasi kebijakan redistribusi aset 12,7 juta hektare lahan yang dicanangkan pemerintah. Tetapi yang harus disiapkan juga adalah kebijakan-kebijakan pendukungnya sehingga sebuah kebijakan bisa operasional di lapangan. Contoh sederhana, kebijakan redistribusi dan legalisasi aset tidak akan efektif tanpa ditopang dengan kebijakan dalam investasi pertambangan, perkebunan tanaman industri, dan juga pemukiman.

Maknanya bahwa tanpa kebijakan yang sistemik dan terintegarsi dari hulu hingga hilir, pembangunan (ekonomi) dikhawatirkan hanya akan menyordorkan serentetan ketimpangan dan kemelaratan. Meminjam istilah Max Weber, kesenjangan justru akan menyebabkan kita terjebak pada “sangkar besi” (the iron cage) pembangunan itu sendiri.

Dalam konteks akselerasi akses rakyat atas tanah melalui skema redistribusi lahan 12,7 juta hektare misalnya, yang harus diantisipasi adalah terjadinya tumpang tindih dan konflik pertanahan. Di situlah pentingnya disiapkan seperangkat regulasi yang menyertainya.

Aturan dan kebijakan yang dilahirkan harus mampu melindungi aset masyarakat dari hisapan korporasi besar. Misalnya, karena jumlah lahan sawah di Jawa sangat terbatas, maka yang harus dilakukan adalah pemerintah harus melindungi sawah yang sudah ada agar tidak diubah menjadi lahan properti.

Cuplikan beberapa fakta di atas menunjukkan bahwa wajah ketimpangan memang kompleks. Setidaknya ada lima sumber utama penyebab ketimpangan. Pertama, ketimpangan penguasan tanah. Banyak petani dan penduduk tidak punya lahan atau hunian yang layak. Karena itu tidak heran jika kemiskinan di pedesaan terus meluas karena ketimpangan penguasaan tanah yang parah.

Kedua, akumulasi penguasaan lahan membuat lahan banyak tidak dimanfaatkan dan harganya semakin tak terjangkau. Ketiga, tenaga kerja kurang kompeten, kewirausahaan lemah, serta pasar kerja yang tidak netral terhadap ras. Keempat, adanya perbedaan kesempatan, pendidikan, dan modal yang semakin memperparah ketimpangan. Dan kelima, birokrasi cenderung fokus sebagai pengelola proyek dan tidak peka pada ketimpangan.

Berbagai akar ketimpangan di atas perlu dicari solusinya dengan tepat. Tepat dititik inilah penting bagi pemerintah mengembangkan kebijakan keberpihakan atau affirmative policy yang mampu menumbuhkan sektor-sektor terpinggirkan. Desain kebijakan juga tidak sekadar memberikan kesamaan perlakuan (equality), namun lebih pada keadilan (equity).

Kebijakan keberpihakan misalnya dapat dilakukan dengan merumuskan secara detail lapak mana yang bisa dimasuki korporasi besar dan mana yang bisa dikerjasamakan dengan pelaku mikro, kecil, atau menengah. Masyarakat tidak bisa dibiarkan bertarung dalam arena pasar bebas yang kadang tidak adil sejak awalnya. Di sinilah pentingnya regulasi sebagai wujud komitmen dan keberpihakan negara.

Salah satu wujud komitmen dan keberpihakan negara adalah adanya kebijakan kesamaan akses. Dengan akses yang sama, diharapkan akan terwujud pertumbuhan kompetitif dan ruang gerak yang sama untuk survive. Kebijakan yang bisa dilakukan misalnya dengan membuat regulasi bahwa pengusaha besar tidak boleh menguasai semua lini, tetapi juga memberikan akses ruang untuk pelaku usaha kecil. Dengan itu maka struktur ekonomi yang berkeadilan akan tercipta.

Kesadaran dan komitmen ini penting karena saat ini 1% penduduk mengendalikan 49,3% sumber daya ekonomi Indonesia. Sementara itu, korporasi menguasai hampir 60% lahan perkebunan kelapa sawit di Indoensia. Sedang gini ratio penguasaan tanah sebesar 0,59%.

Menyimak hal tersebut, yang harus dilakukan dalam program reforma agraria yang tengah dicanangkan pemerintah adalah membuat model pemberdayaan masyarakat yang melibatkan korporasi dengan corporate approach dengan didukung manajemen yang baik. Selain itu, penggunaan teknologi yang andal, permodalan yang kuat, pemasaran yang luas, serta SDM yang kompeten dan berintegritas juga menjadi sebuah keharusan.

Upaya memangkas kesenjangan membutuhkan komitmen keberpihakan yang terencana dan terintegrasi antarseluruh pemangku kepentingan. Tak boleh ada ego sektoral. Akselerasi ekonomi berkeadilan hanya bisa terwujud jika pertumbuhan ekonomi benar-benar berkualitas dan berjalan pararel dengan terciptanya kesejahteraan. Tanpa itu, segenap ikhtiar mewujudkan kesejahteraan dikhawatirkan hanya akan seperti menggantang asap. Di sinilah pentingnya untuk terus merawat nalar politik kesejahteraan.

Baca Juga: koran-sindo.com
(bmm)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1380 seconds (0.1#10.140)