Mari Bersalam-salaman
Senin, 02 Mei 2022 - 13:53 WIB
Tidak setiap budaya mempunyai cara bersalaman yang sama. Dulu mungkin sebelum era kolonialisasi Eropa saling bersalaman tidak lah universal. Ada banyak cara menunjukkan persahabatan dan kuatnya emosi kita pada lawan bicara. Orang Jepang jelas membungkukkan badan, tanpa salaman. Orang Nusantara mungkin mempunyai banyak cara. Ada yang bersiul, diam diri saja sambal menunduk, duduk manis, tersenyum saja, atau cara-cara lainnya. Bahkan budaya diam banyak di Nusantara. Diam itu bagus. Tidak bereaksi itu sopan. Berbicara atau banyak bicara itu kelemahan. Namun, beberapa tradisi lama kita banyak yang hirarkhis, menunjukkan sikap menyembah dengan tangan merapat kanan dan kiri, jari lekatkan, dengan menundukkan kepala. Tua dan muda tidak sama, berlainan fungsi.
Salaman sudah menjadi universal, sebagaimana juga agama-agama global kita. Acara-acara peringatan hari suci sudah menjadi universal. Kita saling mengucapkan, saling bersalaman. Saatnya juga mengikuti kemana kebudayaan manusia global ini.
Globalisasi telah mengendalikan kita semua. Banyak yang sudah menjadi kesepakatan. Nilai-nilai semakin merapatkan antar manusia. Begitu juga wabah dan pegebluk, semua saling berbagi. Tidak ada lagi bangsa yang selamat ketika ada krisis melanda negeri. Semua akan tertular juga. Kita satu manusia, satu jenis spiesies homo sapiens.
Kita sama DNA-nya. Kita menanggung senasib seperjuangan, yaitu sedang menghadapi dunia ini yang sepertinya bertambah sempit. Alam sepertinya sedang memberi hukuman kepada kita. Pandemi dua tahun ini memberi banyak pelajaran, agar merasa tidak benar sendiri. Semua asumsi dan kepercayaan di depan pandemi runtuh.
Semua membutuhkan obat, perawatan, vaksin, dan saling menguatkan: tanpa pandang agama, iman, mazhab, etnis, atau bahasa. Semua sama kemungkinan hidup dan matinya di hadapan virus Corona. Semua sama hati-hatinya di hadapan mutase virus yang begitu cepat. Kita sama-sama mencari keselamtan jiwa. Kita sama kepentingannya, bertahan hidup.
Idul Fitri ini semoga mengembalikan kepercayaan diri kita. Sebagai manusia, sebagai warga negara. Mari saling bersalaman. Mari saling berangkulan. Mari ingatkankan kembali rasa persaudaraan, persahabatan, perkawanan, dan saling memahami antara kita.
Selamat Hari Raya Idul Fitri mohon maaf lahir dan batin. Minal Aidin wal Faizin.
Salaman sudah menjadi universal, sebagaimana juga agama-agama global kita. Acara-acara peringatan hari suci sudah menjadi universal. Kita saling mengucapkan, saling bersalaman. Saatnya juga mengikuti kemana kebudayaan manusia global ini.
Globalisasi telah mengendalikan kita semua. Banyak yang sudah menjadi kesepakatan. Nilai-nilai semakin merapatkan antar manusia. Begitu juga wabah dan pegebluk, semua saling berbagi. Tidak ada lagi bangsa yang selamat ketika ada krisis melanda negeri. Semua akan tertular juga. Kita satu manusia, satu jenis spiesies homo sapiens.
Kita sama DNA-nya. Kita menanggung senasib seperjuangan, yaitu sedang menghadapi dunia ini yang sepertinya bertambah sempit. Alam sepertinya sedang memberi hukuman kepada kita. Pandemi dua tahun ini memberi banyak pelajaran, agar merasa tidak benar sendiri. Semua asumsi dan kepercayaan di depan pandemi runtuh.
Semua membutuhkan obat, perawatan, vaksin, dan saling menguatkan: tanpa pandang agama, iman, mazhab, etnis, atau bahasa. Semua sama kemungkinan hidup dan matinya di hadapan virus Corona. Semua sama hati-hatinya di hadapan mutase virus yang begitu cepat. Kita sama-sama mencari keselamtan jiwa. Kita sama kepentingannya, bertahan hidup.
Idul Fitri ini semoga mengembalikan kepercayaan diri kita. Sebagai manusia, sebagai warga negara. Mari saling bersalaman. Mari saling berangkulan. Mari ingatkankan kembali rasa persaudaraan, persahabatan, perkawanan, dan saling memahami antara kita.
Selamat Hari Raya Idul Fitri mohon maaf lahir dan batin. Minal Aidin wal Faizin.
(kri)
Lihat Juga :
tulis komentar anda