Pukat UGM: Permenkes Nomor 16 Tahun 2019 Mengandung Fraud
Sabtu, 20 Juni 2020 - 13:17 WIB
JAKARTA - Peraturan Menteri Kesehatan ( Permenkes ) Nomor 16 Tahun 2019 tentang Pencegahan dan Penanganan Kecurangan (Fraud) serta pengenaan sanksi administrasi terhadap kecurangan (Fraud) dalam pelaksanaan program jaminan kesehatan dinilai mengandung fraud.
Hal tersebut dikatakan oleh Direktur Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM), Oce Madril dalam diskusi Polemik Trijaya bertajuk Fraud, Pencegahan dan Penanggulangannya, Sabtu (20/6/2020). ( )
"Kalau saya membahasakan begini, ini persoalannya levelnya dari hulu hingga hilir. Persoalan penanganan fraud. Jadi kalau kita fokus bicara penanganan fraud, maka kita lihat dulu di hulu," ujar Oce Madril.
Di hulu, kata dia, ada kebijakan yang dibuat oleh pihak-pihak yang terkait untuk menangani fraud. "Jadi bagaimana kebijakan penanganan fraud. Ada dua yang harus kita lihat. Pertama, Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 secara umum memberikan kekuasaan kepada Menteri Kesehatan untuk melakukan pengaturan tentang fraud," jelasnya.
Kedua, lanjut dia, muncul Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 16 Tahun 2019 tentang Penanganan Kecurangan atau Penanganan Fraud. "Jadi persoalannya ada di peraturan Menteri Kesehatan ini. Jadi itu yang saya sebut kebijakan hulu," katanya.
Dia melanjutkan banyak catatan bagaimana mengatur menangani fraud tersebut. "Saya membahasakan begini, peraturan penanganan fraud itu mengandung fraud. Jadi Peraturan Menteri Kesehatan itu mengandung fraud menurut saya. Sehingga, kalau masih menggunakan pendekatan Peraturan Menteri Kesehatan 16 Tahun 2019 tidak akan selesai ini fraud," jelasnya.
Menurutnya, ada lima kategori pelaku fraud dalam Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Yakni, fasilitas kesehatan, BPJS Kesehatan, pemberi kerja, peserta dan penyedia alat kesehatan.
"Tapi persoalannya adalah apakah peraturan ini menjamin implementasi yang baik penanganan fraud. Dalam penanganan fraud itu sederhana saja sebenarnya, ada tiga. Pertama, independensi dan imparsialitas, karena dia akan berhubungan dengan pihak-pihak yang dalam tanda kutip bersalah," paparnya. (Baca juga: Survei Ketahanan Keluarga saat Pandemi COVID-19: Jabar Tertinggi Diikuti Banten dan DKI)
Kemudian yang kedua, tambah dia, harus ada sanksi yang tegas. Ketiga, harus ada efektivitas dari alur penyelesaiannya. "Dasar hukum itu juga menjadi catatan. Ketiga hal ini menurut saya tidak bisa dijamin dalam Peraturan Menteri Kesehatan, makanya saya sampaikan tadi, peraturan mengenai fraud itu mengandung fraud," pungkasnya.
Hal tersebut dikatakan oleh Direktur Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM), Oce Madril dalam diskusi Polemik Trijaya bertajuk Fraud, Pencegahan dan Penanggulangannya, Sabtu (20/6/2020). ( )
"Kalau saya membahasakan begini, ini persoalannya levelnya dari hulu hingga hilir. Persoalan penanganan fraud. Jadi kalau kita fokus bicara penanganan fraud, maka kita lihat dulu di hulu," ujar Oce Madril.
Di hulu, kata dia, ada kebijakan yang dibuat oleh pihak-pihak yang terkait untuk menangani fraud. "Jadi bagaimana kebijakan penanganan fraud. Ada dua yang harus kita lihat. Pertama, Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 secara umum memberikan kekuasaan kepada Menteri Kesehatan untuk melakukan pengaturan tentang fraud," jelasnya.
Kedua, lanjut dia, muncul Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 16 Tahun 2019 tentang Penanganan Kecurangan atau Penanganan Fraud. "Jadi persoalannya ada di peraturan Menteri Kesehatan ini. Jadi itu yang saya sebut kebijakan hulu," katanya.
Dia melanjutkan banyak catatan bagaimana mengatur menangani fraud tersebut. "Saya membahasakan begini, peraturan penanganan fraud itu mengandung fraud. Jadi Peraturan Menteri Kesehatan itu mengandung fraud menurut saya. Sehingga, kalau masih menggunakan pendekatan Peraturan Menteri Kesehatan 16 Tahun 2019 tidak akan selesai ini fraud," jelasnya.
Menurutnya, ada lima kategori pelaku fraud dalam Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Yakni, fasilitas kesehatan, BPJS Kesehatan, pemberi kerja, peserta dan penyedia alat kesehatan.
"Tapi persoalannya adalah apakah peraturan ini menjamin implementasi yang baik penanganan fraud. Dalam penanganan fraud itu sederhana saja sebenarnya, ada tiga. Pertama, independensi dan imparsialitas, karena dia akan berhubungan dengan pihak-pihak yang dalam tanda kutip bersalah," paparnya. (Baca juga: Survei Ketahanan Keluarga saat Pandemi COVID-19: Jabar Tertinggi Diikuti Banten dan DKI)
Kemudian yang kedua, tambah dia, harus ada sanksi yang tegas. Ketiga, harus ada efektivitas dari alur penyelesaiannya. "Dasar hukum itu juga menjadi catatan. Ketiga hal ini menurut saya tidak bisa dijamin dalam Peraturan Menteri Kesehatan, makanya saya sampaikan tadi, peraturan mengenai fraud itu mengandung fraud," pungkasnya.
(kri)
Lihat Juga :
tulis komentar anda