Keterlibatan Korporasi dalam Tindak Pidana
Kamis, 28 April 2022 - 21:05 WIB
Mengikuti perkembangan politik hukum di tiga negara di atas, selayaknya juga di dalam UU Tipikor dan UU TPPU dimasukkan ketentuan mirip dengan DPA atau NPA dilengkapi dengan penyitaan aset korporasi tanpa penuntutan (Non-criminal based Forfeiture). Era reformasi tahun 1998 gerakan antikorupsi dengan tujuan zero tolerance against corruption dengan cara represif untuk mengembalikan kerugian keuangan negara dan tujuan ekstrem semaksimal mungkin memiskinkan koruptor, telah tidak lagi relevan dengan situasi ekonomi, sosial dan politik di era globalisasi saat ini.
Perubahan strategi yang relevan adalah sebagaimana telah dikemukakan yang berintikan, strategi preventif detention, strategi represif-rehabilitatif, dan dan strategi restorative. Untuk menguatkan efektivitas dan efisiensi kerja penegakan hukum versi pembaruan tersebut, pemerintah wajib membangun sistem digitalisasi penegakan hukum terutama kejahatan dalam bidang keuangan dan perbankan sejak penyelidikan, penyidikan dan penuntutan sehingga kecepatan digitalisasi proses pemeriksaan tindak pidana dapat melampui dari kecepatan digitalisasi proses kejahatan.
Di samping program digitalisasi sistem peradilan pidana diperlukan sistem perampasan aset hasil kejahatan dengan memaksimalkan kinerja Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) untuk menelusuri dugaan telah terjadi proses penempatan (placement), pelapisan (layering), dan integrasi (integrasi) harta kekayaan hasil kejahatan memasuki dan ditempatkan di dalam sistem keuangan-perbankan di Indonesia. Bahkan dugaan atau petunjuk keberadaan hasil kejahatan berdasarkan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) dapat dianggap bukti permulaan yang cukup bahwa seorang penyelenggara negara memiliki harta kekayaan yang melebihi harta kekayaan yang diperoleh dari hasil pekerjaannya dan tidak dapat membuktikan bahwa kelebihan harta kekayaannya dari perolehan yang legal.
Pasangan UU Tipikor dan UU pidana khusus lain dengan UU TPPU merupakan dwi-tunggal yang andal untuk mengungkap tuntas skandal megakorupsi dan tindak pidana khusus lain. Situasi dan fakta yang dihadapi pemeritah saat ini adalah kenaikan signifikan tindak pidana korupsi, tindak pidana narkotika dan tindak pidana terorisme yang diperparah oleh tindak pidana pencucian uang. Dalam kaitan ini diperlukan indeks tindak pidana yang dijadikan parameter perkembangan tindak pidana/kejahatan di Indonesia.
Sudah saatnya kita dapat membangun parameter sendiri yang dikerjakan oleh Lembaga Penegak Hukum dan para ahli Indonesia sehingga parameter yang dibangun benar-benar menggambarkan keadaan nyata dan sesungguhnya sesuai dengan situasi politik, hukum, sosial dan ekonomi Indonesia; merupakan kebanggaan tersendiri jika Pemerintah Indonesia memiliki parameter dimaksud dibandingkan selalu menggantungkan pada parameter yang dibuat pihak asing atau organisasi asing seperti IPK yang setiap tahun menempatkan Indonesia pada posisi underdog dibandingkan dengan negara lain dalam pemberantasan korupsi.
Kenyataan yang tidak dimungkiri adalah bahwa IPK Indonesia setiap tahun hampir 10 (sepuluh) tahun lebih tidak menggambarkan kenaikan positif, sedangkan upaya pemberantasan korupsi yang telah “mengorbankan” dengan memenjarakan pelaku ke LP Sukamiskin telah berlipat ganda bahkan sampai pada jabatan menteri yang tidak pernah terjadi di negara anggota ASEAN sekalipun, tidak mengubah IPK Indonesia. Bahkan metode IPK model Transparansi Internasional telah sering dipertanyakan para ahli hukum di negeri ini namun tidak ada jawaban TI/TII yang jelas mengenai hal tersebut.
Perubahan strategi yang relevan adalah sebagaimana telah dikemukakan yang berintikan, strategi preventif detention, strategi represif-rehabilitatif, dan dan strategi restorative. Untuk menguatkan efektivitas dan efisiensi kerja penegakan hukum versi pembaruan tersebut, pemerintah wajib membangun sistem digitalisasi penegakan hukum terutama kejahatan dalam bidang keuangan dan perbankan sejak penyelidikan, penyidikan dan penuntutan sehingga kecepatan digitalisasi proses pemeriksaan tindak pidana dapat melampui dari kecepatan digitalisasi proses kejahatan.
Di samping program digitalisasi sistem peradilan pidana diperlukan sistem perampasan aset hasil kejahatan dengan memaksimalkan kinerja Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) untuk menelusuri dugaan telah terjadi proses penempatan (placement), pelapisan (layering), dan integrasi (integrasi) harta kekayaan hasil kejahatan memasuki dan ditempatkan di dalam sistem keuangan-perbankan di Indonesia. Bahkan dugaan atau petunjuk keberadaan hasil kejahatan berdasarkan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) dapat dianggap bukti permulaan yang cukup bahwa seorang penyelenggara negara memiliki harta kekayaan yang melebihi harta kekayaan yang diperoleh dari hasil pekerjaannya dan tidak dapat membuktikan bahwa kelebihan harta kekayaannya dari perolehan yang legal.
Pasangan UU Tipikor dan UU pidana khusus lain dengan UU TPPU merupakan dwi-tunggal yang andal untuk mengungkap tuntas skandal megakorupsi dan tindak pidana khusus lain. Situasi dan fakta yang dihadapi pemeritah saat ini adalah kenaikan signifikan tindak pidana korupsi, tindak pidana narkotika dan tindak pidana terorisme yang diperparah oleh tindak pidana pencucian uang. Dalam kaitan ini diperlukan indeks tindak pidana yang dijadikan parameter perkembangan tindak pidana/kejahatan di Indonesia.
Sudah saatnya kita dapat membangun parameter sendiri yang dikerjakan oleh Lembaga Penegak Hukum dan para ahli Indonesia sehingga parameter yang dibangun benar-benar menggambarkan keadaan nyata dan sesungguhnya sesuai dengan situasi politik, hukum, sosial dan ekonomi Indonesia; merupakan kebanggaan tersendiri jika Pemerintah Indonesia memiliki parameter dimaksud dibandingkan selalu menggantungkan pada parameter yang dibuat pihak asing atau organisasi asing seperti IPK yang setiap tahun menempatkan Indonesia pada posisi underdog dibandingkan dengan negara lain dalam pemberantasan korupsi.
Kenyataan yang tidak dimungkiri adalah bahwa IPK Indonesia setiap tahun hampir 10 (sepuluh) tahun lebih tidak menggambarkan kenaikan positif, sedangkan upaya pemberantasan korupsi yang telah “mengorbankan” dengan memenjarakan pelaku ke LP Sukamiskin telah berlipat ganda bahkan sampai pada jabatan menteri yang tidak pernah terjadi di negara anggota ASEAN sekalipun, tidak mengubah IPK Indonesia. Bahkan metode IPK model Transparansi Internasional telah sering dipertanyakan para ahli hukum di negeri ini namun tidak ada jawaban TI/TII yang jelas mengenai hal tersebut.
(zik)
Lihat Juga :
tulis komentar anda