Keterlibatan Korporasi dalam Tindak Pidana
Kamis, 28 April 2022 - 21:05 WIB
Prof Romli Atmasasmita
Guru Besar Hukum Universitas Padjadjaran
Keterlibatan korporasi dalam suatu tindak pidana termasuk tindak pidana korupsi telah merebak di masyarakat sejak perkara Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Intinya bahwa korporasi telah dinormakan sebagai subjek hukum pidana yang dapat dihukum. Keberadaan korporasi sebagai subjek hukum dalam UU Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), UU Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU), UU Narkotika, dan UU Terorisme diperkuat dengan pengakuan Mahkamah Agung RI dalam Peraturan MA Nomor 13 Tahun 2016 Tata Cara Pemeriksaan Korporasi yang terlibat tindak pidana. Sekalipun Kitab UU Hukum Pidana (norma material) tidak mengakui secara khusus bahwa korporasi sebagai subjek hukum, akan tetapi di dalam norma hukum pidana khusus telah diakui sebagai subjek hukum seperti dalam.
Penobatan korporasi sebagai subjek hukum pidana merupakan buah simalakama karena penobatan tersebut membawa konsekuensi positif dan negatif. Positifnya adalah mengungkap tuntas keterlibatan korporasi sebagai subjek yang diduga telah menampung hasil kejahatan, menjadi sarana atau alat untuk melakukan kejahatan dan menjadi sponsor untuk melakukan kejahatan. Ketiga sarana tersebut dalam praktik terjadi dan dilakukan korporasi sekalipun hukuman yang boleh dijatuhkan adalah pidana denda atau penyitaan aset korporasi jika tidak mencukupi, aset pengurusnya dan pemegang sahamnya (PTbk). Peraturan perundang-undangan yang diandalkan untuk menjerat korporasi dan hasil kejahatan adalah UU Nomor 8 Tahun 2010 karena di dalam UU tersebut terdapat ketentuan yang melegalkan pembuktian terbalik yaitu yang harus membuktikan bahwa asset atau harta kekayaan yang disita adalah bukan milik pelaku kejahatan asal (predicate crimes).
Sisi positifnya adalah, di era globalisasi yang dicirikan oleh penguatan pembangunan ekonomi nasional, korporasi diakui merupakan co-partner pemerintah yang strategis. Jatuh bangun dan jatuhnya korporasi yang khusus mengelola bidang kegiatan strategis seperti pertambangan, pertanian, perikanan, dan perkebunan, adalah gagal dan berhasilnya pemerintah mengelola kegiatan-kegiatan dalam bidang tersebut. Diperlukan kebijakan pemeritah termasuk aparatur penegak hukum selama terjadi peristiwa yang berkaitan dengan kebijakan pemeritah dalam bidang kegiatan tersebut.
Yang dimaksud dengan kebijakan terkait pengelolaan tersebut antara lain, konsistensi pegelolaan bidang kegiatan strategis baik dalam konsep, arah dan misi, maupun dalam pengawasan atas pelaksanaan pengelolaannya sehingga pengawasan yang ketat dapat mencegah kemungkinan terjadinya pelanggaran hukum. Di sisi lain aparatur hukum harus memahami politik hukum pemerintah atas bidang-bidang strategis tersebut termasuk ikut mendampingi proyek-proyek strategis dalam bidang pertanian, perkebunan, pertambangan, dan perikanan. Strategi pencegahan dalam hal ini lebih utama dari strategi represif yang sering berujung kontraproduktif sekalipun menimbulkan efek jera namun kurang signifikan bagi kepentingan pembangunan ekonomi nasional.
Di antara dua strategi, preventif dan represif tersebut, terdapat opsi strategi lain, yaitu strategi represif tanpa penuntutan pidana dengan syarat tertentu atau strategi preventive detention dengan jaminan. Kedua strategi tersebut bertujuan untuk menegakkan prinsip Business judgment rule (BJR) yaitu penegakan etika pelaku usaha dalam berbisnis yang merupakan pendekatan primum remedium dan sanksi pidana yang merupakan pendekatan ultimum remedium. Dua pendekatan tersebut diserahkan kepada pelaku usaha, pendekatan mana yang terbaik bagi dirinya dan perusahaannya dan petinggi hukum, Jaksa Agung yang memutuskan akhir dari strategi represif yang dijalankanya.
Strategi preventive detention dilaksanakan terhadap korporasi yang diduga kuat telah melakukan tindak pidana atau telah diperoleh bukti permulaan cukup sehingga efek jera telah dirasakan sejak dalam proses penyidikan baik karena keterbatasan bergerak karena UU bagi pengurusnya maupun karena langka hukum penyitaan asset korporasinya. Strategi yang dikemukakan di atas merupakan alternatif solusi yang dianggap terbaik saat ini khusus yang terjadi di AS,Inggris, dan Prancis serta beberapa negara anggota Uni Eropa, seperti Belanda, dikenal Deferred Prosecution Agreement/DPA atau Non Prosecution Agreement/NPA; dimana terdakwa wajib membayar denda sebagai penalti dan tidak lagi melakukan pelanggaran hukum serta korporasi di bawah supervisi dan audit yang ditentukan oleh Kejaksaan. Tiga syarat dimana strategi represif tidak lagi dianggap merupakan ultimum akan tetapi sebaliknya, primum remedium jika a) kerugian tidak dapat dipulihkan, terdakwa recidivist, dan korban sangat besar (De Blunt); termasuk track record korporasi dan pengurusnya secara individual.
Guru Besar Hukum Universitas Padjadjaran
Keterlibatan korporasi dalam suatu tindak pidana termasuk tindak pidana korupsi telah merebak di masyarakat sejak perkara Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Intinya bahwa korporasi telah dinormakan sebagai subjek hukum pidana yang dapat dihukum. Keberadaan korporasi sebagai subjek hukum dalam UU Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), UU Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU), UU Narkotika, dan UU Terorisme diperkuat dengan pengakuan Mahkamah Agung RI dalam Peraturan MA Nomor 13 Tahun 2016 Tata Cara Pemeriksaan Korporasi yang terlibat tindak pidana. Sekalipun Kitab UU Hukum Pidana (norma material) tidak mengakui secara khusus bahwa korporasi sebagai subjek hukum, akan tetapi di dalam norma hukum pidana khusus telah diakui sebagai subjek hukum seperti dalam.
Penobatan korporasi sebagai subjek hukum pidana merupakan buah simalakama karena penobatan tersebut membawa konsekuensi positif dan negatif. Positifnya adalah mengungkap tuntas keterlibatan korporasi sebagai subjek yang diduga telah menampung hasil kejahatan, menjadi sarana atau alat untuk melakukan kejahatan dan menjadi sponsor untuk melakukan kejahatan. Ketiga sarana tersebut dalam praktik terjadi dan dilakukan korporasi sekalipun hukuman yang boleh dijatuhkan adalah pidana denda atau penyitaan aset korporasi jika tidak mencukupi, aset pengurusnya dan pemegang sahamnya (PTbk). Peraturan perundang-undangan yang diandalkan untuk menjerat korporasi dan hasil kejahatan adalah UU Nomor 8 Tahun 2010 karena di dalam UU tersebut terdapat ketentuan yang melegalkan pembuktian terbalik yaitu yang harus membuktikan bahwa asset atau harta kekayaan yang disita adalah bukan milik pelaku kejahatan asal (predicate crimes).
Sisi positifnya adalah, di era globalisasi yang dicirikan oleh penguatan pembangunan ekonomi nasional, korporasi diakui merupakan co-partner pemerintah yang strategis. Jatuh bangun dan jatuhnya korporasi yang khusus mengelola bidang kegiatan strategis seperti pertambangan, pertanian, perikanan, dan perkebunan, adalah gagal dan berhasilnya pemerintah mengelola kegiatan-kegiatan dalam bidang tersebut. Diperlukan kebijakan pemeritah termasuk aparatur penegak hukum selama terjadi peristiwa yang berkaitan dengan kebijakan pemeritah dalam bidang kegiatan tersebut.
Yang dimaksud dengan kebijakan terkait pengelolaan tersebut antara lain, konsistensi pegelolaan bidang kegiatan strategis baik dalam konsep, arah dan misi, maupun dalam pengawasan atas pelaksanaan pengelolaannya sehingga pengawasan yang ketat dapat mencegah kemungkinan terjadinya pelanggaran hukum. Di sisi lain aparatur hukum harus memahami politik hukum pemerintah atas bidang-bidang strategis tersebut termasuk ikut mendampingi proyek-proyek strategis dalam bidang pertanian, perkebunan, pertambangan, dan perikanan. Strategi pencegahan dalam hal ini lebih utama dari strategi represif yang sering berujung kontraproduktif sekalipun menimbulkan efek jera namun kurang signifikan bagi kepentingan pembangunan ekonomi nasional.
Di antara dua strategi, preventif dan represif tersebut, terdapat opsi strategi lain, yaitu strategi represif tanpa penuntutan pidana dengan syarat tertentu atau strategi preventive detention dengan jaminan. Kedua strategi tersebut bertujuan untuk menegakkan prinsip Business judgment rule (BJR) yaitu penegakan etika pelaku usaha dalam berbisnis yang merupakan pendekatan primum remedium dan sanksi pidana yang merupakan pendekatan ultimum remedium. Dua pendekatan tersebut diserahkan kepada pelaku usaha, pendekatan mana yang terbaik bagi dirinya dan perusahaannya dan petinggi hukum, Jaksa Agung yang memutuskan akhir dari strategi represif yang dijalankanya.
Strategi preventive detention dilaksanakan terhadap korporasi yang diduga kuat telah melakukan tindak pidana atau telah diperoleh bukti permulaan cukup sehingga efek jera telah dirasakan sejak dalam proses penyidikan baik karena keterbatasan bergerak karena UU bagi pengurusnya maupun karena langka hukum penyitaan asset korporasinya. Strategi yang dikemukakan di atas merupakan alternatif solusi yang dianggap terbaik saat ini khusus yang terjadi di AS,Inggris, dan Prancis serta beberapa negara anggota Uni Eropa, seperti Belanda, dikenal Deferred Prosecution Agreement/DPA atau Non Prosecution Agreement/NPA; dimana terdakwa wajib membayar denda sebagai penalti dan tidak lagi melakukan pelanggaran hukum serta korporasi di bawah supervisi dan audit yang ditentukan oleh Kejaksaan. Tiga syarat dimana strategi represif tidak lagi dianggap merupakan ultimum akan tetapi sebaliknya, primum remedium jika a) kerugian tidak dapat dipulihkan, terdakwa recidivist, dan korban sangat besar (De Blunt); termasuk track record korporasi dan pengurusnya secara individual.
tulis komentar anda