Ukraina dan Tanggung Jawab Agamawan
Kamis, 07 April 2022 - 14:28 WIB
Dalam konteks bencana kemanusiaan seperti perang di Ukraina, agama harus mengambil peran signifikan. Bersikap netral atau abai pada bencana kemanusiaan sama halnya dengan menempatkan agama-agama dalam bencana itu sendiri. Islam misalnya, memiliki sumber primer dan sekunder yang cukup untuk menyebut perang yang dilakukan tanpa dasar sebagai sebuah bencana kemanusiaan. Demikian juga dalam agama-agama lain, menghormati dan merawat kemanusiaan adalah tugas suci yang wajib dijunjung tinggi.
Suara Moral dan “Whataboutism”
Para pemimpin agama memang tidak memiliki senjata. Mereka juga tidak memimpin misi perundingan. Tetapi para agamawan memiliki suara moral yang sah untuk menjaga kemanusiaan. Sikap tegas para agamawan terhadap bencana kemanusiaan yang terjadi akan mempengaruhi sikap dan cara pandang umatnya. Dunia pernah memiliki Desmond Tutu, seorang agamawan yang teguh, yang memeluk kemanusiaan hingga akhir hidupnya. Baginya, bersikap netral terhadap ketidakadilan, sama halnya dengan kita berdiri di antara para penindas. Selayaknya Tutu, maka para agamawan di Indonesia juga tidak boleh netral terhadap segala kekejian yang terjadi.
Para agamawan harus setia dengan kemanusiaan. Tidak boleh diombang-ambing dengan politik whataboutism (politik “bagaimana dengan di tempat lain”). Krisis kemanusiaan memang tidak hanya terjadi di Ukraina. Ia terjadi di mana-mana. Di Palestina, Myanmar, Syria dan berbagai belahan dunia lain ketidakadilan terjadi. Tapi semua kejadian itu tidak harus menjadi alasan bagi agamawan untuk tidak mengecam krisis kemanusiaan yang terjadi di depan matanya. Kalangan agamawan dapat tetap bersuara jernih dengan berdiri di atas semua golongan dan kepentingan politik. Kita dapat mengecam bencana kemanusiaan yang terjadi di Ukraina, tanpa harus bertanya, bagaimana dengan bencana di Timur Tengah. Jika negara-negara banyak yang mengambil sikap standar ganda, maka agamawan tidak boleh mengambil sikap yang serupa.
Agama yang Hidup
Agama-agama bukanlah entitas yang steril dari konflik. Sejarah agama-agama membuktikan seringkali agama justru menjadi bahan bakar atau setidaknya bagian dari konflik. Dari pengalaman itu maka seringkali agama menjadi tersandera untuk berbicara tentang moralitas dan kemanusiaan. Maka, untuk agama dapat efektif menjadi suara moral, kita harus menimbang beberapa prasyarat dasar. Pertama umat beragama harus menghentikan konflik dan pertikaian di antara mereka sendiri. Kebencian terhadap agama lain atau religiophobia tidak boleh mendapat tempat. Agama-agama yang terus menabur kebencian dan prasangka terhadap agama lain selamanya akan sulit untuk setia pada kemanusiaan.
Kedua, kalangan agamawan harus menyadari bahwa misi mereka hari-hari ini adalah bukan untuk merekrut sebanyak-banyaknya orang untuk masuk dalam agamanya. Misi bersama agama saat ini adalah untuk melawan ketidakadilan dan dehumanisasi. Dengan misi bersama itu, maka setiap tindakan, siapapun pelakunya, yang mengarah pada penghancuran kemanusiaan wajib dicegah dan dilawan oleh agama-agama.
Ketiga, untuk supaya jernih menyuarakan kemanusiaan, maka para agamawan juga harus terlibat dalam memecahkan masalah “duniawi” seperti kemiskinan, kebodohan dan ketimpangan ekonomi. Sikap abai agamawan terhadap hal-hal sekuler akan menjadikan agama kehilangan relevansi dan dayagunanya. Tentu “campur tangan” agama ini harus dalam proporsi dan dosis yang tepat. Sikap over-simplifikasi seakan agama menyediakan segala resep teknis persoalan dunia seperti sering ditunjukan para skripturalis juga tidak akan menyelesaikan apa-apa.
Keempat, tentu saja para agamawan harus memiliki standar moral dan integritas yang sangat tinggi. Salah satunya dengan tidak terjebak pada politik praktis yang akan menyulitkan arah gerak mereka sendiri. Menjadikan agama sebagai komoditas politik tidak hanya tidak relevan, tetapi juga akan membuat reputasi agama terjun bebas.
Saya ingat, apa yang dikatakan senator John McCain, ketika ada salah seorang pendukungnya mulai meracau menjelekkan Barrack Obama karena keterkaitannya dengan Islam. Senator McCain dalam kampanye yang panas itu langsung merebut microphone, dan mengatakan, “Tidak Bu, Obama orang baik”. McCain bukan agamawan, tapi standar moralitas sekaliber McCain sangat diperlukan agamawan kita hari-hari ini.
Suara Moral dan “Whataboutism”
Para pemimpin agama memang tidak memiliki senjata. Mereka juga tidak memimpin misi perundingan. Tetapi para agamawan memiliki suara moral yang sah untuk menjaga kemanusiaan. Sikap tegas para agamawan terhadap bencana kemanusiaan yang terjadi akan mempengaruhi sikap dan cara pandang umatnya. Dunia pernah memiliki Desmond Tutu, seorang agamawan yang teguh, yang memeluk kemanusiaan hingga akhir hidupnya. Baginya, bersikap netral terhadap ketidakadilan, sama halnya dengan kita berdiri di antara para penindas. Selayaknya Tutu, maka para agamawan di Indonesia juga tidak boleh netral terhadap segala kekejian yang terjadi.
Para agamawan harus setia dengan kemanusiaan. Tidak boleh diombang-ambing dengan politik whataboutism (politik “bagaimana dengan di tempat lain”). Krisis kemanusiaan memang tidak hanya terjadi di Ukraina. Ia terjadi di mana-mana. Di Palestina, Myanmar, Syria dan berbagai belahan dunia lain ketidakadilan terjadi. Tapi semua kejadian itu tidak harus menjadi alasan bagi agamawan untuk tidak mengecam krisis kemanusiaan yang terjadi di depan matanya. Kalangan agamawan dapat tetap bersuara jernih dengan berdiri di atas semua golongan dan kepentingan politik. Kita dapat mengecam bencana kemanusiaan yang terjadi di Ukraina, tanpa harus bertanya, bagaimana dengan bencana di Timur Tengah. Jika negara-negara banyak yang mengambil sikap standar ganda, maka agamawan tidak boleh mengambil sikap yang serupa.
Agama yang Hidup
Agama-agama bukanlah entitas yang steril dari konflik. Sejarah agama-agama membuktikan seringkali agama justru menjadi bahan bakar atau setidaknya bagian dari konflik. Dari pengalaman itu maka seringkali agama menjadi tersandera untuk berbicara tentang moralitas dan kemanusiaan. Maka, untuk agama dapat efektif menjadi suara moral, kita harus menimbang beberapa prasyarat dasar. Pertama umat beragama harus menghentikan konflik dan pertikaian di antara mereka sendiri. Kebencian terhadap agama lain atau religiophobia tidak boleh mendapat tempat. Agama-agama yang terus menabur kebencian dan prasangka terhadap agama lain selamanya akan sulit untuk setia pada kemanusiaan.
Kedua, kalangan agamawan harus menyadari bahwa misi mereka hari-hari ini adalah bukan untuk merekrut sebanyak-banyaknya orang untuk masuk dalam agamanya. Misi bersama agama saat ini adalah untuk melawan ketidakadilan dan dehumanisasi. Dengan misi bersama itu, maka setiap tindakan, siapapun pelakunya, yang mengarah pada penghancuran kemanusiaan wajib dicegah dan dilawan oleh agama-agama.
Ketiga, untuk supaya jernih menyuarakan kemanusiaan, maka para agamawan juga harus terlibat dalam memecahkan masalah “duniawi” seperti kemiskinan, kebodohan dan ketimpangan ekonomi. Sikap abai agamawan terhadap hal-hal sekuler akan menjadikan agama kehilangan relevansi dan dayagunanya. Tentu “campur tangan” agama ini harus dalam proporsi dan dosis yang tepat. Sikap over-simplifikasi seakan agama menyediakan segala resep teknis persoalan dunia seperti sering ditunjukan para skripturalis juga tidak akan menyelesaikan apa-apa.
Keempat, tentu saja para agamawan harus memiliki standar moral dan integritas yang sangat tinggi. Salah satunya dengan tidak terjebak pada politik praktis yang akan menyulitkan arah gerak mereka sendiri. Menjadikan agama sebagai komoditas politik tidak hanya tidak relevan, tetapi juga akan membuat reputasi agama terjun bebas.
Saya ingat, apa yang dikatakan senator John McCain, ketika ada salah seorang pendukungnya mulai meracau menjelekkan Barrack Obama karena keterkaitannya dengan Islam. Senator McCain dalam kampanye yang panas itu langsung merebut microphone, dan mengatakan, “Tidak Bu, Obama orang baik”. McCain bukan agamawan, tapi standar moralitas sekaliber McCain sangat diperlukan agamawan kita hari-hari ini.
Lihat Juga :
tulis komentar anda