Ukraina dan Tanggung Jawab Agamawan
Kamis, 07 April 2022 - 14:28 WIB
Ali Murtado
Mustasyar PCINU Qatar
KALANGAN agamawan tidak dapat bersikap abstain untuk setiap krisis kemanusiaan yang terjadi. Bersikap netral atau abai pada bencana kemanusiaan sama halnya dengan menempatkan agama-agama dalam bencana itu sendiri.
Minim Intervensi
Salah satu episode paling kelam dalam sejarah umat manusia, yang juga akan dicatat sebagai kelalaian para agamawan adalah peristiwa holocaust. Bencana kemanusiaan yang menelan jutaan korban jiwa tersebut seperti dibiarkan oleh kalangan agamawan. Tidak Paus Pius XII tidak pula para Mufti dan Imam di Al Azhar masa itu mengambil tindakan yang cukup untuk menghentikan kekejian yang terjadi di kamp-kamp konsentrasi Hitler.
Hari-hari ini, dunia masih menyaksikan dengan mata telanjang darah tertumpah di Ukraina. Ribuan tentara dan warga sipil tewas untuk sebuah ambisi dan paranoia yang tidak pernah jelas. Jika para agamawan abai, seperti halnya dalam peristiwa holocaust, maka agama-agama akan semakin kehilangan wibawanya untuk berbicara kemanusiaan di masa depan.
Untuk bencana kemanusiaan di Ukraina dan di berbagai belahan dunia lainnya, para agamawan tidak boleh diam dan mengambil sikap netral. Kalkulasi politik dan geostrategis adalah milik para diplomat dan pengambil kebijakan.Sementara para agamawan harus mengambil sikap yang teguh dengan memihak pada kemanusiaan.
Agama dan Kemanusiaan
Dua puluh tahun lalu, cendekiawan muda NU, Ulil Abshar Abdalla menulis artikel yang menohok berjudul Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam. Meski diksi artikel tersebut ditujukan untuk umat muslim, namun artikel itu sesungguhnya relevan untuk semua agama. Penulisnya ingin mengajak kalangan agamawan, dan tentu saja umatnya untuk menempatkan agama sebagai “organisme hidup”. Dengan kata lain, agama-agama harus dapat berkontribusi dalam menjawab masalah-masalah kekinian. Sikap abai atau tidak mau tahu atas problem kemanusiaan masa kini akan mempercepat nasib agama-agama itu untuk, meminjam istilah Ulil, memfosil.
Mustasyar PCINU Qatar
KALANGAN agamawan tidak dapat bersikap abstain untuk setiap krisis kemanusiaan yang terjadi. Bersikap netral atau abai pada bencana kemanusiaan sama halnya dengan menempatkan agama-agama dalam bencana itu sendiri.
Minim Intervensi
Salah satu episode paling kelam dalam sejarah umat manusia, yang juga akan dicatat sebagai kelalaian para agamawan adalah peristiwa holocaust. Bencana kemanusiaan yang menelan jutaan korban jiwa tersebut seperti dibiarkan oleh kalangan agamawan. Tidak Paus Pius XII tidak pula para Mufti dan Imam di Al Azhar masa itu mengambil tindakan yang cukup untuk menghentikan kekejian yang terjadi di kamp-kamp konsentrasi Hitler.
Hari-hari ini, dunia masih menyaksikan dengan mata telanjang darah tertumpah di Ukraina. Ribuan tentara dan warga sipil tewas untuk sebuah ambisi dan paranoia yang tidak pernah jelas. Jika para agamawan abai, seperti halnya dalam peristiwa holocaust, maka agama-agama akan semakin kehilangan wibawanya untuk berbicara kemanusiaan di masa depan.
Untuk bencana kemanusiaan di Ukraina dan di berbagai belahan dunia lainnya, para agamawan tidak boleh diam dan mengambil sikap netral. Kalkulasi politik dan geostrategis adalah milik para diplomat dan pengambil kebijakan.Sementara para agamawan harus mengambil sikap yang teguh dengan memihak pada kemanusiaan.
Agama dan Kemanusiaan
Dua puluh tahun lalu, cendekiawan muda NU, Ulil Abshar Abdalla menulis artikel yang menohok berjudul Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam. Meski diksi artikel tersebut ditujukan untuk umat muslim, namun artikel itu sesungguhnya relevan untuk semua agama. Penulisnya ingin mengajak kalangan agamawan, dan tentu saja umatnya untuk menempatkan agama sebagai “organisme hidup”. Dengan kata lain, agama-agama harus dapat berkontribusi dalam menjawab masalah-masalah kekinian. Sikap abai atau tidak mau tahu atas problem kemanusiaan masa kini akan mempercepat nasib agama-agama itu untuk, meminjam istilah Ulil, memfosil.
Lihat Juga :
tulis komentar anda