Anggaran Rp1,02 T Belum Cair, Pilkada Jangan Korbankan Kesehatan Publik
Kamis, 18 Juni 2020 - 08:09 WIB
Karena itu, Budi mengatakan bahwa pemerintah saat ini ingin memaksimalkan kemampuan APBD yang ada. “Jaminan dari Pak Menteri (Menteri Dalam Negeri) ya permendagri itu. Sekarang ada ruanglah untuk teman-teman berkreasi bagaimana menggunakan anggaran di NPHD yang mengacu pada protokol kesehatan,” urainya.
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini menjawab ketika ditanya apakah Pilkada 2020 realistis untuk dilaksanakan? Titi menjelaskan bahwa ada empat indikator untuk mengetahui apakah pilkada siap atau tidak. Pertama, soal regulasi yakni tahapan pilkada yang berlangsung di masa pandemi harus dilakukan dengan protokol kesehatan.
Kedua, untuk menyesuaikan protokol itu diperlukan ketersediaan anggaran yang cukup dan tepat waktu. Ketiga, kapasitas petugas untuk menyelenggarakan pilkada di tengah pandemi dengan disiplin menerapkan protokol kesehatan. Keempat, kesiapan masyarakat. “Soal anggaran, saya tadi crosscheck ke Ketua KPU anggaran masih sepenuhnya mengandalkan APBD. Tambahan Rp1,02 triliun belum ditransfer, masih berupa komitmen, belum terealisasi,” ujar Titi pada webinar yang sama. (Lihat Videonya: Pelaku Usaha Sambut Baik Masa PSBB Transisi di Jakarta)
Tantangan terbesar menyelenggarakan agenda elektoral di tengah pandemi, menurut Titi, adalah memberi rasa aman dan keyakinan aman bahwa pemilih terproteksi. “Beberapa negara yang menyelenggarakan pemilu ada petugas yang terkena Covid-19, ada juga pemilih yang terkena . Itu yang menandai mengapa Prancis setelah putaran pertama mereka pada Maret 2020 menunda pemilu lokal putaran kedua karena ekses penyelenggara pemilu menyebabkan peningkatan korban Covid-19,” katanya.
Alhasil, menurut Titi, pilkada di era new nornal ini harus disesuaikan dengan tiga hal, yakni tata cara, prosedur, dan mekanisme. Mengenai hal-hal yang berkaitan dengan kualitas adalah pelayanan publik dan prinsip pemilu yang bebas dan adil. Tidak boleh ada pengurangan standar dan mutu pada penyelenggaraannya.
Dia mengingatkan, jangan sampai penyelenggara pilkada tahu problem yang dihadapi, tapi ada kecenderungan untuk lebih permisif terhadap pemenuhan standar yang didapat publik dalam pelaksanaan pilkada. “Wajar jika masyarakat merespons pilkada ini sangat kritis, karena pilkada bukan pertaruhan agenda elektoral, tapi ada pertaruhan kesehatan dan keselamatan warga di sana,” ucapnya. (Kiswondari)
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini menjawab ketika ditanya apakah Pilkada 2020 realistis untuk dilaksanakan? Titi menjelaskan bahwa ada empat indikator untuk mengetahui apakah pilkada siap atau tidak. Pertama, soal regulasi yakni tahapan pilkada yang berlangsung di masa pandemi harus dilakukan dengan protokol kesehatan.
Kedua, untuk menyesuaikan protokol itu diperlukan ketersediaan anggaran yang cukup dan tepat waktu. Ketiga, kapasitas petugas untuk menyelenggarakan pilkada di tengah pandemi dengan disiplin menerapkan protokol kesehatan. Keempat, kesiapan masyarakat. “Soal anggaran, saya tadi crosscheck ke Ketua KPU anggaran masih sepenuhnya mengandalkan APBD. Tambahan Rp1,02 triliun belum ditransfer, masih berupa komitmen, belum terealisasi,” ujar Titi pada webinar yang sama. (Lihat Videonya: Pelaku Usaha Sambut Baik Masa PSBB Transisi di Jakarta)
Tantangan terbesar menyelenggarakan agenda elektoral di tengah pandemi, menurut Titi, adalah memberi rasa aman dan keyakinan aman bahwa pemilih terproteksi. “Beberapa negara yang menyelenggarakan pemilu ada petugas yang terkena Covid-19, ada juga pemilih yang terkena . Itu yang menandai mengapa Prancis setelah putaran pertama mereka pada Maret 2020 menunda pemilu lokal putaran kedua karena ekses penyelenggara pemilu menyebabkan peningkatan korban Covid-19,” katanya.
Alhasil, menurut Titi, pilkada di era new nornal ini harus disesuaikan dengan tiga hal, yakni tata cara, prosedur, dan mekanisme. Mengenai hal-hal yang berkaitan dengan kualitas adalah pelayanan publik dan prinsip pemilu yang bebas dan adil. Tidak boleh ada pengurangan standar dan mutu pada penyelenggaraannya.
Dia mengingatkan, jangan sampai penyelenggara pilkada tahu problem yang dihadapi, tapi ada kecenderungan untuk lebih permisif terhadap pemenuhan standar yang didapat publik dalam pelaksanaan pilkada. “Wajar jika masyarakat merespons pilkada ini sangat kritis, karena pilkada bukan pertaruhan agenda elektoral, tapi ada pertaruhan kesehatan dan keselamatan warga di sana,” ucapnya. (Kiswondari)
(ysw)
Lihat Juga :
tulis komentar anda