Musik (Tolak) Tunda Pemilu

Rabu, 09 Maret 2022 - 15:12 WIB
Ramdansyah (Foto: Ist)
Ramdansyah

Ketua Panwaslu DKI 2008-2012, Sekjen Partai Idaman 2015-2018

HARI Musik Nasional diperingati hari ini, Rabu 9 Maret 2022. Menjelang hari musik nasional kita mendengarkan pro dan kontra terkait usulan penundaan Pemilu 2024. Ini berawal dari pernyataan menteri kabinet Presiden Joko Widodo dan beberapa ketua umum partai politik dengan mangatasnamakan keinginan rakyat yang menginginkan pemilu ditunda. Perlawanan terhadap narasi tunda Pemilu 2024 terjadi di kalangan pengamat dan elite politik. Seperti biasa dari kalangan rakyat kebanyakan isu ini tidak begitu menarik perhatian, karena mereka sibuk mencari minyak sayur yang mahal dan cemas akan kenaikan bahan bakar minyak (BBM). Di tengah perang wacana tunda Pemilu 2024 ada lagu dangdut muncul dengan judul Pemilu (tetap) 2024.



Upaya untuk menunda pemilu dengan mengklaim atas nama rakyat atau atas nama pengusaha merupakan wujud nyata kekerasan. Pemaksaan nilai-nilai tertentu yang secara halus dijadikan nilai bersama merupakan suatu kekerasan simbolik. Coba lihat pernyataan Wakil Ketua DPR RI dan Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang menarasikan tunda pemilu karena staganasi perekonomian selama dua tahun akibat pandemi korona. Katanya, penundaan akan menjadi momentum untuk peningkatan ekonomi bangsa. Narasi ini dilanjutkan oleh ketua-ketua umum partai politik yang memiliki suara di Senayan.. Pernyataan Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa lalu diikuti dengan narasi yang sama oleh Ketua Umum Partai Golkar dan Partai Amanat Nasional (PAN).

Counter narasi dengan menggunakan genre Dangdut menjadi pilihan menarik, karena Dangdut adalah musik identitas kelas bawah. Musik dangdut menjadi musik kritis dan menjadi corong kepentingan rakyat. Ia juga mengingatkan masyarakat telah berjarak dari kepentingan yang lebih besar. Bahwa, hak politik rakyat untuk menyuarakan haknya sesuai konstitusi telah dirampas.

Counter narasi tunda Pemilu 2024 dengan musik Dangdut ini mengingatkan kita pada Rhoma Rhoma Irama di era Orde Baru. Sebagai musisi besar yang diberi gelar Raja Dangdut dia mendukung Partai Persatuan Pembangunan (PPP) melawan Partai Golkar yang berkuasa saat itu. Dukungan Rhoma menyebabkan PPP mempermalukan partai berkuasa dengan kekalahan di DKI Jakarta.

Pada akhirnya perlawanan tidak hanya dilakukan oleh musisi Dangdut. Di akhir jatuhnya rezim Orde Baru banyak komunitas musik yang menantang otoritarianisme. Musisi berkesenain melawan rezim saat itu. Musisi seperti Iwan Fals kerap menyanyikan lagu kritis terhadap pemerintah. Di Malioboro, Yogyakarta, ada musisi rock yang tergabung dalam Komunitas Seni Yogyakarta. Yogyakarta menolak kekerasan yang muncul di belahan lain Indonesia.

Perlawanan musisi terhadap rezim tidak hanya terjadi di Indonesia. Dalam film dokumenter “John Lennon vs USA” digambarkan John Lennon sebagai musisi kelompok musik The Beatles ditakuti Pemerintahan Nixon pada 1970-an awal. Saat itu Lennon berpartisipasi aktif dengan bernyanyi di konser untuk menolak campur tangan invasi AS ke Vietnam Selatan.

Grup band The Beatles dimasa jayanya pernah menampilkan lagu-lagu antiperang. Lagu-lagu ini menjadi sangat populer di Rusia. Akhirnya muncul lelucon bahwa perang dingin yang tengah berlangsung saat itu dimenangkan blok Barat, bukan dengan senjata nuklir tetapi oleh lagu-lagu Beatles. Di tengah kecemasan akan munculnya Perang Dunia III, pasca-invasi Rusia ke Ukraina ada harapan munculnya “John Lennon” lainnya membawakan lagu-lagu damai antiperang untuk menghentikan perang.
Halaman :
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More