Musik (Tolak) Tunda Pemilu
Rabu, 09 Maret 2022 - 15:12 WIB
Musik-musik bermuatan politik memiliki kekuatan untuk melakukan perlawanan karena dua hal. Pertama, karena liriknya yang bermuatan politik. Kedua, karena penyanyinya. Lirik lagu merupakan pandangan hidup dari si pembuat lirik. Lirik lagu-lagu dari John Lennon dan Beatles merupakan nilai atau pandangan hidup John Lennon. Demikian pula Rhoma dengan lirik-lirik tentang pemilu dan keindonesiaan.
Sementara itu lirik lagu “Pemilu (Tetap) 2024” menjadi nilai bagi penulis/penyanyi. Kedua, penyanyi seperti Rhoma di saat melakukan perlawanan terhadap hegemoni Partai Golkar di era Orde Baru. John Lenon terkenal karena memiliki ideologi antiperang,
David King Dunaway dalam tulisannya tentang Music and Politcs in the United States (1987) menyebutkan musik menjadi musik politik karena lirik atau melodinya yang berisikan penilaian politik. Musik politik ini dapat menyebabkan terjadi perlawanan sosial.
Keberadaan musik politik ini dapat menimbulkan ketegangan yang berujung pada sensor. Rhoma dicekal untuk tidak dapat tampil di TVRI televisi satu-satunya kala itu. Pencekalan terhadap Rhoma berlangsung sejak 1977 hingga 1988. Profesor musik dari Universitas Pittsburg Andrew Weintraub dalam disertasinya menyebutkan bahwa dangdut-nya Rhoma Irama pada era 1980-an telah menjadi simbol perlawanan terhadap rezim Orde Baru.
Musisi Harry Roesli pernah dilarang tampil di era Orde Baru. Pada 1979 pertunjukan musik Harry Roesli dengan band Ken Arok-nya di Semarang diserbu tentara. Bahkan Roesli sempat ditahan.
Bentuk sensor terhadap seniman dan musisi dari masa ke masa menunjukan adanya kekhawatiran dari pemerintah yang berkuasa saat itu. Seni dapat membangkitkan kesadaran publik. Musik sebagai instrumen untuk mencapai tujuan digambarkan oleh Heidegger. Musik menjadi the means of end. Alat itu bisa berupa musik, hukum, politik untuk mencapai tujuan. Ketika ketua-ketua umum partai politik mengajukan penundaan Pemilu 2024, ahli-ahli hukum menggunakan alatnya untuk berpihak atau melawan narasi ini. Pengamat menggunakan instrumen kajian sosial politik. Ternyata, ada aktivis politik yang menggunakan instrumen musik untuk melakukan counter narasi tunda pemilu dengan lagu dangdut Pemilu (tetap) 2024. Instrumen-instrumen ini digerakan oleh kesadaran dari para aktor untuk melakukan perlawanan sosial.
Musisi tengah terkendala oleh pandemi Covid 19, tetapi musik tidak pernah berhenti untuk menyampaikan pesan. Aktivis demokrasi dan pegiat pemilu dapat terus menjadi corong demokratisasi. Bahwa Presiden Joko Widodo sudah menyatakan penolakan terhadap usulan penundaan pemilu, tetapi kekuatan narasi tunda pemilu masih terus bergema. Karenanya, counter narasi masih terus dibunyikan. Di sana musisi juga berperan di dalamnya untuk ikut berwacana tentang tunda pemilu.
Sementara itu lirik lagu “Pemilu (Tetap) 2024” menjadi nilai bagi penulis/penyanyi. Kedua, penyanyi seperti Rhoma di saat melakukan perlawanan terhadap hegemoni Partai Golkar di era Orde Baru. John Lenon terkenal karena memiliki ideologi antiperang,
David King Dunaway dalam tulisannya tentang Music and Politcs in the United States (1987) menyebutkan musik menjadi musik politik karena lirik atau melodinya yang berisikan penilaian politik. Musik politik ini dapat menyebabkan terjadi perlawanan sosial.
Keberadaan musik politik ini dapat menimbulkan ketegangan yang berujung pada sensor. Rhoma dicekal untuk tidak dapat tampil di TVRI televisi satu-satunya kala itu. Pencekalan terhadap Rhoma berlangsung sejak 1977 hingga 1988. Profesor musik dari Universitas Pittsburg Andrew Weintraub dalam disertasinya menyebutkan bahwa dangdut-nya Rhoma Irama pada era 1980-an telah menjadi simbol perlawanan terhadap rezim Orde Baru.
Musisi Harry Roesli pernah dilarang tampil di era Orde Baru. Pada 1979 pertunjukan musik Harry Roesli dengan band Ken Arok-nya di Semarang diserbu tentara. Bahkan Roesli sempat ditahan.
Bentuk sensor terhadap seniman dan musisi dari masa ke masa menunjukan adanya kekhawatiran dari pemerintah yang berkuasa saat itu. Seni dapat membangkitkan kesadaran publik. Musik sebagai instrumen untuk mencapai tujuan digambarkan oleh Heidegger. Musik menjadi the means of end. Alat itu bisa berupa musik, hukum, politik untuk mencapai tujuan. Ketika ketua-ketua umum partai politik mengajukan penundaan Pemilu 2024, ahli-ahli hukum menggunakan alatnya untuk berpihak atau melawan narasi ini. Pengamat menggunakan instrumen kajian sosial politik. Ternyata, ada aktivis politik yang menggunakan instrumen musik untuk melakukan counter narasi tunda pemilu dengan lagu dangdut Pemilu (tetap) 2024. Instrumen-instrumen ini digerakan oleh kesadaran dari para aktor untuk melakukan perlawanan sosial.
Musisi tengah terkendala oleh pandemi Covid 19, tetapi musik tidak pernah berhenti untuk menyampaikan pesan. Aktivis demokrasi dan pegiat pemilu dapat terus menjadi corong demokratisasi. Bahwa Presiden Joko Widodo sudah menyatakan penolakan terhadap usulan penundaan pemilu, tetapi kekuatan narasi tunda pemilu masih terus bergema. Karenanya, counter narasi masih terus dibunyikan. Di sana musisi juga berperan di dalamnya untuk ikut berwacana tentang tunda pemilu.
(bmm)
tulis komentar anda