Mengenal Lebih Dekat UU Tindak Pidana Korupsi
Senin, 14 Februari 2022 - 10:20 WIB
Inti masalah hukum dan penerapannya yang cocok dengan moral Pancasila, terletak pada dua hal yaitu aspek kepastian hukum(rechtsmatigheids)dan aspek tujuan pembentukan hukum (doelmatigheid). Kedua aspek tersebut seharusnya sesuai dengan moral Pancasila dan diterapkan secara adil dan bijaksana.
Kemuliaan hukum sebagai suatu nilai (values) yang amat berharga bagi kehidupan kita tergantung sepenuhnya pada bagaimana aparatur dan ahli hukum memandang dan memperlakukannya. Dalam praktiknya, hukum yang digunakan untuk mencapai tujuan merupakan hal sesat pikir. Perilaki itu juga mengenyampingkan nilai-nilai kesusilaan, kesopanan, dan nilai-nilai agama serta kearifan masyarakat (local). Inilah yang membuat wajah hukum identik dengan kekuasaan minus nurani. Praktik sedemikian mengakibatkan munculnya skeptisme para pencari keadilan terhadap penegak hukum.
Untuk mencapai cita dan harapan peranan dan fungsi hukum sebagaiman diuraikan di atas, maka pemberantasan korupsi harus mempertimbangkan beberapa hal; antara lain, bagaimana mengenyahkan pemikiran korup yang selalu bertengger pada penyelenggara negara. Selalu ada kesempatan sehingga korupsi terjadi secara sistematik dan berdampak meluas.
Merujuk UU Tipikor dan penerapannya selama puluhan tahun bukanlah sesuatu yang tabu untuk berpikir maju dan berubah. Termasuk dalam memberikan tafsir hukum atas ketentuan UU Tipikor yang ternyata dan telah terbukti keliru dalam praktiknya.
Padahal, dalam penerapan UU telah tersedia lima tafsir hukum yaitu, historis, sosiologis, gramatikal, sistematis logis dan teleologis. Kelimanya untuk memperluas wawasan berpikir dalam mengkaji norma UU sehingga hukum dapat diterapkan secara adil dan bijaksana.
Menumbuhkan keadilan terutama pada hakim merupakan amanat ketentuan Pasal 5 ayat (1) UU No 48/2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Hakim merupakan pelaku utama kekuasaan kehakiman yang mencerminkan sikap adil dan bijaksana berpegang pada kode etik dan sumpah jabatannya. Adapun jaksa sebagai penuntut sepatutnya menghindari kelaliman di tengah penderitaan para pencari keadilan karena hukum.
Praktik penegakan hukum dan pemberantasan korupsi saat ini belum menampakkan prinsip fundamental negara hukum secara nyata. Kasus mega korupsi masih kerap terjadi dilakukan pejabat negara tanpa rasa malu. Korupsi di Indonesia juga selalu berkelindan dengan kekuasaan, dengan subjek pejabat publik atau penyelenggara negara.
Kekuasaan penyelenggara negara di kementerian dan lembaga seharusnya mampu mengelola anggaran dan bukan dijadikan beban. Sebaliknya, subjek hukum Tipikor juga menekankan bahwa setiap sen uang negara yang dikeluarkan tanpa tanggung jawab merupakan kerugian keuangan negara.
Berdasarkan pertimbangan tersebut maka pemerintah telah mewajiban pelaporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) yang diatur dalam UU No 28/1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN).
Aturan tersebut merupakan tulang punggung bagi strategi pencegahan dan pemberantasan korupsi. Jika strategi pencegahan tidak berhasil secara efektif maka strategi pemberantasan/ penindakan dipastikan sia-sia.
Kemuliaan hukum sebagai suatu nilai (values) yang amat berharga bagi kehidupan kita tergantung sepenuhnya pada bagaimana aparatur dan ahli hukum memandang dan memperlakukannya. Dalam praktiknya, hukum yang digunakan untuk mencapai tujuan merupakan hal sesat pikir. Perilaki itu juga mengenyampingkan nilai-nilai kesusilaan, kesopanan, dan nilai-nilai agama serta kearifan masyarakat (local). Inilah yang membuat wajah hukum identik dengan kekuasaan minus nurani. Praktik sedemikian mengakibatkan munculnya skeptisme para pencari keadilan terhadap penegak hukum.
Untuk mencapai cita dan harapan peranan dan fungsi hukum sebagaiman diuraikan di atas, maka pemberantasan korupsi harus mempertimbangkan beberapa hal; antara lain, bagaimana mengenyahkan pemikiran korup yang selalu bertengger pada penyelenggara negara. Selalu ada kesempatan sehingga korupsi terjadi secara sistematik dan berdampak meluas.
Merujuk UU Tipikor dan penerapannya selama puluhan tahun bukanlah sesuatu yang tabu untuk berpikir maju dan berubah. Termasuk dalam memberikan tafsir hukum atas ketentuan UU Tipikor yang ternyata dan telah terbukti keliru dalam praktiknya.
Padahal, dalam penerapan UU telah tersedia lima tafsir hukum yaitu, historis, sosiologis, gramatikal, sistematis logis dan teleologis. Kelimanya untuk memperluas wawasan berpikir dalam mengkaji norma UU sehingga hukum dapat diterapkan secara adil dan bijaksana.
Menumbuhkan keadilan terutama pada hakim merupakan amanat ketentuan Pasal 5 ayat (1) UU No 48/2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Hakim merupakan pelaku utama kekuasaan kehakiman yang mencerminkan sikap adil dan bijaksana berpegang pada kode etik dan sumpah jabatannya. Adapun jaksa sebagai penuntut sepatutnya menghindari kelaliman di tengah penderitaan para pencari keadilan karena hukum.
Praktik penegakan hukum dan pemberantasan korupsi saat ini belum menampakkan prinsip fundamental negara hukum secara nyata. Kasus mega korupsi masih kerap terjadi dilakukan pejabat negara tanpa rasa malu. Korupsi di Indonesia juga selalu berkelindan dengan kekuasaan, dengan subjek pejabat publik atau penyelenggara negara.
Kekuasaan penyelenggara negara di kementerian dan lembaga seharusnya mampu mengelola anggaran dan bukan dijadikan beban. Sebaliknya, subjek hukum Tipikor juga menekankan bahwa setiap sen uang negara yang dikeluarkan tanpa tanggung jawab merupakan kerugian keuangan negara.
Berdasarkan pertimbangan tersebut maka pemerintah telah mewajiban pelaporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) yang diatur dalam UU No 28/1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN).
Aturan tersebut merupakan tulang punggung bagi strategi pencegahan dan pemberantasan korupsi. Jika strategi pencegahan tidak berhasil secara efektif maka strategi pemberantasan/ penindakan dipastikan sia-sia.
tulis komentar anda