Mengenal Lebih Dekat UU Tindak Pidana Korupsi
Senin, 14 Februari 2022 - 10:20 WIB
ROMLI ATMASASMITA
Guru Besar Unpad
Undang-Undang (UU) No 31/1999 yang telah diubah menjadi UU No 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) adalah salah satu bukti nyata sejarah perjalanan bangsa Indonesia menemukan cara-cara yang dipandang ampuh memberantas korupsi.
Namun, mengabaikan pepatah ilmu kedokteran, mencegah lebih baik dari mengobati, ternyata beleid itu menjadi sarana hukum anti korupsi yang melebihi batas takaran yang diperlukan.
Kondisi kekinian pemberantasan korupsi di Indonesia juga sungguh unik, ganjil dan tidak masuk akal. Hasil tangkapan Komisi Pemberantasan Korupsi(KPK) dan Kejaksaan yang diukur dari kuantitas menunjukkan tren positif dan meningkat. Namun, di sisi lain berbanding terbalik dengan penilaian pihak asing dengan indeks persepsi korupsi (IPK) Indonesia yang tidak meningkat selama 23 tahun hingga saat ini.
Jika dibandingkan dengan negara tetangga se-ASEAN, di sana tidak terjadi ada pejabat negara/ASN yang terciduk secara besar-besaran. Dalam konteks tersebut, diperlukan perubahan pemikiran (mindset) para ahli hukum dan praktisi hukum agar tidak lagi terobsesi hanya pada poistivisme hukum yang dipengaruhimechanistic jurisprudenceakan tetapi juga secara berimbang.
Selain itu penting juga untuk meningkatkan efisiensi penggunaan hukum guna mencegah dan memberantas tipikor seperti dilakukan dengan pendekatan relative baru yaitusociological jurisprudencedanpragmatic legal realism.
Kedua pendekatan terakhir akan selalu mempertanyakan bagaimana seharusnya peranan dan fungsi hukum sehingga dapat menempatkan hukum sebagai sarana nyata yang menempatkan manusia pada tempat yang layak untuk didiami.
Oliver Wendell Holmes, seorang mantan Hakim Federal di AS, mengatakan bahwa, “the law is the witness and external deposit of our moral life”.Mengikuti pendapat tersebut, bagi kita hukum itu merupakan saksi dan tabungan kehidupan moral Pancasila yang merupakan nilai peradaban bangsa Indonesia yang berintikan kelima sila Pancasila.
Guru Besar Unpad
Undang-Undang (UU) No 31/1999 yang telah diubah menjadi UU No 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) adalah salah satu bukti nyata sejarah perjalanan bangsa Indonesia menemukan cara-cara yang dipandang ampuh memberantas korupsi.
Namun, mengabaikan pepatah ilmu kedokteran, mencegah lebih baik dari mengobati, ternyata beleid itu menjadi sarana hukum anti korupsi yang melebihi batas takaran yang diperlukan.
Kondisi kekinian pemberantasan korupsi di Indonesia juga sungguh unik, ganjil dan tidak masuk akal. Hasil tangkapan Komisi Pemberantasan Korupsi(KPK) dan Kejaksaan yang diukur dari kuantitas menunjukkan tren positif dan meningkat. Namun, di sisi lain berbanding terbalik dengan penilaian pihak asing dengan indeks persepsi korupsi (IPK) Indonesia yang tidak meningkat selama 23 tahun hingga saat ini.
Jika dibandingkan dengan negara tetangga se-ASEAN, di sana tidak terjadi ada pejabat negara/ASN yang terciduk secara besar-besaran. Dalam konteks tersebut, diperlukan perubahan pemikiran (mindset) para ahli hukum dan praktisi hukum agar tidak lagi terobsesi hanya pada poistivisme hukum yang dipengaruhimechanistic jurisprudenceakan tetapi juga secara berimbang.
Selain itu penting juga untuk meningkatkan efisiensi penggunaan hukum guna mencegah dan memberantas tipikor seperti dilakukan dengan pendekatan relative baru yaitusociological jurisprudencedanpragmatic legal realism.
Kedua pendekatan terakhir akan selalu mempertanyakan bagaimana seharusnya peranan dan fungsi hukum sehingga dapat menempatkan hukum sebagai sarana nyata yang menempatkan manusia pada tempat yang layak untuk didiami.
Oliver Wendell Holmes, seorang mantan Hakim Federal di AS, mengatakan bahwa, “the law is the witness and external deposit of our moral life”.Mengikuti pendapat tersebut, bagi kita hukum itu merupakan saksi dan tabungan kehidupan moral Pancasila yang merupakan nilai peradaban bangsa Indonesia yang berintikan kelima sila Pancasila.
Lihat Juga :
tulis komentar anda