LSI Denny JA: Kecemasan Ekonomi Lampaui Kecemasan Covid-19
Jum'at, 12 Juni 2020 - 19:22 WIB
Ketiga, di sisi lain, tabungan ekonomi umumnya publik luas semakin menipis. Semakin lama berlakunya lockdown, pembatasan sosial, ditutupnya aneka dunia usaha, semakin berkurang kemampuan ekonomi rumah tangga. Di saat kecemasan atas terpapar virus corona menurun, kecemasan atas kesulitan ekonomi meninggi. Terutama dirasakan di lapisan menengah bawah, apalagi sektor informal, bayangan akan kesulitan ekonomi, bahkan kelaparan terasa lebih mengancam dan konkret.
Keempat, jumlah warga secara konkret terkena kesulitan ekonomi jauh melampaui jumlah warga yang terpapar virus Corona. Menaker melaporkan jumlah PHK ditambah yang dirumahkan hingga bulan Juni 2020 sekitar 1,9 juta orang. Sementara APINDO, Asosiasi Pengusaha Indonesia, melaporkan jumlah yang lebih banyak lagi karena juga menghitung sektor informal. Total yang di PHK sudah 7 juta warga. Hingga 11 Juni 2020, dari data Worldometer, yang terpapar virus corona di Indonesia kurang dari 35 ribu warga. Yang wafat karena virus corona kurang dari 2 ribu warga.
"Jika kita bandingkan yang terpapar virus ekonomi (PHK, dirumahkan, juga di sektor informal) vs terpapar virus corona: 7 juta vs 35 ribu. Dengan kata lain, yang terpapar virus ekonomi 200 kali lebih banyak dibandingkan yang terpapar virus corona. Wajar saja jika kecemasan atas kesulitan ekonomi memang lebih masif, lebih dirasakan banyak orang," kata Rully Akbar.
Kelima, hingga Juni 2020, semakin hari grafik yang terpapar, apalagi yang wafat karena virus Corona semakin landai dan menurun. Sebaliknya, grafik kesulitan ekonomi, diukur dari yang di-PHK, yang mengambil pesangon Jamsostek bertambah dari bulan ke bulan. Grafik ini ikut juga membuat kecemasan atas terpapar virus corona melemah, sementara kecemasan atas virus ekonomi meninggi.
Perubahan tingkat kecemasan ini penting untuk dua hal. Pertama, secara bertahap dengan mematuhi protokol kesehatan, warga harus diberikan kebebasan untuk bekerja. Ancaman kelaparan dan kesulitan ekonomi itu riel dirasakan. Mereka yang lapar, yang dihalangi bekerja, dan tidak pula menerima bantuan sosial memadai, mudah sekali berubah menjadi mereka yang marah.
"Segmen yang lapar ini adalah rumput kering. Mereka mudah sekali dipantik untuk memulai kerusuhan sosial. Harus dijaga agar krisis kesehatan tidak berubah menjadi krisis sosial, lalu menjadi krisis politik," tuturnya.
Kedua, di sisi lain, jangan sampai pula Indonesia mengalami serangan pandemik corona gelombang kedua. Pembatasan sosial tetap perlu dilakukan namun diturunkan di level yang lebih kecil saja. Misalnya di tingkat kelurahan, desa, RW, bahkan RT atau klaster tertentu.
"Jangan pula sungkan pemerintah untuk buka tutup, membuka dan menutup kembali sebuah area seperti sekolah, pabrik, mal," katanya.
Menurut Rully Akbar, kampanye perlunya protokol kesehatan justru harus semakin gencar dilakukan ketika warga dibolehkan bekerja kembali.
"Libatkan tokoh masyarakat seperti ulama, wartawan, artis dan para influencer. Dalam kampanye mematuhi protokol kesehatan, jangan hanya dipesankan mereka akan terpapar virus corona. Dipesankan pula, mereka tak akan bisa bekerja lagi jika area itu kembali terpapar," urainya.
Keempat, jumlah warga secara konkret terkena kesulitan ekonomi jauh melampaui jumlah warga yang terpapar virus Corona. Menaker melaporkan jumlah PHK ditambah yang dirumahkan hingga bulan Juni 2020 sekitar 1,9 juta orang. Sementara APINDO, Asosiasi Pengusaha Indonesia, melaporkan jumlah yang lebih banyak lagi karena juga menghitung sektor informal. Total yang di PHK sudah 7 juta warga. Hingga 11 Juni 2020, dari data Worldometer, yang terpapar virus corona di Indonesia kurang dari 35 ribu warga. Yang wafat karena virus corona kurang dari 2 ribu warga.
"Jika kita bandingkan yang terpapar virus ekonomi (PHK, dirumahkan, juga di sektor informal) vs terpapar virus corona: 7 juta vs 35 ribu. Dengan kata lain, yang terpapar virus ekonomi 200 kali lebih banyak dibandingkan yang terpapar virus corona. Wajar saja jika kecemasan atas kesulitan ekonomi memang lebih masif, lebih dirasakan banyak orang," kata Rully Akbar.
Kelima, hingga Juni 2020, semakin hari grafik yang terpapar, apalagi yang wafat karena virus Corona semakin landai dan menurun. Sebaliknya, grafik kesulitan ekonomi, diukur dari yang di-PHK, yang mengambil pesangon Jamsostek bertambah dari bulan ke bulan. Grafik ini ikut juga membuat kecemasan atas terpapar virus corona melemah, sementara kecemasan atas virus ekonomi meninggi.
Perubahan tingkat kecemasan ini penting untuk dua hal. Pertama, secara bertahap dengan mematuhi protokol kesehatan, warga harus diberikan kebebasan untuk bekerja. Ancaman kelaparan dan kesulitan ekonomi itu riel dirasakan. Mereka yang lapar, yang dihalangi bekerja, dan tidak pula menerima bantuan sosial memadai, mudah sekali berubah menjadi mereka yang marah.
"Segmen yang lapar ini adalah rumput kering. Mereka mudah sekali dipantik untuk memulai kerusuhan sosial. Harus dijaga agar krisis kesehatan tidak berubah menjadi krisis sosial, lalu menjadi krisis politik," tuturnya.
Kedua, di sisi lain, jangan sampai pula Indonesia mengalami serangan pandemik corona gelombang kedua. Pembatasan sosial tetap perlu dilakukan namun diturunkan di level yang lebih kecil saja. Misalnya di tingkat kelurahan, desa, RW, bahkan RT atau klaster tertentu.
"Jangan pula sungkan pemerintah untuk buka tutup, membuka dan menutup kembali sebuah area seperti sekolah, pabrik, mal," katanya.
Menurut Rully Akbar, kampanye perlunya protokol kesehatan justru harus semakin gencar dilakukan ketika warga dibolehkan bekerja kembali.
"Libatkan tokoh masyarakat seperti ulama, wartawan, artis dan para influencer. Dalam kampanye mematuhi protokol kesehatan, jangan hanya dipesankan mereka akan terpapar virus corona. Dipesankan pula, mereka tak akan bisa bekerja lagi jika area itu kembali terpapar," urainya.
Lihat Juga :
tulis komentar anda