LSI Denny JA: Kecemasan Ekonomi Lampaui Kecemasan Covid-19
loading...
A
A
A
JAKARTA - Setelah melewati 5-6 bulan pandemi virus Corona (Covid-19), kini terjadi pergeseran bentuk kecemasan publik. Semula kecemasan terhadap Covid-19 menjadi histeria dunia.
Jutaan manusia terpapar dan ratusan ribu meninggal dunia karena hingga kini belum ditemukan obatnya. Hingga akhirnya muncul kampanyekan bekerja dari rumah atau work from home, online class, lockdown hingga Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).
Tapi kini memasuki minggu kedua Juni 2020, publik ternyata lebih cemas terhadap kesulitan ekonomi. Hasil riset LSI Denny JA menunjukkan kecemasan ancaman kesulitan ekonomi justru melampaui kecemasan terpapar virus Corona. Riset ini dilakukan dengan menganalis data sekunder dari berbagai sumber dari dalam dan luar negeri.
LSI Denny JA menemukan lima alasan Indonesia juga mengalami pergeseran itu, dari kecemasan terpapar oleh virus corona beralih dan dikalahkan oleh kecemasan terpapar virus ekonomi.
Tiga sumber data yang digunakan LSI Denny JA untuk menggambarkan beralihnya bentuk kecemasan. Pertama, data Galup Poll (2020). Ini lembaga survei opini publik berpusat di Amerika Serikat (AS).
Lembaga ini mengukur opini publik di AS mulai minggu kedua April 2020 (6- 12 April) hingga minggu ketiga Mei 2020 (11-17 Mei). Terbaca terjadi pergeseran kecemasan di sana. Pada periode 6-12 April 2020, kecemasan terhadap Corona berada di angka 57%. Sementara kecemasan atas kesulitan ekonomi berada di angka 49%.
"Namun di era 11-17 Mei 2020, angka kecemasan itu sudah bergeser. Kecemasan publik terhadap virus corona menurun ke angka 51 persen. Sementara kecemasan atas kesulitan ekonomi menanjak melampaui kecemasan atas virus di angka 53 persen," tutur Peneliti LSI Denny JA, Rully Akbar saat memaparkan hasil riset secara virtual, Jumat (12/6/2020).
( )
Kedua, data dari VoxPopuli Center, lembaga opini publik Indonesia. Pada 26 Mei- 1 Juni 2020, lembaga ini melakukan survei telepon terhadap 1.200 responden Indonesia yang dipilih secara random.
Hasilnya 25,3% publik khawatir terpapar oleh virus Corona. Namun lebih besar lagi, sekitar 67,4% publik khawatir akan kesulitan ekonomi atau bahkan kelaparan.
Ketiga, riset eksperimental yang dilakukan Denny JA dan Eriyanto pada Maret- Juni 2020. Ini bukan survei opini publik, tapi riset eksperimental untuk menggali lebih detail kekhawatiran responden.
Total responden berjumlah 240 mahasiswa. Mereka dibagi ke dalam delapan kelompok, masing masing 30 responden. Setiap kelompok diberi satu jenis treatment saja. Satu dari delapan treatment yang didesain khusus diberikan kepada kelompok tersebut.
Ragam treatment dibedakan antara informasi tinggi rendahnya ancaman. Yaitu ancaman kesehatan (kematian hingga terpapar virus yang bisa disembuhkan), versus ancaman ekonomi (kelaparan dan kehilangan pekerjaan hingga bisa mencari penghasilan lain). Treatment juga dibedakan antara kemampuan individu, mulai dari mampu menangkal ancaman kesehatan dan ekonomi versus tak mampu menangkal.
"Melalui analisa statistik, diketahui bahwa kekhawatiran efek virus yang mengancam ekonomi melampaui kekhawatiran efek virus yang mengancam kesehatan. Responden lebih takut ancaman kesulitan ekonomi dibandingkan terpapar virus corona," urainya.
Riset yang dilakukan LSI Denny JA menemukan lima alasan mengapa kini, setelah 5-6 bulan dunia tenggelam dalam pandemik virus corona, yang belum ada obatnya, belum ditemukan vaksin, tapi kecemasan atas kesulitan ekonomi mulai melampaui kecemasan atas kesehatan terpapar virus Corona.
Pertama, meluasnya berita kisah sukses banyak negara. Cukup massif berita media konvensional ditambah media sosial memberitakan banyak negara sudah melampaui puncak pandemik. Virus corona di negara tersebut relatif bisa dikendalikan walau vaksin belum ditemukan.
Negara yang sering diberitakan sukses adalah Selandia Baru, Jerman, Hong Kong dan Korea Selatan. "Walau vaksin belum tersedia, contoh kongkret negara yang sukses itu sudah cukup mengurangi kecemasan atas virus. Apalagi diberitakan pula kegiatan ekonomi di negara tersebut secara bertahap mulai hidup lagi. Berita ini sampai meluas kepada publik Indonesia baik melalui media konvensional ataupun media sosial," tuturnya.
Kedua, meluasnya kemampuan protokol kesehatan dalam mengurangi tingkat pencemaran virus corona. Social distancing, cuci tangan, masker adalah tiga cara paling populer dalam protokol kesehatan itu. Terbentuk pesan kuat, walau vaksin belum ditemukan, manusia punya alat lain untuk melawan, untuk melindungi diri.
Ditemukannya protokol kesehatan yang efektif ini juga mengurangi tingkat kecemasan. Tidak benar kita sama sekali tak berdaya menghadapi virus walau vaksin belum ditemukan.
Ketiga, di sisi lain, tabungan ekonomi umumnya publik luas semakin menipis. Semakin lama berlakunya lockdown, pembatasan sosial, ditutupnya aneka dunia usaha, semakin berkurang kemampuan ekonomi rumah tangga. Di saat kecemasan atas terpapar virus corona menurun, kecemasan atas kesulitan ekonomi meninggi. Terutama dirasakan di lapisan menengah bawah, apalagi sektor informal, bayangan akan kesulitan ekonomi, bahkan kelaparan terasa lebih mengancam dan konkret.
Keempat, jumlah warga secara konkret terkena kesulitan ekonomi jauh melampaui jumlah warga yang terpapar virus Corona. Menaker melaporkan jumlah PHK ditambah yang dirumahkan hingga bulan Juni 2020 sekitar 1,9 juta orang. Sementara APINDO, Asosiasi Pengusaha Indonesia, melaporkan jumlah yang lebih banyak lagi karena juga menghitung sektor informal. Total yang di PHK sudah 7 juta warga. Hingga 11 Juni 2020, dari data Worldometer, yang terpapar virus corona di Indonesia kurang dari 35 ribu warga. Yang wafat karena virus corona kurang dari 2 ribu warga.
"Jika kita bandingkan yang terpapar virus ekonomi (PHK, dirumahkan, juga di sektor informal) vs terpapar virus corona: 7 juta vs 35 ribu. Dengan kata lain, yang terpapar virus ekonomi 200 kali lebih banyak dibandingkan yang terpapar virus corona. Wajar saja jika kecemasan atas kesulitan ekonomi memang lebih masif, lebih dirasakan banyak orang," kata Rully Akbar.
Kelima, hingga Juni 2020, semakin hari grafik yang terpapar, apalagi yang wafat karena virus Corona semakin landai dan menurun. Sebaliknya, grafik kesulitan ekonomi, diukur dari yang di-PHK, yang mengambil pesangon Jamsostek bertambah dari bulan ke bulan. Grafik ini ikut juga membuat kecemasan atas terpapar virus corona melemah, sementara kecemasan atas virus ekonomi meninggi.
Perubahan tingkat kecemasan ini penting untuk dua hal. Pertama, secara bertahap dengan mematuhi protokol kesehatan, warga harus diberikan kebebasan untuk bekerja. Ancaman kelaparan dan kesulitan ekonomi itu riel dirasakan. Mereka yang lapar, yang dihalangi bekerja, dan tidak pula menerima bantuan sosial memadai, mudah sekali berubah menjadi mereka yang marah.
"Segmen yang lapar ini adalah rumput kering. Mereka mudah sekali dipantik untuk memulai kerusuhan sosial. Harus dijaga agar krisis kesehatan tidak berubah menjadi krisis sosial, lalu menjadi krisis politik," tuturnya.
Kedua, di sisi lain, jangan sampai pula Indonesia mengalami serangan pandemik corona gelombang kedua. Pembatasan sosial tetap perlu dilakukan namun diturunkan di level yang lebih kecil saja. Misalnya di tingkat kelurahan, desa, RW, bahkan RT atau klaster tertentu.
"Jangan pula sungkan pemerintah untuk buka tutup, membuka dan menutup kembali sebuah area seperti sekolah, pabrik, mal," katanya.
Menurut Rully Akbar, kampanye perlunya protokol kesehatan justru harus semakin gencar dilakukan ketika warga dibolehkan bekerja kembali.
"Libatkan tokoh masyarakat seperti ulama, wartawan, artis dan para influencer. Dalam kampanye mematuhi protokol kesehatan, jangan hanya dipesankan mereka akan terpapar virus corona. Dipesankan pula, mereka tak akan bisa bekerja lagi jika area itu kembali terpapar," urainya.
Selain itu, perlu kampanye protokol kesehatan yang berisi ancaman ekonomi kini lebih efektif karena kecemasan atas kesulitan ekonomi kini sudah melampaui kecemasan atas kesehatan.
Jutaan manusia terpapar dan ratusan ribu meninggal dunia karena hingga kini belum ditemukan obatnya. Hingga akhirnya muncul kampanyekan bekerja dari rumah atau work from home, online class, lockdown hingga Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).
Tapi kini memasuki minggu kedua Juni 2020, publik ternyata lebih cemas terhadap kesulitan ekonomi. Hasil riset LSI Denny JA menunjukkan kecemasan ancaman kesulitan ekonomi justru melampaui kecemasan terpapar virus Corona. Riset ini dilakukan dengan menganalis data sekunder dari berbagai sumber dari dalam dan luar negeri.
LSI Denny JA menemukan lima alasan Indonesia juga mengalami pergeseran itu, dari kecemasan terpapar oleh virus corona beralih dan dikalahkan oleh kecemasan terpapar virus ekonomi.
Tiga sumber data yang digunakan LSI Denny JA untuk menggambarkan beralihnya bentuk kecemasan. Pertama, data Galup Poll (2020). Ini lembaga survei opini publik berpusat di Amerika Serikat (AS).
Lembaga ini mengukur opini publik di AS mulai minggu kedua April 2020 (6- 12 April) hingga minggu ketiga Mei 2020 (11-17 Mei). Terbaca terjadi pergeseran kecemasan di sana. Pada periode 6-12 April 2020, kecemasan terhadap Corona berada di angka 57%. Sementara kecemasan atas kesulitan ekonomi berada di angka 49%.
"Namun di era 11-17 Mei 2020, angka kecemasan itu sudah bergeser. Kecemasan publik terhadap virus corona menurun ke angka 51 persen. Sementara kecemasan atas kesulitan ekonomi menanjak melampaui kecemasan atas virus di angka 53 persen," tutur Peneliti LSI Denny JA, Rully Akbar saat memaparkan hasil riset secara virtual, Jumat (12/6/2020).
( )
Kedua, data dari VoxPopuli Center, lembaga opini publik Indonesia. Pada 26 Mei- 1 Juni 2020, lembaga ini melakukan survei telepon terhadap 1.200 responden Indonesia yang dipilih secara random.
Hasilnya 25,3% publik khawatir terpapar oleh virus Corona. Namun lebih besar lagi, sekitar 67,4% publik khawatir akan kesulitan ekonomi atau bahkan kelaparan.
Ketiga, riset eksperimental yang dilakukan Denny JA dan Eriyanto pada Maret- Juni 2020. Ini bukan survei opini publik, tapi riset eksperimental untuk menggali lebih detail kekhawatiran responden.
Total responden berjumlah 240 mahasiswa. Mereka dibagi ke dalam delapan kelompok, masing masing 30 responden. Setiap kelompok diberi satu jenis treatment saja. Satu dari delapan treatment yang didesain khusus diberikan kepada kelompok tersebut.
Ragam treatment dibedakan antara informasi tinggi rendahnya ancaman. Yaitu ancaman kesehatan (kematian hingga terpapar virus yang bisa disembuhkan), versus ancaman ekonomi (kelaparan dan kehilangan pekerjaan hingga bisa mencari penghasilan lain). Treatment juga dibedakan antara kemampuan individu, mulai dari mampu menangkal ancaman kesehatan dan ekonomi versus tak mampu menangkal.
"Melalui analisa statistik, diketahui bahwa kekhawatiran efek virus yang mengancam ekonomi melampaui kekhawatiran efek virus yang mengancam kesehatan. Responden lebih takut ancaman kesulitan ekonomi dibandingkan terpapar virus corona," urainya.
Riset yang dilakukan LSI Denny JA menemukan lima alasan mengapa kini, setelah 5-6 bulan dunia tenggelam dalam pandemik virus corona, yang belum ada obatnya, belum ditemukan vaksin, tapi kecemasan atas kesulitan ekonomi mulai melampaui kecemasan atas kesehatan terpapar virus Corona.
Pertama, meluasnya berita kisah sukses banyak negara. Cukup massif berita media konvensional ditambah media sosial memberitakan banyak negara sudah melampaui puncak pandemik. Virus corona di negara tersebut relatif bisa dikendalikan walau vaksin belum ditemukan.
Negara yang sering diberitakan sukses adalah Selandia Baru, Jerman, Hong Kong dan Korea Selatan. "Walau vaksin belum tersedia, contoh kongkret negara yang sukses itu sudah cukup mengurangi kecemasan atas virus. Apalagi diberitakan pula kegiatan ekonomi di negara tersebut secara bertahap mulai hidup lagi. Berita ini sampai meluas kepada publik Indonesia baik melalui media konvensional ataupun media sosial," tuturnya.
Kedua, meluasnya kemampuan protokol kesehatan dalam mengurangi tingkat pencemaran virus corona. Social distancing, cuci tangan, masker adalah tiga cara paling populer dalam protokol kesehatan itu. Terbentuk pesan kuat, walau vaksin belum ditemukan, manusia punya alat lain untuk melawan, untuk melindungi diri.
Ditemukannya protokol kesehatan yang efektif ini juga mengurangi tingkat kecemasan. Tidak benar kita sama sekali tak berdaya menghadapi virus walau vaksin belum ditemukan.
Ketiga, di sisi lain, tabungan ekonomi umumnya publik luas semakin menipis. Semakin lama berlakunya lockdown, pembatasan sosial, ditutupnya aneka dunia usaha, semakin berkurang kemampuan ekonomi rumah tangga. Di saat kecemasan atas terpapar virus corona menurun, kecemasan atas kesulitan ekonomi meninggi. Terutama dirasakan di lapisan menengah bawah, apalagi sektor informal, bayangan akan kesulitan ekonomi, bahkan kelaparan terasa lebih mengancam dan konkret.
Keempat, jumlah warga secara konkret terkena kesulitan ekonomi jauh melampaui jumlah warga yang terpapar virus Corona. Menaker melaporkan jumlah PHK ditambah yang dirumahkan hingga bulan Juni 2020 sekitar 1,9 juta orang. Sementara APINDO, Asosiasi Pengusaha Indonesia, melaporkan jumlah yang lebih banyak lagi karena juga menghitung sektor informal. Total yang di PHK sudah 7 juta warga. Hingga 11 Juni 2020, dari data Worldometer, yang terpapar virus corona di Indonesia kurang dari 35 ribu warga. Yang wafat karena virus corona kurang dari 2 ribu warga.
"Jika kita bandingkan yang terpapar virus ekonomi (PHK, dirumahkan, juga di sektor informal) vs terpapar virus corona: 7 juta vs 35 ribu. Dengan kata lain, yang terpapar virus ekonomi 200 kali lebih banyak dibandingkan yang terpapar virus corona. Wajar saja jika kecemasan atas kesulitan ekonomi memang lebih masif, lebih dirasakan banyak orang," kata Rully Akbar.
Kelima, hingga Juni 2020, semakin hari grafik yang terpapar, apalagi yang wafat karena virus Corona semakin landai dan menurun. Sebaliknya, grafik kesulitan ekonomi, diukur dari yang di-PHK, yang mengambil pesangon Jamsostek bertambah dari bulan ke bulan. Grafik ini ikut juga membuat kecemasan atas terpapar virus corona melemah, sementara kecemasan atas virus ekonomi meninggi.
Perubahan tingkat kecemasan ini penting untuk dua hal. Pertama, secara bertahap dengan mematuhi protokol kesehatan, warga harus diberikan kebebasan untuk bekerja. Ancaman kelaparan dan kesulitan ekonomi itu riel dirasakan. Mereka yang lapar, yang dihalangi bekerja, dan tidak pula menerima bantuan sosial memadai, mudah sekali berubah menjadi mereka yang marah.
"Segmen yang lapar ini adalah rumput kering. Mereka mudah sekali dipantik untuk memulai kerusuhan sosial. Harus dijaga agar krisis kesehatan tidak berubah menjadi krisis sosial, lalu menjadi krisis politik," tuturnya.
Kedua, di sisi lain, jangan sampai pula Indonesia mengalami serangan pandemik corona gelombang kedua. Pembatasan sosial tetap perlu dilakukan namun diturunkan di level yang lebih kecil saja. Misalnya di tingkat kelurahan, desa, RW, bahkan RT atau klaster tertentu.
"Jangan pula sungkan pemerintah untuk buka tutup, membuka dan menutup kembali sebuah area seperti sekolah, pabrik, mal," katanya.
Menurut Rully Akbar, kampanye perlunya protokol kesehatan justru harus semakin gencar dilakukan ketika warga dibolehkan bekerja kembali.
"Libatkan tokoh masyarakat seperti ulama, wartawan, artis dan para influencer. Dalam kampanye mematuhi protokol kesehatan, jangan hanya dipesankan mereka akan terpapar virus corona. Dipesankan pula, mereka tak akan bisa bekerja lagi jika area itu kembali terpapar," urainya.
Selain itu, perlu kampanye protokol kesehatan yang berisi ancaman ekonomi kini lebih efektif karena kecemasan atas kesulitan ekonomi kini sudah melampaui kecemasan atas kesehatan.
(dam)