Antihero Zaman Now
Sabtu, 05 Februari 2022 - 08:53 WIB
Tragika fakta hari-hari ini the next Habibie justru bikin ulah. Harakiri intelektual. Gerangan apa Mas Bro di benakmu? Aksi histeris, bukan! Heroik, juga bukan!
So pasti, Dwi Hartanto menguak lembaran histori baru. Intelektual muda kita silau karakter pragmatisme dan hedonisme ilmu. Akibatnya, muncul greedy konsumtif dalam segala hal. Manusia muda Dwi Hartanto jujur hancur mengorbankan diri. Jujur adalah biangnya.
Dwi Hartanto bukan Santo. Dwi Hartanto tidak mengatasnamakan agama demi meraih asa. Tetapi zat-kejujurannya abadi. Niat jujur Dwi Hartanto mampu menjahit mulut negara. Dwi Hartanto adalah potret superhero yang mengalami benturan emosionalitas temporer. Sayang, kejujurannya membentur tembok kaum borjuasi dan tiran.
Zaman now adalah millieu sarkas. Zaman ketika Tuhan hendak dijual. Ajaran agama dipreteli. Tetapi ketika kesandung konflik diri, agama dan Tuhan diamini. Bah, iman apaan ini?
Adakah kejujuran belasungkawa dari politisi, teknokrat, birokrat, dan negarawan kita? Mas Bro Dwi Hartanto memantik nostalgik saya untuk membangunkan tragik si Sondang Hutagalung tahun silam. Sondang juga intelektual muda. Dwi Hartanto pun demikian. Namun, jujur underan mereka dalam core ko-teks dan konteks yang berbeda.
Kala itu saya teringat jelas sajak karya Adhie Massardie yang terguris hati. Passion Adhie Massardie tergugah dalam untai sajak yang menyuarakan jerit derita rakyat. Sondang adalah simbol kejujuran. Sondang adalah lambang perjuangan manusia muda. Ikonik intelektual muda. Yuk, kita memule Sondang sejenak lewat sajak ini.
/SONDANG/
Langit runtuh/Hukum tersungkur/di kaki para koruptor yang bercokol/di pusat kekuasaan/
Kau hanya anak sopir angkutan/yang mengais rejeki sepanjang jalan/tak akan sanggup melawan para tiran/yang mengendalikan semua aturan/
Maka kemarahanmu yang membara/menghanguskan tubuhmu/Apimu memercik ke penjuru negeri/Membakar semangat perlawanan/
So pasti, Dwi Hartanto menguak lembaran histori baru. Intelektual muda kita silau karakter pragmatisme dan hedonisme ilmu. Akibatnya, muncul greedy konsumtif dalam segala hal. Manusia muda Dwi Hartanto jujur hancur mengorbankan diri. Jujur adalah biangnya.
Dwi Hartanto bukan Santo. Dwi Hartanto tidak mengatasnamakan agama demi meraih asa. Tetapi zat-kejujurannya abadi. Niat jujur Dwi Hartanto mampu menjahit mulut negara. Dwi Hartanto adalah potret superhero yang mengalami benturan emosionalitas temporer. Sayang, kejujurannya membentur tembok kaum borjuasi dan tiran.
Zaman now adalah millieu sarkas. Zaman ketika Tuhan hendak dijual. Ajaran agama dipreteli. Tetapi ketika kesandung konflik diri, agama dan Tuhan diamini. Bah, iman apaan ini?
Adakah kejujuran belasungkawa dari politisi, teknokrat, birokrat, dan negarawan kita? Mas Bro Dwi Hartanto memantik nostalgik saya untuk membangunkan tragik si Sondang Hutagalung tahun silam. Sondang juga intelektual muda. Dwi Hartanto pun demikian. Namun, jujur underan mereka dalam core ko-teks dan konteks yang berbeda.
Kala itu saya teringat jelas sajak karya Adhie Massardie yang terguris hati. Passion Adhie Massardie tergugah dalam untai sajak yang menyuarakan jerit derita rakyat. Sondang adalah simbol kejujuran. Sondang adalah lambang perjuangan manusia muda. Ikonik intelektual muda. Yuk, kita memule Sondang sejenak lewat sajak ini.
/SONDANG/
Langit runtuh/Hukum tersungkur/di kaki para koruptor yang bercokol/di pusat kekuasaan/
Kau hanya anak sopir angkutan/yang mengais rejeki sepanjang jalan/tak akan sanggup melawan para tiran/yang mengendalikan semua aturan/
Maka kemarahanmu yang membara/menghanguskan tubuhmu/Apimu memercik ke penjuru negeri/Membakar semangat perlawanan/
Lihat Juga :
tulis komentar anda