Meneroka Batjaan Liar

Sabtu, 05 Februari 2022 - 08:11 WIB
Meneroka Batjaan Liar
Adib Baroya

Esais dan peresensi buku, tinggal di Kartasura, Solo

Pada mulanya, saat politik etis masih semangat dikobarkan di Hindia Belanda, sebuah negeri yang kelak sedikit-banyak berubah menjadi Indonesia, “batjaan liar” tidak diarahkan untuk hadir menjadi rival tangguh atau counter hegemony atas produk bacaan Balai Poestaka, sebuah komisi literatur di bawah payung kolonial.

Kaum pergerakan, yang secara organisatoris mengelola bacaan liar ini, masih sekadar mengharapkan melalui bacaan tersebut dapat menjelaskan kepada kaoem kromo perihal kontradiksi yang aneh: bertambahnya kekayaan bagi satu golongan juga berarti bertambahnya kemelaratan bagi orang lain. Sebuah kondisi perekonomian dengan perkembangan kapitalisme yang lamat-lamat hadir di tanah jajahan.

Bacaan itu menyodorkan gagasan-gagasan politis, secara frontal tersurat maupun tipis-tipis. Oleh karena itu, dari sini juga diangankan bahwa bacaan yang dengan bangga disebut “literatur socialistich” pada kongres PKI tahun 1921, bisa membangkitkan massa di tanah jajahan, untuk aksi politik atas nama ketidaksamarataan. “Literatur socialistich” adalah teks-teks literatur yang menyodorkan gagasan ketimpangan dan ketidakadilan, kemudian memantik kesadaran. Pengadaan bacaan tersebut termasuk program demi diseminasi pengetahuan dan seruan pergerakan. Ini mencandrakan pendidikan teoritis tidak saja terus-menerus digalakkan untuk anggota sendiri (internal), tetapi juga massa di luar partai (eksternal).



Istilah bacaan liar ini sebenarnya lahir bukan tanpa sebab-musabab. Kali pertama istilah ini mengacu apa yang ditulis oleh DA Rinkes, ‘kepala komisi bacaan rakyat’. Sebutan itu berpangkal pada produk bacaan kaum pergerakan yang dianggap provokatif, mengandung propaganda, menentang tata aturan, menyerang status quo yang dibentuk pemerintah kolonial, dan memendarkan ide yang bisa mengganggu keamanan dan ketertiban (rust en orde).

Inilah yang menjadi pembahasan pokok dalam buku Bacaan Liar: Budaya dan Politik pada Zaman Pergerakan garapan Razif. Buku ini membentangkan bagaimana produksi teks bacaan oleh kaum pergerakan, yang sering disebut oleh pihak negara kolonial Hindia-Belanda sebagai bacaan liar, tumbuh dan berkembang, disebarluaskan, hingga ajal menjemputnya. Buku ini meneroka bacaan liar sejak hidup sampai redup.

Dengan otoritas kepakarannya, Razif tidak hanya mengemukakan cikal bakal dan perkembangan bacaan liar secara historis, dengan berbekal referensi yang melimpah dan sumber primer masa silam maupun riset-riset terdahulu. Namun, Razif juga mengkritiknya. Ini terlihat saat Razif memberi catatan atas tulisan A Teeuw, umpamanya.

A Teeuw meninjau bahwa Hikajat Kadiroen garapan Semaoen dari sudut kesusastraan semata-mata amat lemah. A Teeuw juga mengecam bahasa yang dipakai oleh literatur socialistisch adalah bahasa pra-Balai Poestaka, yang kacau dan belepotan di sana-sini hingga tata bahasanya penuh dialog keseharian, bercampur baur antara bahasa Melayu Pasar, bahasa Jawa, dan bahasa Belanda alias belum konsisten dengan bahasa teks.
Dapatkan berita terbaru, follow WhatsApp Channel SINDOnews sekarang juga!
Halaman :
tulis komentar anda
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More