Menakar Konstitusionalitas Presidential Threshold
Rabu, 19 Januari 2022 - 12:31 WIB
Sedangkan pada sistem presidensil, para menteri tunduk dan bertanggung jawab kepada presiden sebab hak prerogatif untuk mengangkat dan memberhentikan seorang menteri ada di tangan presiden. Pasal 17 ayat (1) dan (2) UUD 1945 menyatakan, “Presiden dibantu oleh menteri-menteri negara. Menteri-menteri itu diangkat dan diberhentikan oleh Presiden”. Dengan demikian, nuansa pekerjaan para menteri dalam sistem presidensil bersifat lebih profesional dan tidak politis.
Sebab itu, dalam menetapkan kriteria seorang menteri, presiden selayaknya mengutamakan aspek kapabilitas dan integritas kepemimpinan daripada menegdepankan persyaratan dukungan politis karena dalam sistem pemerintahan presidensil lebih menuntut kabinetnya sebagai zaken-kabinet (kabinet profesional).
Diakui atau tidak, kebijakan PT yang kemudian melahirkan kewajiban bagi partai untuk berkoalisi, telah menjadi hambatan besar bagi presiden terpilih untuk membentuk kabinet profesional. Penentuan menteri seringkali bukan atas pertimbangan kompetensi, tetapi lebih banyak berdasar pada politik transaksional-pragmatis jangka pendek.
Selain merusak tatanan sistem presidensil, kebijakan PT juga telah menurunkan derajat demokratisasi pelaksanaan pilpres. Hal ini misalnya terlihat dari semakin terbatasnya jumlah calon sehingga pilpres tidak lagi berlangsung secara kompetitif. Padahal salah satu ciri pemilu yang demokratis adalah diikuti oleh calon yang beragam sehingga memungkin pemilih untuk mendapatkan alternatif pilihan.
Lebih dari itu, PT tidak hanya menyebabkan kadar kompetisi dalam pemilu menjadi berkurang, tetapi juga telah merusak tatanan demokratisasi internal parpol sebab rekrutmen capres/cawapres tidak berlangsung secara demokratis dan terbuka sebagaimana diamanatkan oleh UU Pemilu dan UU Parpol, tetapi sepenuhnya dihegemoni oleh kekuasaan para elite dan ketua umum parpol.
Dengan mempertimbangkan berbagai dampak negatif dari kebijakan PT terhadap keberlangsungan demokratisasi penyelenggaraan pilpres dan penguatan sistem presidensil, maka tidak ada salahnya jika MK melakukan ijtihad baru dengan menghapuskan ketentuan PT yang keberadaannya jelas-jelas bertentangan dengan ruh konstitusi.
Semua ini tentu hanya mungkin terwujud jika hakim konstitusi tidak membaca UUD 1945 hanya sekadar gramatikal-tekstual tetapi lebih jauh yaitu menyelami makna tersurat maupun tersirat yang terkandung di dalamnya.
Sebab itu, dalam menetapkan kriteria seorang menteri, presiden selayaknya mengutamakan aspek kapabilitas dan integritas kepemimpinan daripada menegdepankan persyaratan dukungan politis karena dalam sistem pemerintahan presidensil lebih menuntut kabinetnya sebagai zaken-kabinet (kabinet profesional).
Diakui atau tidak, kebijakan PT yang kemudian melahirkan kewajiban bagi partai untuk berkoalisi, telah menjadi hambatan besar bagi presiden terpilih untuk membentuk kabinet profesional. Penentuan menteri seringkali bukan atas pertimbangan kompetensi, tetapi lebih banyak berdasar pada politik transaksional-pragmatis jangka pendek.
Selain merusak tatanan sistem presidensil, kebijakan PT juga telah menurunkan derajat demokratisasi pelaksanaan pilpres. Hal ini misalnya terlihat dari semakin terbatasnya jumlah calon sehingga pilpres tidak lagi berlangsung secara kompetitif. Padahal salah satu ciri pemilu yang demokratis adalah diikuti oleh calon yang beragam sehingga memungkin pemilih untuk mendapatkan alternatif pilihan.
Lebih dari itu, PT tidak hanya menyebabkan kadar kompetisi dalam pemilu menjadi berkurang, tetapi juga telah merusak tatanan demokratisasi internal parpol sebab rekrutmen capres/cawapres tidak berlangsung secara demokratis dan terbuka sebagaimana diamanatkan oleh UU Pemilu dan UU Parpol, tetapi sepenuhnya dihegemoni oleh kekuasaan para elite dan ketua umum parpol.
Dengan mempertimbangkan berbagai dampak negatif dari kebijakan PT terhadap keberlangsungan demokratisasi penyelenggaraan pilpres dan penguatan sistem presidensil, maka tidak ada salahnya jika MK melakukan ijtihad baru dengan menghapuskan ketentuan PT yang keberadaannya jelas-jelas bertentangan dengan ruh konstitusi.
Semua ini tentu hanya mungkin terwujud jika hakim konstitusi tidak membaca UUD 1945 hanya sekadar gramatikal-tekstual tetapi lebih jauh yaitu menyelami makna tersurat maupun tersirat yang terkandung di dalamnya.
(bmm)
tulis komentar anda