Kejahatan Seksual
Sabtu, 08 Januari 2022 - 09:14 WIB
Dalam perspektif moralitas-religius, kejahatan seksual tergolong perbuatan keji. Amat dikutuk. Ucapan dan perilaku keji menjurus seksualitas seperti menyebut tubuh perempuan bahenol, pelacur, dan body shaming lain tergolong sebagai pelecehan seksual, sekaligus penodaan martabat perempuan. Tindakan meraba-raba, mencolek, dan tindakan lain diharamkan dilakukan oleh dan kepada siapa pun, dan di mana pun kecuali mereka dalam hubungan sebagai suami-istri.
Dalam beberapa hadis, Nabi SAW bersabda; “Jika kepala salah seorang di antara kalian ditusuk jarum besi, itu lebih baik daripada meraba-raba perempuan yang bukan istrinya.” (HR At-Tabrani, Rijaluluhu tsiqatun). Dalam hadis lain Nabi bersabda, “Jika kalian berkubang dengan babi yang berlumuran dengan lumpur dan kotoran, itu lebih baik dari pada engkau menyandarkan bahumu di atas bahu perempuan yang bukan istrimu.” (HR At-Tabrani).
Di era modern, serba digital saat ini, beragam modus baru kejahatan seksual terus bermunculan, berkelindan dengan modus-modus lama. Segalanya, bermuara pada satu kesimpulan bahwa predator seksual tak pernah habis, tak kenal zaman, malah makin marak, bergentayangan. Orang-orang waras dibuat miris karenanya. Nah, di hadapkan pada fenomena jahiliah ini, beragam opini bermunculan. Selain deskripsi dan kutukan, tak kurang pula saran, masukan-masukan cerdas, untuk pemberantasannya.
Para penganut aliran legal-positivism, umumnya berpendapat bahwa kehadiran hukum negara, aparatur negara, sangat diperlukan dan mendesak. Diharapkan, jangan sampai negara kalah cepat dibanding mutasi para predator seksual.
Karenanya, pembahasan RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) agar dipercepat. Undang-undang ini nantinya dapat difungsikan sebagai sarana pencegahan, penindakan, dan perlindungan korban, bila ada kejahatan seksual. Keberadaan Peraturan Pemerintah Nomor 70/2020 tentang Tata Cara Pelaksanaan Tindakan Kebiri Kimia, Pemasangan Alat Pendeteksi Elektronik, Rehabilitasi, dan Pengumuman Identitas Pelaku Kekerasan Seksual terhadap Anak, mesti didayagunakan secara maksimal.
Tanpa mengurangi rasa hormat terhadap pandangan kaum legal-positivism, kiranya penting diperhatikan pula pandangan penganut sosiologi hukum. Menurut kaum sosiologi hukum, dalam kejahatan seksual senantiasa terlihat peran masyarakat.
Karenanya, diperlukan wawasan lebih luas dalam melihat kejahatan seksual, bukan sekadar dan terbatas pada rumusan teks perundang-undangan, melainkan dengan seksama mencermati perilaku sosial masyarakatnya.
Kalaupun hukum sebagai teks telah diyakini bagus, maka pelaksanaannya harus efektif, diperlukan mobilisasi hukum (Black, 1980). Dalam penegakan hukum, aparat dapat menambah ataupun mengurangi, mengubah atau menjabarkan isi teks perundang-undangan ke dalam realitas nyata, sehingga kemungkinan adanya kejahatan yang lolos dari jeratan hukum itu sempit (kecil). Dengan kata lain, efektivitas penegakan hukum menjadi tinggi. Prasyaratnya komitmen, moralitas, dan profesionalitas aparat (dan dukungan masyarakat), sangat dibutuhkan.
Selain itu, juga diperlukan kepekaan sosial, ketebalan moralitas-religius, dan keahlian dalam memilah-milah teori, maupun norma hukum selama proses penjelasan, pencegahan, dan pemberantasan kejahatan seksual. Dengan metode pemahaman dan langkah-langkah holistis, diharapkan pelaku maupun korban dapat diperlakukan secara proporsional, dan diberikan konsekuensi (sanksi) hukum, serta rehabilitasi psikologis yang akurat dan tepat. Wallahua’lam.
Lihat Juga: Sebut Anaknya Tak di Cirebon saat Pembunuhan Vina, Ibunda Pegi: Dia Bilang Mau Berangkat Kerja
Dalam beberapa hadis, Nabi SAW bersabda; “Jika kepala salah seorang di antara kalian ditusuk jarum besi, itu lebih baik daripada meraba-raba perempuan yang bukan istrinya.” (HR At-Tabrani, Rijaluluhu tsiqatun). Dalam hadis lain Nabi bersabda, “Jika kalian berkubang dengan babi yang berlumuran dengan lumpur dan kotoran, itu lebih baik dari pada engkau menyandarkan bahumu di atas bahu perempuan yang bukan istrimu.” (HR At-Tabrani).
Di era modern, serba digital saat ini, beragam modus baru kejahatan seksual terus bermunculan, berkelindan dengan modus-modus lama. Segalanya, bermuara pada satu kesimpulan bahwa predator seksual tak pernah habis, tak kenal zaman, malah makin marak, bergentayangan. Orang-orang waras dibuat miris karenanya. Nah, di hadapkan pada fenomena jahiliah ini, beragam opini bermunculan. Selain deskripsi dan kutukan, tak kurang pula saran, masukan-masukan cerdas, untuk pemberantasannya.
Para penganut aliran legal-positivism, umumnya berpendapat bahwa kehadiran hukum negara, aparatur negara, sangat diperlukan dan mendesak. Diharapkan, jangan sampai negara kalah cepat dibanding mutasi para predator seksual.
Karenanya, pembahasan RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) agar dipercepat. Undang-undang ini nantinya dapat difungsikan sebagai sarana pencegahan, penindakan, dan perlindungan korban, bila ada kejahatan seksual. Keberadaan Peraturan Pemerintah Nomor 70/2020 tentang Tata Cara Pelaksanaan Tindakan Kebiri Kimia, Pemasangan Alat Pendeteksi Elektronik, Rehabilitasi, dan Pengumuman Identitas Pelaku Kekerasan Seksual terhadap Anak, mesti didayagunakan secara maksimal.
Tanpa mengurangi rasa hormat terhadap pandangan kaum legal-positivism, kiranya penting diperhatikan pula pandangan penganut sosiologi hukum. Menurut kaum sosiologi hukum, dalam kejahatan seksual senantiasa terlihat peran masyarakat.
Karenanya, diperlukan wawasan lebih luas dalam melihat kejahatan seksual, bukan sekadar dan terbatas pada rumusan teks perundang-undangan, melainkan dengan seksama mencermati perilaku sosial masyarakatnya.
Kalaupun hukum sebagai teks telah diyakini bagus, maka pelaksanaannya harus efektif, diperlukan mobilisasi hukum (Black, 1980). Dalam penegakan hukum, aparat dapat menambah ataupun mengurangi, mengubah atau menjabarkan isi teks perundang-undangan ke dalam realitas nyata, sehingga kemungkinan adanya kejahatan yang lolos dari jeratan hukum itu sempit (kecil). Dengan kata lain, efektivitas penegakan hukum menjadi tinggi. Prasyaratnya komitmen, moralitas, dan profesionalitas aparat (dan dukungan masyarakat), sangat dibutuhkan.
Selain itu, juga diperlukan kepekaan sosial, ketebalan moralitas-religius, dan keahlian dalam memilah-milah teori, maupun norma hukum selama proses penjelasan, pencegahan, dan pemberantasan kejahatan seksual. Dengan metode pemahaman dan langkah-langkah holistis, diharapkan pelaku maupun korban dapat diperlakukan secara proporsional, dan diberikan konsekuensi (sanksi) hukum, serta rehabilitasi psikologis yang akurat dan tepat. Wallahua’lam.
Lihat Juga: Sebut Anaknya Tak di Cirebon saat Pembunuhan Vina, Ibunda Pegi: Dia Bilang Mau Berangkat Kerja
(ynt)
tulis komentar anda