Kejahatan Seksual
loading...
A
A
A
Sudjito Atmoredjo
Guru Besar Ilmu Hukum UGM
Dalam beberapa pekan terakhir, kasus kejahatan seksual riuh diwartakan berbagai media. Satu di antaranya kasus pemerkosaan santriwati di Madani Boarding School, di Kota Bandung, Jawa Barat. Pelakunya pengajar sekaligus pemimpin pondok pesantren. Dalam kasus ini, belasan santriwati menjadi korban. Pelaku sudah melakukan kejahatan seksual selama lima tahun (dari tahun 2016 hingga 2021). Tujuh korban di antaranya hingga melahirkan.
Pada tataran teoretis, fenomena-fenomena hitam itu sebenarnya merupakan pencerminan belaka dari realitas sosial-kebangsaan yang berada pada masyarakat dan bangsa kita. Dikatakan oleh Brian Z Tamanaha dalam A General Jurisprudence of Law and Society (2006), bahwa segala gagasan, tradisi, nilai dan tujuan seseorang dalam kehidupan bermasyarakat-berbangsa itulah realitas hukum.
Dalam konteks teoretis demikian, dapat dikatakan, bahwa maraknya kejahatan seksual, sebenarnya bukan sesempit persoalan pelaku kejahatan saja, melainkan sebagai bagian dari mozaik (gambar utuh) dari masyarakat atau bangsa kita seluruhnya. Ini bukan berarti semua terlibat sebagai penjahatnya, melainkan ada ketersambungan sistemik antarberbagai unsur (manusia) yang mana pun, baik manusia baik maupun manusia jahat.
Satu hal bahwa dalam kejahatan seksual pasti terlibat pelaku dan korban. Pelaku adalah pelanggar hak dan kesejahteraan hidup orang lain, sementara korban adalah orang yang terlanggar hak dan kesejahteraan hidupnya.
Pada kasus kejahatan seksual, sering tak mudah untuk memilah dua pihak yang terlibat itu. Misal kasus prostitusi . Di situ pelaku adalah korbannya juga. Ada pula, kejahatan seksual yang diawali suka sama suka.
Kejahatan seksual, pada dimensi pelakunya dapat berbentuk kejahatan personal di mana pelaku dan korban kejahatan adalah sama. Ada pula interpersonal di mana ada pelaku yang merugikan orang lain, dan kejahatan sosial yang dampak kejahatan pelaku merugikan kehidupan masyarakat.
Dari dimensi pelaksanaannya, kejahatan seksual dapat merupakan kejahatan terorganisir atau disebut kejahatan elite, dan kejahatan tak terorganisasi yang dilakukan tanpa perencanaan alias amatiran. Dalam pemahaman demikian, sebenarnya kejahatan seksual itu terjadi pada semua lapisan masyarakat, baik elite maupun awam, sendiri-sendiri ataupun bersama-sama.
Mengapa kejahatan seksual terjadi? Dari perspektif psikologi sosial, dijelaskan oleh Albert Bandura (dalam Davies, G, Hollin, C, & Bull, R: 2008), kejahatan seksual merupakan hasil proses belajar psikologis. Mekanismenya melalui pemaparan. Selanjutnya diikuti perenungan, pengendapan dalam jiwa, dan pertimbangan untuk ditiru ataukah ditolak. Tontonan di media ponsel, misalnya, amat potensial mempengaruhi pandangan, sikap, dan perilaku penontonnya. Setiap manusia, memiliki kapasitas dan kemampuan berpikir aktif untuk memutuskan apa yang terbaik baginya, setelah melihat tontonan/paparan.
Dalam perspektif moralitas-religius, kejahatan seksual tergolong perbuatan keji. Amat dikutuk. Ucapan dan perilaku keji menjurus seksualitas seperti menyebut tubuh perempuan bahenol, pelacur, dan body shaming lain tergolong sebagai pelecehan seksual, sekaligus penodaan martabat perempuan. Tindakan meraba-raba, mencolek, dan tindakan lain diharamkan dilakukan oleh dan kepada siapa pun, dan di mana pun kecuali mereka dalam hubungan sebagai suami-istri.
Dalam beberapa hadis, Nabi SAW bersabda; “Jika kepala salah seorang di antara kalian ditusuk jarum besi, itu lebih baik daripada meraba-raba perempuan yang bukan istrinya.” (HR At-Tabrani, Rijaluluhu tsiqatun). Dalam hadis lain Nabi bersabda, “Jika kalian berkubang dengan babi yang berlumuran dengan lumpur dan kotoran, itu lebih baik dari pada engkau menyandarkan bahumu di atas bahu perempuan yang bukan istrimu.” (HR At-Tabrani).
Di era modern, serba digital saat ini, beragam modus baru kejahatan seksual terus bermunculan, berkelindan dengan modus-modus lama. Segalanya, bermuara pada satu kesimpulan bahwa predator seksual tak pernah habis, tak kenal zaman, malah makin marak, bergentayangan. Orang-orang waras dibuat miris karenanya. Nah, di hadapkan pada fenomena jahiliah ini, beragam opini bermunculan. Selain deskripsi dan kutukan, tak kurang pula saran, masukan-masukan cerdas, untuk pemberantasannya.
Para penganut aliran legal-positivism, umumnya berpendapat bahwa kehadiran hukum negara, aparatur negara, sangat diperlukan dan mendesak. Diharapkan, jangan sampai negara kalah cepat dibanding mutasi para predator seksual.
Karenanya, pembahasan RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) agar dipercepat. Undang-undang ini nantinya dapat difungsikan sebagai sarana pencegahan, penindakan, dan perlindungan korban, bila ada kejahatan seksual. Keberadaan Peraturan Pemerintah Nomor 70/2020 tentang Tata Cara Pelaksanaan Tindakan Kebiri Kimia, Pemasangan Alat Pendeteksi Elektronik, Rehabilitasi, dan Pengumuman Identitas Pelaku Kekerasan Seksual terhadap Anak, mesti didayagunakan secara maksimal.
Tanpa mengurangi rasa hormat terhadap pandangan kaum legal-positivism, kiranya penting diperhatikan pula pandangan penganut sosiologi hukum. Menurut kaum sosiologi hukum, dalam kejahatan seksual senantiasa terlihat peran masyarakat.
Karenanya, diperlukan wawasan lebih luas dalam melihat kejahatan seksual, bukan sekadar dan terbatas pada rumusan teks perundang-undangan, melainkan dengan seksama mencermati perilaku sosial masyarakatnya.
Kalaupun hukum sebagai teks telah diyakini bagus, maka pelaksanaannya harus efektif, diperlukan mobilisasi hukum (Black, 1980). Dalam penegakan hukum, aparat dapat menambah ataupun mengurangi, mengubah atau menjabarkan isi teks perundang-undangan ke dalam realitas nyata, sehingga kemungkinan adanya kejahatan yang lolos dari jeratan hukum itu sempit (kecil). Dengan kata lain, efektivitas penegakan hukum menjadi tinggi. Prasyaratnya komitmen, moralitas, dan profesionalitas aparat (dan dukungan masyarakat), sangat dibutuhkan.
Selain itu, juga diperlukan kepekaan sosial, ketebalan moralitas-religius, dan keahlian dalam memilah-milah teori, maupun norma hukum selama proses penjelasan, pencegahan, dan pemberantasan kejahatan seksual. Dengan metode pemahaman dan langkah-langkah holistis, diharapkan pelaku maupun korban dapat diperlakukan secara proporsional, dan diberikan konsekuensi (sanksi) hukum, serta rehabilitasi psikologis yang akurat dan tepat. Wallahua’lam.
Guru Besar Ilmu Hukum UGM
Dalam beberapa pekan terakhir, kasus kejahatan seksual riuh diwartakan berbagai media. Satu di antaranya kasus pemerkosaan santriwati di Madani Boarding School, di Kota Bandung, Jawa Barat. Pelakunya pengajar sekaligus pemimpin pondok pesantren. Dalam kasus ini, belasan santriwati menjadi korban. Pelaku sudah melakukan kejahatan seksual selama lima tahun (dari tahun 2016 hingga 2021). Tujuh korban di antaranya hingga melahirkan.
Pada tataran teoretis, fenomena-fenomena hitam itu sebenarnya merupakan pencerminan belaka dari realitas sosial-kebangsaan yang berada pada masyarakat dan bangsa kita. Dikatakan oleh Brian Z Tamanaha dalam A General Jurisprudence of Law and Society (2006), bahwa segala gagasan, tradisi, nilai dan tujuan seseorang dalam kehidupan bermasyarakat-berbangsa itulah realitas hukum.
Dalam konteks teoretis demikian, dapat dikatakan, bahwa maraknya kejahatan seksual, sebenarnya bukan sesempit persoalan pelaku kejahatan saja, melainkan sebagai bagian dari mozaik (gambar utuh) dari masyarakat atau bangsa kita seluruhnya. Ini bukan berarti semua terlibat sebagai penjahatnya, melainkan ada ketersambungan sistemik antarberbagai unsur (manusia) yang mana pun, baik manusia baik maupun manusia jahat.
Satu hal bahwa dalam kejahatan seksual pasti terlibat pelaku dan korban. Pelaku adalah pelanggar hak dan kesejahteraan hidup orang lain, sementara korban adalah orang yang terlanggar hak dan kesejahteraan hidupnya.
Pada kasus kejahatan seksual, sering tak mudah untuk memilah dua pihak yang terlibat itu. Misal kasus prostitusi . Di situ pelaku adalah korbannya juga. Ada pula, kejahatan seksual yang diawali suka sama suka.
Kejahatan seksual, pada dimensi pelakunya dapat berbentuk kejahatan personal di mana pelaku dan korban kejahatan adalah sama. Ada pula interpersonal di mana ada pelaku yang merugikan orang lain, dan kejahatan sosial yang dampak kejahatan pelaku merugikan kehidupan masyarakat.
Dari dimensi pelaksanaannya, kejahatan seksual dapat merupakan kejahatan terorganisir atau disebut kejahatan elite, dan kejahatan tak terorganisasi yang dilakukan tanpa perencanaan alias amatiran. Dalam pemahaman demikian, sebenarnya kejahatan seksual itu terjadi pada semua lapisan masyarakat, baik elite maupun awam, sendiri-sendiri ataupun bersama-sama.
Mengapa kejahatan seksual terjadi? Dari perspektif psikologi sosial, dijelaskan oleh Albert Bandura (dalam Davies, G, Hollin, C, & Bull, R: 2008), kejahatan seksual merupakan hasil proses belajar psikologis. Mekanismenya melalui pemaparan. Selanjutnya diikuti perenungan, pengendapan dalam jiwa, dan pertimbangan untuk ditiru ataukah ditolak. Tontonan di media ponsel, misalnya, amat potensial mempengaruhi pandangan, sikap, dan perilaku penontonnya. Setiap manusia, memiliki kapasitas dan kemampuan berpikir aktif untuk memutuskan apa yang terbaik baginya, setelah melihat tontonan/paparan.
Dalam perspektif moralitas-religius, kejahatan seksual tergolong perbuatan keji. Amat dikutuk. Ucapan dan perilaku keji menjurus seksualitas seperti menyebut tubuh perempuan bahenol, pelacur, dan body shaming lain tergolong sebagai pelecehan seksual, sekaligus penodaan martabat perempuan. Tindakan meraba-raba, mencolek, dan tindakan lain diharamkan dilakukan oleh dan kepada siapa pun, dan di mana pun kecuali mereka dalam hubungan sebagai suami-istri.
Dalam beberapa hadis, Nabi SAW bersabda; “Jika kepala salah seorang di antara kalian ditusuk jarum besi, itu lebih baik daripada meraba-raba perempuan yang bukan istrinya.” (HR At-Tabrani, Rijaluluhu tsiqatun). Dalam hadis lain Nabi bersabda, “Jika kalian berkubang dengan babi yang berlumuran dengan lumpur dan kotoran, itu lebih baik dari pada engkau menyandarkan bahumu di atas bahu perempuan yang bukan istrimu.” (HR At-Tabrani).
Di era modern, serba digital saat ini, beragam modus baru kejahatan seksual terus bermunculan, berkelindan dengan modus-modus lama. Segalanya, bermuara pada satu kesimpulan bahwa predator seksual tak pernah habis, tak kenal zaman, malah makin marak, bergentayangan. Orang-orang waras dibuat miris karenanya. Nah, di hadapkan pada fenomena jahiliah ini, beragam opini bermunculan. Selain deskripsi dan kutukan, tak kurang pula saran, masukan-masukan cerdas, untuk pemberantasannya.
Para penganut aliran legal-positivism, umumnya berpendapat bahwa kehadiran hukum negara, aparatur negara, sangat diperlukan dan mendesak. Diharapkan, jangan sampai negara kalah cepat dibanding mutasi para predator seksual.
Karenanya, pembahasan RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) agar dipercepat. Undang-undang ini nantinya dapat difungsikan sebagai sarana pencegahan, penindakan, dan perlindungan korban, bila ada kejahatan seksual. Keberadaan Peraturan Pemerintah Nomor 70/2020 tentang Tata Cara Pelaksanaan Tindakan Kebiri Kimia, Pemasangan Alat Pendeteksi Elektronik, Rehabilitasi, dan Pengumuman Identitas Pelaku Kekerasan Seksual terhadap Anak, mesti didayagunakan secara maksimal.
Tanpa mengurangi rasa hormat terhadap pandangan kaum legal-positivism, kiranya penting diperhatikan pula pandangan penganut sosiologi hukum. Menurut kaum sosiologi hukum, dalam kejahatan seksual senantiasa terlihat peran masyarakat.
Karenanya, diperlukan wawasan lebih luas dalam melihat kejahatan seksual, bukan sekadar dan terbatas pada rumusan teks perundang-undangan, melainkan dengan seksama mencermati perilaku sosial masyarakatnya.
Kalaupun hukum sebagai teks telah diyakini bagus, maka pelaksanaannya harus efektif, diperlukan mobilisasi hukum (Black, 1980). Dalam penegakan hukum, aparat dapat menambah ataupun mengurangi, mengubah atau menjabarkan isi teks perundang-undangan ke dalam realitas nyata, sehingga kemungkinan adanya kejahatan yang lolos dari jeratan hukum itu sempit (kecil). Dengan kata lain, efektivitas penegakan hukum menjadi tinggi. Prasyaratnya komitmen, moralitas, dan profesionalitas aparat (dan dukungan masyarakat), sangat dibutuhkan.
Selain itu, juga diperlukan kepekaan sosial, ketebalan moralitas-religius, dan keahlian dalam memilah-milah teori, maupun norma hukum selama proses penjelasan, pencegahan, dan pemberantasan kejahatan seksual. Dengan metode pemahaman dan langkah-langkah holistis, diharapkan pelaku maupun korban dapat diperlakukan secara proporsional, dan diberikan konsekuensi (sanksi) hukum, serta rehabilitasi psikologis yang akurat dan tepat. Wallahua’lam.
(ynt)