Solusi Balap Liar Perlu Komprehensif
Rabu, 29 Desember 2021 - 15:12 WIB
MENARIK sekali kebijakan Kapolda Metro Jaya Irjen Pol Fadil Imran dalam menyikapi fenomena balapan liar di di wilayah Jabodetabek. Untuk mengendalikan balapan liar itu Kapolda tidak mengedepankan penindakan tegas, justru berupaya memfasilitasi mereka dengan menggelar ajang lomba road race, street race, drag race,atau semacamnya.
Sebagai sebuah langkah persuasi, kebijakan Kapolda yang dilontarkan sejak November ini patut diapresiasi. Kebijakan ini setidaknya akan memberikan wadah baru bagi para pembalap untuk tidak memacu kendaraan seenaknya. Sebab, jika mereka menggunakan jalan yang sifatnya umum untuk balapan, tentu sangat berisiko mencelakai diri dan orang lain. Wajar, fasilitas jalan raya bukan disiapkan layaknya sirkuit atau arena balapan.
Di sisi lain, jika melihat "tradisi" balapan liar seperti rutin terlihat di Kawasan Pondok Indah, Cengkareng, Ciputat, Kemayoran, atau Jalan Pemuda, jelas sekali mereka beradu kencang dengan atribut dan perlengkapan seadanya. Tak berlebihan, balapan-balapan ini berulang kali merenggut nyawa, wabilkhusus bagi pelakunya.
Bagi warga Jabodetabek, balapan liar ini adalah fenomena yang meresahkan. Berulang kali dilakukan penindakan oleh polisi, namun aksi mereka tak juga hilang. Pelaku balapan ini lebih cerdik dalam menyiasati aparat. Apalagi, keterbatasan jumlah petugas membuat mereka lebih leluasa kapan harus tancap gas dan kapan harus sembunyi.
Strategi Kapolda Irjen Fadil memberikan fasilitas arena balapan seperti di Ancol, Cikarang, Bumi Serpong Damai, dan sebagainya sangat mungkin dilatarbelakangi sulitnya mencari solusi fenomena balapan liar ini. Kapolda bisa jadi mengakui, tidak mungkin menerjunkan anak buahnya untuk melakukan patroli 24 jam di wilayah Jabodetabek. Dengan membuat lomba, setidaknya balapan liar ini akan terkanalisasi. Mereka yang hobi beradu kencang plus nekat di jalanan akhirnya mendapat tempat lebih aman.
Meski demikian, pendekatan yang dilakukan Kapolda ini juga perlu diimbangi berbagai strategi lain. Kanalisasi balapan liar dengan membuat lomba dan sebagainya bukanlah solusi tunggal. Jika balapan ini tidak dipahami dengan komprehensif, sangat mungkin yang terjadi malah sebaliknya. Ketika lomba digalakkan, maka semangat dan potensi pembalap liar untuk melakukan "latihan bebas" di jalanan juga diprediksi kian besar. Apalagi, tidak semua pembalap liar ini memiliki akses untuk masuk ke balapan resmi, baik terkendala dana, prosedur, aturan lomba, kesempatan, atau mungkin mentalitas.
Tren balapan liar ini juga tak lepas dari pengaruh tayangan-tayangan di televisi seperti sinetron yang mempertontonkan hebatnya beradu kencang di jalanan. Pada saat yang sama, ceruk ini direspons pabrik-pabrik automotif untuk memproduksi motor sport, motor gede, dan sebagainya. Indikasi ini bisa dilihat dari tingginya tingkat penjualan jenis motor sport akhir-akhir ini. Pun di kala pandemi Covid-19 melanda Tanah Air.
Dengan fakta ini, solusi yang ditawarkan oleh Kapolda Fadil sejatinya adalah bagian serpihan solusi yang sangat mungkin malah seolah menjadi bumerang dalam rantai penyelesaian balap liar. Kita tahu, balap liar ini adalah fenomena yang mengakar di tengah masyarakat dan penyebabnya sangatlah kompleks. Dengan kesadaran ini, sudah seharusnya solusi yang dibuat tidak lagi berupa serpihan atau bahkan gimmick semata. Jika balapan liar ini akan benar-benar dihilangkan, pendekatan solusi juga harus sistemik, yakni dengan menyasar faktor-faktor mendasar yang selama ini menjadi pemicunya.
Dari sisi regulasi, misalnya, apakah pasal-pasal di UU Lalu Lintas sudah benar-benar kuat mengatur soal balapan liar. Jika memang begitu longgar plus hukuman pelanggarnya sangat ringan, tentu tidak efektif diterapkan. Langkah lain yang perlu dilakukan adalah memaksimalkan sosialisasi adanya perlombaan resmi berikut tingkat bahaya jika mereka nekat menggelar balap liar.
Kemudian, meski ada ajang resmi seperti disepakati di Ancol, bukan tidak mungkin balap liar langsung berhenti. Justru pada saat yang sama, kepolisian harus lebih intensif melakukan pengawasan karena memiliki alasan lebih kuat untuk mendorong anak muda pembalap liar agar ikut kompetisi. Pola pengawasan ini tak hanya dilakukan oleh aparat, namun bisa menggandeng media massa, tokoh masyarakat, hingga lingkungan terdekat seperti guru dan orang tua.
Terakhir adalah penindakan tegas dan sanksi yang menjerakan bagi pelanggarnya. Sekali lagi, solusi fenomena balapan liar ini harus komprehensif. Fenomena ini tidak mudah dan cukup selesai dengan niat baik seperti mewadahi anak muda, mencetak pembalap andal dan sebagainya. Lomba perdana di Ancol yang direncanakan mulai 15 Januari mendatang bukan jawaban final dan belum bisa jadi ukuran keberhasilan. Apalagi dari pengalaman selama ini kebijakan publik biasa mudah berganti seiring pergantian pejabat di pos yang sama.
Sebagai sebuah langkah persuasi, kebijakan Kapolda yang dilontarkan sejak November ini patut diapresiasi. Kebijakan ini setidaknya akan memberikan wadah baru bagi para pembalap untuk tidak memacu kendaraan seenaknya. Sebab, jika mereka menggunakan jalan yang sifatnya umum untuk balapan, tentu sangat berisiko mencelakai diri dan orang lain. Wajar, fasilitas jalan raya bukan disiapkan layaknya sirkuit atau arena balapan.
Di sisi lain, jika melihat "tradisi" balapan liar seperti rutin terlihat di Kawasan Pondok Indah, Cengkareng, Ciputat, Kemayoran, atau Jalan Pemuda, jelas sekali mereka beradu kencang dengan atribut dan perlengkapan seadanya. Tak berlebihan, balapan-balapan ini berulang kali merenggut nyawa, wabilkhusus bagi pelakunya.
Bagi warga Jabodetabek, balapan liar ini adalah fenomena yang meresahkan. Berulang kali dilakukan penindakan oleh polisi, namun aksi mereka tak juga hilang. Pelaku balapan ini lebih cerdik dalam menyiasati aparat. Apalagi, keterbatasan jumlah petugas membuat mereka lebih leluasa kapan harus tancap gas dan kapan harus sembunyi.
Strategi Kapolda Irjen Fadil memberikan fasilitas arena balapan seperti di Ancol, Cikarang, Bumi Serpong Damai, dan sebagainya sangat mungkin dilatarbelakangi sulitnya mencari solusi fenomena balapan liar ini. Kapolda bisa jadi mengakui, tidak mungkin menerjunkan anak buahnya untuk melakukan patroli 24 jam di wilayah Jabodetabek. Dengan membuat lomba, setidaknya balapan liar ini akan terkanalisasi. Mereka yang hobi beradu kencang plus nekat di jalanan akhirnya mendapat tempat lebih aman.
Meski demikian, pendekatan yang dilakukan Kapolda ini juga perlu diimbangi berbagai strategi lain. Kanalisasi balapan liar dengan membuat lomba dan sebagainya bukanlah solusi tunggal. Jika balapan ini tidak dipahami dengan komprehensif, sangat mungkin yang terjadi malah sebaliknya. Ketika lomba digalakkan, maka semangat dan potensi pembalap liar untuk melakukan "latihan bebas" di jalanan juga diprediksi kian besar. Apalagi, tidak semua pembalap liar ini memiliki akses untuk masuk ke balapan resmi, baik terkendala dana, prosedur, aturan lomba, kesempatan, atau mungkin mentalitas.
Tren balapan liar ini juga tak lepas dari pengaruh tayangan-tayangan di televisi seperti sinetron yang mempertontonkan hebatnya beradu kencang di jalanan. Pada saat yang sama, ceruk ini direspons pabrik-pabrik automotif untuk memproduksi motor sport, motor gede, dan sebagainya. Indikasi ini bisa dilihat dari tingginya tingkat penjualan jenis motor sport akhir-akhir ini. Pun di kala pandemi Covid-19 melanda Tanah Air.
Dengan fakta ini, solusi yang ditawarkan oleh Kapolda Fadil sejatinya adalah bagian serpihan solusi yang sangat mungkin malah seolah menjadi bumerang dalam rantai penyelesaian balap liar. Kita tahu, balap liar ini adalah fenomena yang mengakar di tengah masyarakat dan penyebabnya sangatlah kompleks. Dengan kesadaran ini, sudah seharusnya solusi yang dibuat tidak lagi berupa serpihan atau bahkan gimmick semata. Jika balapan liar ini akan benar-benar dihilangkan, pendekatan solusi juga harus sistemik, yakni dengan menyasar faktor-faktor mendasar yang selama ini menjadi pemicunya.
Dari sisi regulasi, misalnya, apakah pasal-pasal di UU Lalu Lintas sudah benar-benar kuat mengatur soal balapan liar. Jika memang begitu longgar plus hukuman pelanggarnya sangat ringan, tentu tidak efektif diterapkan. Langkah lain yang perlu dilakukan adalah memaksimalkan sosialisasi adanya perlombaan resmi berikut tingkat bahaya jika mereka nekat menggelar balap liar.
Kemudian, meski ada ajang resmi seperti disepakati di Ancol, bukan tidak mungkin balap liar langsung berhenti. Justru pada saat yang sama, kepolisian harus lebih intensif melakukan pengawasan karena memiliki alasan lebih kuat untuk mendorong anak muda pembalap liar agar ikut kompetisi. Pola pengawasan ini tak hanya dilakukan oleh aparat, namun bisa menggandeng media massa, tokoh masyarakat, hingga lingkungan terdekat seperti guru dan orang tua.
Terakhir adalah penindakan tegas dan sanksi yang menjerakan bagi pelanggarnya. Sekali lagi, solusi fenomena balapan liar ini harus komprehensif. Fenomena ini tidak mudah dan cukup selesai dengan niat baik seperti mewadahi anak muda, mencetak pembalap andal dan sebagainya. Lomba perdana di Ancol yang direncanakan mulai 15 Januari mendatang bukan jawaban final dan belum bisa jadi ukuran keberhasilan. Apalagi dari pengalaman selama ini kebijakan publik biasa mudah berganti seiring pergantian pejabat di pos yang sama.
(bmm)
tulis komentar anda