Sistem Pemilu Dinilai Bermasalah, Presidential Threshold Perlu Dievaluasi
Selasa, 09 Juni 2020 - 16:51 WIB
JAKARTA - Revisi Undang-Undang (RUU) Pemilu harus sarat dengan pembenahan dan bersifat jangka panjang. Tentu mempertimbangkan dampak positif dan negatif.
Pengamat politik Siti Zuhro menerangkan ada sesuatu yang salah dalam sistem pemilu, terutama Pemilihan Presiden (Pilpres) di Indonesia. Hal itu adalah presidential threshold (PT) sebesar 20% kursi DPR. Aturan ini masih masuk draf RUU Pemilu yang akan diajukan Komisi II DPR. (Baca juga: Revisi UU Pemilu Jadi Prioritas DPR)
Pangkal persoalannya, hitunganya berdasarkan perolehan suara pada pemilu sebelumnya. Dia mengungkapkan menjelang Pemilu 2019 ada beberapa argumen mengenai tersebut, yakni dihilangkan atau dikurangi. Beberapa orang ada yang mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK).
”Semuanya mentok di MK. Ada (aturan) PT dilandaskan pada hasil pemilu 5 tahun lalu. Argumentasi hukum itu sudah tidak masuk akal. Tapi kita tetap teruskan,” terangnya dalam diskusi daring dengan tema “Menyoal RUU Tentang Pemilu dan Prospek Demokrasi Indonesia,” Selasa (9/6/2020). (Baca juga: Pemerintah Tunggu Usulan DPR Terkait Revisi UU Pemilu)
Siti Zuhro meminta masalah PT ini dipertimbangkan sangat serius. Para pembuat UU bisa melakukan review terhadap tiga pemilu terakhir, terutama 2014 dan 2019. Indonesia tidak boleh mengulang pengalaman pahit pada pemilu sebelumnya. “Kita sudah antisipasi, akan tidak bagus, tapi tetap dilanjutkan. Apa yang terjadi pada Pemilu 2019, pilpres dan pileg, memunculkan dua pasangan calon. Kompetisi dan kontestasi yang tidak sehat,” tuturnya.
Dengan PT yang tinggi, partai-partai, terutama menengah ke bawah tidak bisa mencalonkan kadernya sebagai calon presiden atau wakil presiden. Mereka harus berkoalisi dan menyetujui paslon yang sudah ditetapkan partai besar.
Pengamat politik Siti Zuhro menerangkan ada sesuatu yang salah dalam sistem pemilu, terutama Pemilihan Presiden (Pilpres) di Indonesia. Hal itu adalah presidential threshold (PT) sebesar 20% kursi DPR. Aturan ini masih masuk draf RUU Pemilu yang akan diajukan Komisi II DPR. (Baca juga: Revisi UU Pemilu Jadi Prioritas DPR)
Pangkal persoalannya, hitunganya berdasarkan perolehan suara pada pemilu sebelumnya. Dia mengungkapkan menjelang Pemilu 2019 ada beberapa argumen mengenai tersebut, yakni dihilangkan atau dikurangi. Beberapa orang ada yang mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK).
”Semuanya mentok di MK. Ada (aturan) PT dilandaskan pada hasil pemilu 5 tahun lalu. Argumentasi hukum itu sudah tidak masuk akal. Tapi kita tetap teruskan,” terangnya dalam diskusi daring dengan tema “Menyoal RUU Tentang Pemilu dan Prospek Demokrasi Indonesia,” Selasa (9/6/2020). (Baca juga: Pemerintah Tunggu Usulan DPR Terkait Revisi UU Pemilu)
Siti Zuhro meminta masalah PT ini dipertimbangkan sangat serius. Para pembuat UU bisa melakukan review terhadap tiga pemilu terakhir, terutama 2014 dan 2019. Indonesia tidak boleh mengulang pengalaman pahit pada pemilu sebelumnya. “Kita sudah antisipasi, akan tidak bagus, tapi tetap dilanjutkan. Apa yang terjadi pada Pemilu 2019, pilpres dan pileg, memunculkan dua pasangan calon. Kompetisi dan kontestasi yang tidak sehat,” tuturnya.
Dengan PT yang tinggi, partai-partai, terutama menengah ke bawah tidak bisa mencalonkan kadernya sebagai calon presiden atau wakil presiden. Mereka harus berkoalisi dan menyetujui paslon yang sudah ditetapkan partai besar.
(cip)
tulis komentar anda