Ratio Legis Kawin Siri
Jum'at, 24 Desember 2021 - 13:12 WIB
Dalam praktiknya, pencatatan pada kolom tertentu dalam “kartu keluarga” bagi pelaku kawin siri didasarkan pada surat pernyataan tanggung jawab mutlak (SPTJM). Konsensus suami istri dalam SPTJM juga dikuatkan dengan keterangan dua saksi. Pertanyaannya kemudian, apa jaminan kawin siri yang dicatatkan telah sah dan sesuai ketentuan hukum agama? Jika SPTJM yang diperlukan untuk memastikan peristiwa kelahiran anak, tentu tidak masalah. Karena faktanya jelas. Menjadi problem bila itu dialami pasangan suami istri kawin tak tercatat. Apalagi perkawinan sangat berkait erat dengan kejelasan hukum berdimensi ukhrawi. Berhubungan dengan halal dan haram.
Proses pencatatan kawin siri pada akta resmi rasanya kurang pas dan jauh dari kemaslahatan. Meski tidak dalam rangka menikahkan, tapi dampak sosialnya bisa negatif. Di samping itu, adanya kawin siri seakan menyimpan banyak misteri. Padahal kawin normal dan tercatat termasuk perkara mudah untuk dilakukan. Terlebih di era sekarang. Terkait ini, masalah lainnya adalah apa jaminan bila istri dari kawin siri adalah orang pertama? Bukan kedua, ketiga, dan seterusnya. Bukankah ketidakjelasan ini bisa memberi konsekuensi buruk di masa mendatang. Bahwa mencegah keburukan lebih utama daripada meraih kebaikan. Karenanya, perkawinan dan pengakuan atas perkawinan yang dilakukan harus dengan penuh kehati-hatian.
Benturan Kewenangan
Perkawinan perlu diatur guna mencipta ketertiban. Bisa dibayangkan jika negara tak ikut hadir dalam masalah sensitif ini. Apa yang akan terjadi dalam kehidupan sosial. Karena pentingnya masalah ini, sejak lama, sekira setahun usai Indonesia merdeka terbit UU No 22/1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk. Bahkan, jauh sebelum itu, di masa pra kemerdekaan telah terbit beberapa regulasi terkait hal serupa.
Seperti telah diuraikan dalam pasal 2 ayat 2 undang-undang perkawinan, bahwa perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Norma pasal ini memberi penegasan setiap ijab-kabul yang dilangsungkan sesuai tuntunan agama harus dicatat. Tentang pencatatan perkawinan juga diatur pada Pasal 6 KHI. Bahkan, dalam Pasal 7 KHI ditegaskan perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan akta nikah yang dibuat oleh pegawai pencatat nikah. Makna lainnya, bila tidak memiliki akta nikah maka perkawinan yang sudah dijalankan tidak mempunyai kekuatan hukum.
Ketika KHI menyatakan akta nikah adalah satu-satunya bukti, menjadi tidak wajar bila ada laki-laki dan perempuan mengaku sebagai suami istri yang tak tercatat ingin dimuat statusnya dalam “kartu keluarga”. Adalah problem, ketika kesimpulan instansi negara saat mencatat status perkawinan siri disandarkan pada fakta yang tak jelas. Terlebih regulasi tidak menghendaki demikian. Maka menjadi sangat penting dinyatakan bahwa perkawinan yang digelar secara siri agar tidak dituliskan dalam dokumen resmi terbitan negara. Karena bertentangan dengan asas kepastian hukum. Mencederai sakralnya ikatan suci suami istri yang harus selalu dijaga dan dipelihara.
Dalam praktik yang terjadi selama ini di pengadilan, baik lingkungan peradilan umum (bagi non muslim) maupun peradilan agama (bagi muslim) memiliki kewenangan mengesahkan perkawinan bila tidak tercatat. Penegasan tentang ini dimaksudkan agar institusi “dukcapil” tak (perlu) lagi mencantumkan status pasangan suami-istri kawin siri pada kolom yang ada. Karena dapat memberi efek kurang baik. Bersyukur bila perkawinan yang dilakukan telah sesuai ketentuan agama. Kalau terjadi sebaliknya, sudah pasti menimbulkan prahara serius dan berkepanjangan.
Apabila upaya pencantuman status suami istri kawin siri tersebut didasarkan pada aturan yang ada, maka aturan tersebut mestinya diharmonisasi disesuaikan dengan regulasi dan peraturan perundang-undangan lain yang ada selama ini. Langkah demikian penting dilakukan untuk memberi kejelasan dan kepastian pada masyarakat. Sehingga tidak lagi menimbulkan polemik dan kebingungan.
Proses pencatatan kawin siri pada akta resmi rasanya kurang pas dan jauh dari kemaslahatan. Meski tidak dalam rangka menikahkan, tapi dampak sosialnya bisa negatif. Di samping itu, adanya kawin siri seakan menyimpan banyak misteri. Padahal kawin normal dan tercatat termasuk perkara mudah untuk dilakukan. Terlebih di era sekarang. Terkait ini, masalah lainnya adalah apa jaminan bila istri dari kawin siri adalah orang pertama? Bukan kedua, ketiga, dan seterusnya. Bukankah ketidakjelasan ini bisa memberi konsekuensi buruk di masa mendatang. Bahwa mencegah keburukan lebih utama daripada meraih kebaikan. Karenanya, perkawinan dan pengakuan atas perkawinan yang dilakukan harus dengan penuh kehati-hatian.
Benturan Kewenangan
Perkawinan perlu diatur guna mencipta ketertiban. Bisa dibayangkan jika negara tak ikut hadir dalam masalah sensitif ini. Apa yang akan terjadi dalam kehidupan sosial. Karena pentingnya masalah ini, sejak lama, sekira setahun usai Indonesia merdeka terbit UU No 22/1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk. Bahkan, jauh sebelum itu, di masa pra kemerdekaan telah terbit beberapa regulasi terkait hal serupa.
Seperti telah diuraikan dalam pasal 2 ayat 2 undang-undang perkawinan, bahwa perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Norma pasal ini memberi penegasan setiap ijab-kabul yang dilangsungkan sesuai tuntunan agama harus dicatat. Tentang pencatatan perkawinan juga diatur pada Pasal 6 KHI. Bahkan, dalam Pasal 7 KHI ditegaskan perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan akta nikah yang dibuat oleh pegawai pencatat nikah. Makna lainnya, bila tidak memiliki akta nikah maka perkawinan yang sudah dijalankan tidak mempunyai kekuatan hukum.
Ketika KHI menyatakan akta nikah adalah satu-satunya bukti, menjadi tidak wajar bila ada laki-laki dan perempuan mengaku sebagai suami istri yang tak tercatat ingin dimuat statusnya dalam “kartu keluarga”. Adalah problem, ketika kesimpulan instansi negara saat mencatat status perkawinan siri disandarkan pada fakta yang tak jelas. Terlebih regulasi tidak menghendaki demikian. Maka menjadi sangat penting dinyatakan bahwa perkawinan yang digelar secara siri agar tidak dituliskan dalam dokumen resmi terbitan negara. Karena bertentangan dengan asas kepastian hukum. Mencederai sakralnya ikatan suci suami istri yang harus selalu dijaga dan dipelihara.
Dalam praktik yang terjadi selama ini di pengadilan, baik lingkungan peradilan umum (bagi non muslim) maupun peradilan agama (bagi muslim) memiliki kewenangan mengesahkan perkawinan bila tidak tercatat. Penegasan tentang ini dimaksudkan agar institusi “dukcapil” tak (perlu) lagi mencantumkan status pasangan suami-istri kawin siri pada kolom yang ada. Karena dapat memberi efek kurang baik. Bersyukur bila perkawinan yang dilakukan telah sesuai ketentuan agama. Kalau terjadi sebaliknya, sudah pasti menimbulkan prahara serius dan berkepanjangan.
Apabila upaya pencantuman status suami istri kawin siri tersebut didasarkan pada aturan yang ada, maka aturan tersebut mestinya diharmonisasi disesuaikan dengan regulasi dan peraturan perundang-undangan lain yang ada selama ini. Langkah demikian penting dilakukan untuk memberi kejelasan dan kepastian pada masyarakat. Sehingga tidak lagi menimbulkan polemik dan kebingungan.
(bmm)
tulis komentar anda