Menaikkan Indeks Berbangsa 2022

Jum'at, 17 Desember 2021 - 14:21 WIB
Ketiga, kehidupan kebangsaan. Dalam ranah ini, kita tidak mengalami chaos sebagaimana terjadi di tahun-tahun politik. Tidak seperti pada 2017 yang mendedahkan politik identitas dalam Pilkada DKI Jakarta. Tidak pula seperti pada 2019 yang penuh dengan mobilisasi politik SARA demi pemilihan presiden. Kehidupan kebangsaan kita memang masih menjadi “varian yang menempel” dari kehidupan politik. Hal ini sekaligus menjadi evaluasi praktik politik kita yang sering mengorbankan persatuan bangsa demi tercapainya kemenangan politik. Satu hal yang bertentangan dengan Pancasila, karena membenturkan sila kerakyatan dengan kebangsaan.

Keempat, kehidupan demokrasi. Tahun 2021 adalah tahun menurunnya kualitas demokrasi kita. Setidaknya demikian hasil kajian beberapa lembaga kredibel baik nasional maupun internasional. Laporan internasional seperti Democracy Project 2021 misalnya, menempatkan demokrasi Indonesia pada urutan 73 dari 179 negara, terutama dalam hal kebebasan sipil dan kualitas pemerintahan. Di urutan ini, Indonesia dikategorikan menderita “demokrasi cacat” (flawed democracy) karena pemilu tidak selalu melahirkan pemerintahan yang bersih dan berkualitas.

Penilaian internasional ini juga diafirmasi oleh penilaian dalam negeri, bahkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) yang menilai penurunan Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) pada 2020. Dilihat dari indikator kebebasan misalnya, 2020 menandai naiknya ancaman penggunaan kekerasan aparat yang menghambat kebebasan berekspresi dan berserikat, dari 77, 21 pada 2019, menjadi 86,76 pada 2020. Demikian pula ancaman penggunaan kekerasan oleh masyarakat yang menghambat kebebasan berekspresi dan berserikat, dari 83,82 pada 2019, menjadi 86,95 pada 2020.

Dengan demikian, kualitas demokrasi kita dinilai menurun karena belum mampu memaksimalkan praksis nilai-nilai demokrasi itu sendiri. Apalagi jika didasarkan pada “demokrasi Pancasila”, di mana demokrasi harus memuat sila-sila Pancasila, dari ketuhanan hingga keadilan sosial. Maka, kualitas demokrasi masih jauh dari parameter Pancasila.

Kelima, kehidupan ekonomi. Meskipun ujung dari sila Pancasila ialah keadilan sosial, namun negeri ini masih dilanda ketimpangan ekonomi. Bahkan di masa pandemi, ketimpangan antara si miskin dan si kaya makin naik. Badan Pusat Statistik (BPS) misalnya menyatakan bahwa ketimpangan atau gini ratio di Indonesia naik dari 0,381 pada Maret 2020, menjadi 0,384 pada Maret 2021. Naiknya ketimpangan ini disebabkan oleh siklus kekayaan yang berputar hanya di lingkaran elite, meskipun bangsa tengah terlilit wabah. Hal ini yang membuat Bank Pembangunan Asia (ADB) menilai ketimpangan ekonomi di Indonesia naik 1,4% per-tahun.

Menaikkan Indeks pada 2022

Berdasarkan penilaian lima kehidupan berbangsa dalam kerangka lima persoalan Pancasila, kita harus melakukan penaikan indeks kehidupan berbangsa pada 2022. Demi kebutuhan ini, Pancasila memang harus diamalkan, baik secara agensial (manusia) maupun institusional.

Hal ini sekaligus memerlukan perbaikan pemahaman kita terhadap ideologi bangsa ini. Sebab Pancasila bukan hanya dasar legal negara, apalagi sebatas simbol seremoni dan program pemerintah yang cenderung formalistik. Pancasila adalah jalan dan cara hidup yang menaikkan kualitas hidup berbangsa, sebagai cara kita menaikkan kualitas hidup personal, tidak hanya di hadapan manusia, namun di hadapan sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa.

Dengan menjadikan Pancasila sebagai ukuran praktik hidup, maka kualitas kehidupan personal, sosial dan kenegaraan bisa menaik. Indeks kehidupan berbangsa, baik kehidupan keagamaan, kemanusiaan, kebangsaan, demokrasi dan ekonomi pun bisa menaik dari tahun ke tahun. Semoga!

Halaman :
Lihat Juga :
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More