Menaikkan Indeks Berbangsa 2022

Jum'at, 17 Desember 2021 - 14:21 WIB
loading...
Menaikkan Indeks Berbangsa 2022
Syaiful Arif (Ist)
A A A
Syaiful Arif
Direktur Pusat Studi Pemikiran Pancasila

TAHUN 2021 segera berakhir menuju tahun baru 2022. Sebagai bangsa yang pelan-pelan keluar dari krisis pandemi, ada angin segar untuk kehidupan yang lebih baik. Angin segar itu datang dari harapan yang tersimpan dalam nilai-nilai kebangsaan. Nilai kebangsaan yang memusat dalam dasar negara dan ideologi bangsa, yakni Pancasila, selalu menyimpan sejuta harapan. Itu terjadi karena dalam berbangsa, kita memiliki tujuan. Apakah itu? Tentu ialah keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Demi menjaga harapan pada 2022, kita butuh memperkuat Pancasila, bukan hanya sebagai dasar legal negara, melainkan pula menjadi bintang penuntun (leitstar) kehidupan berbangsa. Artinya, cita-cita kehidupan kita bisa diwakili oleh lima nilai Pancasila. Lima nilai tersebut juga bisa dijadikan ukuran penilaian bagi kualitas kehidupan, bukan hanya dalam konteks kenegaraan dan kebangsaan, tetapi juga kehidupan personal setiap warga negara.

Penempatan Pancasila sebagai bintang penuntun kehidupan bangsa ini sangat relevan, di tengah kualitas hidup kita yang bisa saja menjauh dari nilai-nilai luhur tersebut. Untuk itu, diperlukan penilaian kualitatif kehidupan berbangsa berdasarkan lima sila Pancasila. Penilaian ini memiliki objek empiriknya dalam berbagai indeks kehidupan berbangsa.

Lima Penilaian
Kualitas kehidupan berbangsa bisa dinilai melalui ukuran lima sila Pancasila. Pertama, kehidupan beragama. Secara umum kehidupan keagamaan kita membaik, meskipun masih terjadi intoleransi, ekstremisme, bahkan terorisme atas nama agama. Indeks Kerukunan Umat Beragama pada 2020 yang disusun oleh Kementerian Agama menunjukkan skor 67,46. Nilai ini turun dari skor 73,8 pada 2019, meskipun nilai pada 2020 masuk kategori tinggi.

Kuatnya kerukunan umat beragama disebabkan oleh semangat keagamaan kita yang moderat. Moderatisme ini ditopang oleh karakter bangsa kita yang religius, bukan dogmatik. Hal ini tercermin dalam sila Ketuhanan Yang Maha Esa, di mana para pendiri bangsa tidak menjadikan satu dogma agama sebagai dasar negara, melainkan memilih nilai substantif (semua) agama, yakni ketuhanan. Sifat substantif dari ketuhanan ini mencerminkan cara beragama masyarakat Nusantara yang religius dan spiritualis, misalnya tercermin dalam seloka Bhinneka Tunggal Ika tanhana Dharma Mangrwa. Seloka yang ditulis oleh Mpu Tantular pada abad ke-14 Masehi ini menegaskan bahwa meskipun di Nusantara terdapat keragaman agama, namun keragaman itu pada hakikatnya mencerminkan satu kebenaran ketuhanan (Dharma).

Kedua, kehidupan kemanusiaan, dalam hal ini perlindungan dan pemenuhan Hak-hak Asasi Manusia (HAM). Setara Institute menerbitkan Indeks HAM Indonesia 2021 dan memberikan skor pelaksanaan HAM kita di angka 3 dari rentang nilai 1-7 skor. Skor 3 pada 2021 ini naik dibandingkan skor 2,9 pada 2020. Terdapat beberapa indikator HAM yang dinilai, seperti Hak Sipil dan Politik (2,8) dan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (3,2). Dengan skor 3 ini, pelaksanaan HAM di Indonesia belum mencapai angka tertinggi, yakni 7, yang menandakan belum maksimalnya perlindungan dan pemenuhan HAM.

Ketiga, kehidupan kebangsaan. Dalam ranah ini, kita tidak mengalami chaos sebagaimana terjadi di tahun-tahun politik. Tidak seperti pada 2017 yang mendedahkan politik identitas dalam Pilkada DKI Jakarta. Tidak pula seperti pada 2019 yang penuh dengan mobilisasi politik SARA demi pemilihan presiden. Kehidupan kebangsaan kita memang masih menjadi “varian yang menempel” dari kehidupan politik. Hal ini sekaligus menjadi evaluasi praktik politik kita yang sering mengorbankan persatuan bangsa demi tercapainya kemenangan politik. Satu hal yang bertentangan dengan Pancasila, karena membenturkan sila kerakyatan dengan kebangsaan.

Keempat, kehidupan demokrasi. Tahun 2021 adalah tahun menurunnya kualitas demokrasi kita. Setidaknya demikian hasil kajian beberapa lembaga kredibel baik nasional maupun internasional. Laporan internasional seperti Democracy Project 2021 misalnya, menempatkan demokrasi Indonesia pada urutan 73 dari 179 negara, terutama dalam hal kebebasan sipil dan kualitas pemerintahan. Di urutan ini, Indonesia dikategorikan menderita “demokrasi cacat” (flawed democracy) karena pemilu tidak selalu melahirkan pemerintahan yang bersih dan berkualitas.

Penilaian internasional ini juga diafirmasi oleh penilaian dalam negeri, bahkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) yang menilai penurunan Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) pada 2020. Dilihat dari indikator kebebasan misalnya, 2020 menandai naiknya ancaman penggunaan kekerasan aparat yang menghambat kebebasan berekspresi dan berserikat, dari 77, 21 pada 2019, menjadi 86,76 pada 2020. Demikian pula ancaman penggunaan kekerasan oleh masyarakat yang menghambat kebebasan berekspresi dan berserikat, dari 83,82 pada 2019, menjadi 86,95 pada 2020.

Dengan demikian, kualitas demokrasi kita dinilai menurun karena belum mampu memaksimalkan praksis nilai-nilai demokrasi itu sendiri. Apalagi jika didasarkan pada “demokrasi Pancasila”, di mana demokrasi harus memuat sila-sila Pancasila, dari ketuhanan hingga keadilan sosial. Maka, kualitas demokrasi masih jauh dari parameter Pancasila.

Kelima, kehidupan ekonomi. Meskipun ujung dari sila Pancasila ialah keadilan sosial, namun negeri ini masih dilanda ketimpangan ekonomi. Bahkan di masa pandemi, ketimpangan antara si miskin dan si kaya makin naik. Badan Pusat Statistik (BPS) misalnya menyatakan bahwa ketimpangan atau gini ratio di Indonesia naik dari 0,381 pada Maret 2020, menjadi 0,384 pada Maret 2021. Naiknya ketimpangan ini disebabkan oleh siklus kekayaan yang berputar hanya di lingkaran elite, meskipun bangsa tengah terlilit wabah. Hal ini yang membuat Bank Pembangunan Asia (ADB) menilai ketimpangan ekonomi di Indonesia naik 1,4% per-tahun.

Menaikkan Indeks pada 2022
Berdasarkan penilaian lima kehidupan berbangsa dalam kerangka lima persoalan Pancasila, kita harus melakukan penaikan indeks kehidupan berbangsa pada 2022. Demi kebutuhan ini, Pancasila memang harus diamalkan, baik secara agensial (manusia) maupun institusional.

Hal ini sekaligus memerlukan perbaikan pemahaman kita terhadap ideologi bangsa ini. Sebab Pancasila bukan hanya dasar legal negara, apalagi sebatas simbol seremoni dan program pemerintah yang cenderung formalistik. Pancasila adalah jalan dan cara hidup yang menaikkan kualitas hidup berbangsa, sebagai cara kita menaikkan kualitas hidup personal, tidak hanya di hadapan manusia, namun di hadapan sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa.

Dengan menjadikan Pancasila sebagai ukuran praktik hidup, maka kualitas kehidupan personal, sosial dan kenegaraan bisa menaik. Indeks kehidupan berbangsa, baik kehidupan keagamaan, kemanusiaan, kebangsaan, demokrasi dan ekonomi pun bisa menaik dari tahun ke tahun. Semoga!









(bmm)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1167 seconds (0.1#10.140)