Asap Kretek Menguap di Hollywood
Jum'at, 17 Desember 2021 - 11:10 WIB
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), ekspor kretek tercatat sampai tahun 2009 mencapai USD500 juta, atau setara Rp4,26 triliun (dengan kurs saat itu). Dan seperlimanya diekspor ke Amerika Serikat (neraca.co.id, 25/04/2012). Angka itu setara hampir satu triliun rupiah. Pertumbuhan ekspor kretek di dunia dari tahun ke tahun terus tumbuh mencapai lebih dari lima persen. Hampir satu persen dari itu diserap oleh pasar rokok di Amerika.
Ekspor kretek Indonesia dibanding total nilai pasar rokok dunia sebetulnya masih sangat rendah. Nilai pasar rokok dunia pada 2009 mencapai USD575 miliar (Euromonitor International, 2019), atau setara Rp5.000 triliun (dengan kurs dolar Rp9.000). Nilai ekspor kretek sebesar Rp4,26 triliun itu hanya setara 0,001% dari total nilai pasar rokok dunia.
Tetapi, pertumbuhan lebih dari 5% menunjukkan angka yang cukup signifikan dalam tren konsumsi jenis kretek dibanding rokok putih atau rokok tanpa perisa umumnya. Pertumbuhan ini secara bisnis cukup menguatirkan para pemain rokok. Apalagi telah menyasar kalangan Hollywood sebagai influencer paling berpengaruh terhadap perilaku anak muda di Amerika dan dunia.
Upaya penghentian itu terjadi pada 2009. Presiden Barack Obama atas usul FDA mengeluarkan UU Pengendalian Keluarga dari Asap Rokok (Family Smoking Prevention and Tobacco Control Act) pada 22 Juni 2009. Dalam UU itu, rokok beraroma, termasuk perisa, dilarang diedarkan di pasar Amerika. Mulai 2010, ekspor kretek ke Amerika mengalami penurunan yang sangat drastis.
Pemerintah Indonesia melakukan protes kepada Amerika lewat WTO (World Trade Organization). UU ini dinilai diskriminatif, karena rokok putih mentol yang juga masuk kategori rokok beraroma tidak ikut dalam daftar produk yang dilarang. Rokok jenis ini menguasai 10% pasar rokok di Amerika dan sebagian besar diproduksi oleh Philip Morris.
Lebih penting dari itu, Pemerintah Indonesia merasa, UU ini lebih ditujukan kepada kretek, karena biddies, rokok beraroma asal India, tak memiliki pasar di Amerika. UU ini bagi pemerintah Indonesia tak lebih merupakan perang dagang yang culas.
Pada April 2012, Indonesia akhirnya memenangkan gugatan. Atas kemenangan ini, setahun kemudian Pemerintah Indonesia bersama Firma Hukum Mayer Brown menerima penghargaan Global Dispute of the Year dari majalah hukum The American Lawyer di New York, Amerika Serikat, pada September 2013.
Meski demikian, kemenangan ini tidak secara otomatis bisa dieksekusi, karena Dispute Settlement Body (DSB), badan yang mengurusi sengketa di WTO, menyerahkan solusi penyelesaian pada kedua negara yang berselesih. Pada 7 Oktober 2014, Pemerintah Indonesia dan Amerika sepakat menutup sengketa dagang dengan memberikan peluang ekspor cigars dan cigarillos dari Indonesia.
Produsen kretek Indonesia tentu saja kecewa, karena pasar kretek reguler tetap tertutup masuk Amerika. Tapi, mereka tak kehilangan akal. Produk cigars dan cigarillos atau rokok berjenis cerutu yang memang tidak masuk kategori rokok pada umumnya, mulai diproduksi secara inovatif oleh produsen kretek Indonesia dengan tetap mengedepankan ciri khas kretek.
Angka ekspor mulai tumbuh kembali sejak 2015. Pada 2020, nilai ekspor kretek dalam bentuk cigars maupun cigarillos mencapai USD776,1 juta, turun 5,79% dibanding tahun sebelumnya yang mencapai USD823,8 juta (Tribunnews, 2/11/2021).
Ekspor kretek Indonesia dibanding total nilai pasar rokok dunia sebetulnya masih sangat rendah. Nilai pasar rokok dunia pada 2009 mencapai USD575 miliar (Euromonitor International, 2019), atau setara Rp5.000 triliun (dengan kurs dolar Rp9.000). Nilai ekspor kretek sebesar Rp4,26 triliun itu hanya setara 0,001% dari total nilai pasar rokok dunia.
Tetapi, pertumbuhan lebih dari 5% menunjukkan angka yang cukup signifikan dalam tren konsumsi jenis kretek dibanding rokok putih atau rokok tanpa perisa umumnya. Pertumbuhan ini secara bisnis cukup menguatirkan para pemain rokok. Apalagi telah menyasar kalangan Hollywood sebagai influencer paling berpengaruh terhadap perilaku anak muda di Amerika dan dunia.
Upaya penghentian itu terjadi pada 2009. Presiden Barack Obama atas usul FDA mengeluarkan UU Pengendalian Keluarga dari Asap Rokok (Family Smoking Prevention and Tobacco Control Act) pada 22 Juni 2009. Dalam UU itu, rokok beraroma, termasuk perisa, dilarang diedarkan di pasar Amerika. Mulai 2010, ekspor kretek ke Amerika mengalami penurunan yang sangat drastis.
Pemerintah Indonesia melakukan protes kepada Amerika lewat WTO (World Trade Organization). UU ini dinilai diskriminatif, karena rokok putih mentol yang juga masuk kategori rokok beraroma tidak ikut dalam daftar produk yang dilarang. Rokok jenis ini menguasai 10% pasar rokok di Amerika dan sebagian besar diproduksi oleh Philip Morris.
Lebih penting dari itu, Pemerintah Indonesia merasa, UU ini lebih ditujukan kepada kretek, karena biddies, rokok beraroma asal India, tak memiliki pasar di Amerika. UU ini bagi pemerintah Indonesia tak lebih merupakan perang dagang yang culas.
Pada April 2012, Indonesia akhirnya memenangkan gugatan. Atas kemenangan ini, setahun kemudian Pemerintah Indonesia bersama Firma Hukum Mayer Brown menerima penghargaan Global Dispute of the Year dari majalah hukum The American Lawyer di New York, Amerika Serikat, pada September 2013.
Meski demikian, kemenangan ini tidak secara otomatis bisa dieksekusi, karena Dispute Settlement Body (DSB), badan yang mengurusi sengketa di WTO, menyerahkan solusi penyelesaian pada kedua negara yang berselesih. Pada 7 Oktober 2014, Pemerintah Indonesia dan Amerika sepakat menutup sengketa dagang dengan memberikan peluang ekspor cigars dan cigarillos dari Indonesia.
Produsen kretek Indonesia tentu saja kecewa, karena pasar kretek reguler tetap tertutup masuk Amerika. Tapi, mereka tak kehilangan akal. Produk cigars dan cigarillos atau rokok berjenis cerutu yang memang tidak masuk kategori rokok pada umumnya, mulai diproduksi secara inovatif oleh produsen kretek Indonesia dengan tetap mengedepankan ciri khas kretek.
Angka ekspor mulai tumbuh kembali sejak 2015. Pada 2020, nilai ekspor kretek dalam bentuk cigars maupun cigarillos mencapai USD776,1 juta, turun 5,79% dibanding tahun sebelumnya yang mencapai USD823,8 juta (Tribunnews, 2/11/2021).
Lihat Juga :
tulis komentar anda