Asap Kretek Menguap di Hollywood
loading...
A
A
A
Hasan Aoni
Pendiri Omah Dongeng Marwah
Sekjen GAPPRI 2011-2018
TAHUKAH Anda, rokok kretek sangat digemari bintang film Hollywood dan artis Amerika?
Dalam film 3000 Miles to Graceland(2001), kesukaan Hollywood pada rokok asli Indonesia, ini terkuak. Di menit ke 67, Kevin Costner, yang memerankan Thomas Murphy, seorang bandit yang berpose a la Elvis Presley, menghentikan laju mobilnya dari kejaran polisi.
Ia keluar menyalakan rokok, menyedotnya dalam-dalam dan menjentiknya sebelum habis. Sementara 25 meter di belakangnya, polisi yang tadi mengejarnya, siap merogoh pistol dari dalam holster. Jentikan itu serupa tantangan untuk beradu siapa paling cepat melesakkan peluru di kepala.
Di atas aspal di sabana yang lengang di kota Memphis, di negara bagian Tennessee, Amerika Serikat, rokok yang melenting itu jatuh berguling-guling. Sebelum akhirnya polisi terhuyung ditembus peluru Murphy, mata kamera mengikuti lentingan rokok hingga terhenti di atas aspal.
Tampak lambang jarum gramafon -- mesin pemutar piringan hitam -- berwarna merah tercetak di pangkal filter. Kaum perokok pasti tahu itu simbol kretek merek Djarum asal Indonesia yang dipasarkan di Amerika.
Adegan aktris Keira Knightley dalam film Domino(2005) menunjukkan hal serupa. Di menit ke-115, bintang film asal Inggris yang berperan sebagai pembunuh bayaran Domino Harvey, itu menyulut rokok saat diinterogasi di dalam penjara. Asap rokok menguap di muka sang interogator serta di atas sebungkus Marlboro yang tergolek di atas meja.
Dalam film-film Hollywood, berbagai simbol kenegaraan Amerika kerap muncul mewarnai hampir setiap adegan. Mulai bendera, gedung putih, bahkan Coca-cola dan Marlboro. Mereka menyisipkan pesan itu sebagai ekspresi nasionalisme Amerika.
Tapi, tahukah apa isi di dalam bungkus Marlboro yang tergeletak di atas meja itu? Sama seperti di film 3000 Miles, ternyata lambang rokok kretek merek Djarum Indonesia. Mengapa bukan bungkus asli Djarum yang dipamerkan? Di situ nasionalisme Amerika ditunjukkan secara sadar oleh insan film Hollywood.
Berbeda dengan adegan film, di adegan nyata kretek Indonesia tak lagi bisa disembunyikan dari mata telanjang. Di tahun 2014, selebriti Selena Gomez menjadi sorotan media setelah putus cinta dengan penyanyi Justin Bieber. Ia yang dikenal publik sebagai artis kalem, terjepret kamera tengah menggapit sebungkus kretek di depan sebuah toko tak jauh dari tempat tinggalnya di Tarzana, California. Di bagian bawah bungkus berwarna merah maron itu tercetak sangat jelas merek Djarum dengan huruf kapital berwarna putih.
Mirip Mariyuana
Kabar kretek sangat disukai masyarakat Amerika sudah lama kita dengar. Mereka sering menyebut rokok beraroma perisa ini mirip-mirip mariyuana alias ganja.
Efek aroma mariyuana dipengaruhi oleh kandungan aneka perisa atau rempah yang terkandung dalam kretek, seperti cengkeh, manis jangan, kapulaga, dan lain-lain. Aroma ini menjadi faktor pembeda dari rokok putih produk Philip Morris Amerika atau BAT Inggris umumnya.
Kisah paling dramatik pernah digambarkan Pramudya Ananta Toer dengan sangat indah dalam buku Mark Hanusz Kretek, The Culture and He-ritage of Indonesia's Clove Cigarette(2000). Kisah tentang perjalanan diplomatik H Agus Salim di Britania Raya, yang menyebut aroma kretek sebagai alasan Barat menjajah dunia oleh karena kandungan rempahnya. Jawaban itu tak saja menghentikan upaya para diplomat Inggris yang meminta Agus Salim menyudahi mengisap kretek di pertemuan itu, sekaligus memperolok mereka.
Produk-produk kretek, khususnya Djarum yang diekspor ke Amerika, memang menawarkan berbagai aroma yang cukup memikat. Antara lain Djarum Super, LA Lights, L.A Menthol Lights, juga Djarum Black Menthol, Black Cappucino dan Black Tea.
Data-data ketertarikan selebriti Amerika terhadap kretek terus tumbuh dan menguatirkan FDA (Food and Drug Administration) atau Badan Pengawas Obat dan Makanan Amerika Serikat. Pada 2009 mereka menyusun draft UU untuk mencegah masyarakat tertarik pada kretek. Ketertarikan itu bisa digambarkan melalui data ekspor pada tahun-tahun munculnya UU itu.
Perang Dagang
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), ekspor kretek tercatat sampai tahun 2009 mencapai USD500 juta, atau setara Rp4,26 triliun (dengan kurs saat itu). Dan seperlimanya diekspor ke Amerika Serikat (neraca.co.id, 25/04/2012). Angka itu setara hampir satu triliun rupiah. Pertumbuhan ekspor kretek di dunia dari tahun ke tahun terus tumbuh mencapai lebih dari lima persen. Hampir satu persen dari itu diserap oleh pasar rokok di Amerika.
Ekspor kretek Indonesia dibanding total nilai pasar rokok dunia sebetulnya masih sangat rendah. Nilai pasar rokok dunia pada 2009 mencapai USD575 miliar (Euromonitor International, 2019), atau setara Rp5.000 triliun (dengan kurs dolar Rp9.000). Nilai ekspor kretek sebesar Rp4,26 triliun itu hanya setara 0,001% dari total nilai pasar rokok dunia.
Tetapi, pertumbuhan lebih dari 5% menunjukkan angka yang cukup signifikan dalam tren konsumsi jenis kretek dibanding rokok putih atau rokok tanpa perisa umumnya. Pertumbuhan ini secara bisnis cukup menguatirkan para pemain rokok. Apalagi telah menyasar kalangan Hollywood sebagai influencer paling berpengaruh terhadap perilaku anak muda di Amerika dan dunia.
Upaya penghentian itu terjadi pada 2009. Presiden Barack Obama atas usul FDA mengeluarkan UU Pengendalian Keluarga dari Asap Rokok (Family Smoking Prevention and Tobacco Control Act) pada 22 Juni 2009. Dalam UU itu, rokok beraroma, termasuk perisa, dilarang diedarkan di pasar Amerika. Mulai 2010, ekspor kretek ke Amerika mengalami penurunan yang sangat drastis.
Pemerintah Indonesia melakukan protes kepada Amerika lewat WTO (World Trade Organization). UU ini dinilai diskriminatif, karena rokok putih mentol yang juga masuk kategori rokok beraroma tidak ikut dalam daftar produk yang dilarang. Rokok jenis ini menguasai 10% pasar rokok di Amerika dan sebagian besar diproduksi oleh Philip Morris.
Lebih penting dari itu, Pemerintah Indonesia merasa, UU ini lebih ditujukan kepada kretek, karena biddies, rokok beraroma asal India, tak memiliki pasar di Amerika. UU ini bagi pemerintah Indonesia tak lebih merupakan perang dagang yang culas.
Pada April 2012, Indonesia akhirnya memenangkan gugatan. Atas kemenangan ini, setahun kemudian Pemerintah Indonesia bersama Firma Hukum Mayer Brown menerima penghargaan Global Dispute of the Year dari majalah hukum The American Lawyer di New York, Amerika Serikat, pada September 2013.
Meski demikian, kemenangan ini tidak secara otomatis bisa dieksekusi, karena Dispute Settlement Body (DSB), badan yang mengurusi sengketa di WTO, menyerahkan solusi penyelesaian pada kedua negara yang berselesih. Pada 7 Oktober 2014, Pemerintah Indonesia dan Amerika sepakat menutup sengketa dagang dengan memberikan peluang ekspor cigars dan cigarillos dari Indonesia.
Produsen kretek Indonesia tentu saja kecewa, karena pasar kretek reguler tetap tertutup masuk Amerika. Tapi, mereka tak kehilangan akal. Produk cigars dan cigarillos atau rokok berjenis cerutu yang memang tidak masuk kategori rokok pada umumnya, mulai diproduksi secara inovatif oleh produsen kretek Indonesia dengan tetap mengedepankan ciri khas kretek.
Angka ekspor mulai tumbuh kembali sejak 2015. Pada 2020, nilai ekspor kretek dalam bentuk cigars maupun cigarillos mencapai USD776,1 juta, turun 5,79% dibanding tahun sebelumnya yang mencapai USD823,8 juta (Tribunnews, 2/11/2021).
Film dan Rokok
Sebagai karya seni, film merupakan ekspresi kemerdekaan berkarya yang tidak boleh dihambat oleh kepentingan kesehatan atau lainnya. Karena itu, ada banyak film Hollywood yang memberikan kebebasan sutradara untuk memperlihatkan adegan merokok sepanjang sesuai dengan tuntutan skenario.
Pelolosan adegan merokok Kevin Costner maupun Keira Knightley di dua film itu menunjukkan penghargaan yang tinggi terhadap sebuah karya seni. Produser hanya diwajibkan mencantumkan kode usia 18+, untuk menunjukkan film bagi orang dewasa dan sebaliknya.
Hal sama berlaku di Indonesia. Aturan tidak boleh menunjukkan bentuk rokok atau peragaan orang sedang merokok hanya diatur dalam ketentuan siaran iklan maupun pemberitaan. Karena itu, pengaturannya berada di bawah Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) yang diatur dalam P3SPS (Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran)-KPI (Pusat), dan bukan di bawah Lembaga Sensor Film (BSF) Indonesia.
Namun, dalam praktiknya, stasiun televisi nasional masih memberlakukan blur pada setiap peragaan bentuk rokok maupun adegan orang merokok pada setiap film yang mereka tayangkan.
Amerika sendiri mengalami perkembangan yang cukup signifikan. Meski tidak mengenal badan sensor film seperti di Indonesia sejak Mahkamah Agung Amerika melarang sensor film tahun 1952, insan film Hollywood mulai mengurangi adegan merokok di film mereka pada kurun 2001-2009.
Penelitian Center for Tobacco Control Research and Education dari University of California, AS, terhadap film-film Hollywood kurun 2001-2009 menunjukkan menurunnya jumlah adegan merokok. Jumlah adegan merokok terbanyak terjadi pada 2005, yakni 4.000 adegan, dan turun drastis menjadi 1.935 adegan pada 2009. Bahkan mereka mencatat, dari 145 film laris tahun 2009, tidak ditemukan satu pun adegan merokok (Kompas, 20/8/2010).
Lepas dari menurunnya adegan merokok dalam film-film Hollywood, ketertarikan insan film dan artis Amerika pada kretek menunjukkan tidak mudahnya menggeser kesukaan kelompok kelas menengah Amerika terhadap cita rasa rokok khas Indonesia. Meningkatnya angka ekspor kretek dari tahun ke tahun menunjukkan hal itu. Sesuatu yang dulu digambarkan sebagai "yang membuat Barat rela mengarungi negeri Timur" oleh H. Agus Salim, kini telah tersedia dengan segala variannya di setiap gerai di dekat rumah mereka.
Salam Dongeng!
Pendiri Omah Dongeng Marwah
Sekjen GAPPRI 2011-2018
TAHUKAH Anda, rokok kretek sangat digemari bintang film Hollywood dan artis Amerika?
Dalam film 3000 Miles to Graceland(2001), kesukaan Hollywood pada rokok asli Indonesia, ini terkuak. Di menit ke 67, Kevin Costner, yang memerankan Thomas Murphy, seorang bandit yang berpose a la Elvis Presley, menghentikan laju mobilnya dari kejaran polisi.
Ia keluar menyalakan rokok, menyedotnya dalam-dalam dan menjentiknya sebelum habis. Sementara 25 meter di belakangnya, polisi yang tadi mengejarnya, siap merogoh pistol dari dalam holster. Jentikan itu serupa tantangan untuk beradu siapa paling cepat melesakkan peluru di kepala.
Di atas aspal di sabana yang lengang di kota Memphis, di negara bagian Tennessee, Amerika Serikat, rokok yang melenting itu jatuh berguling-guling. Sebelum akhirnya polisi terhuyung ditembus peluru Murphy, mata kamera mengikuti lentingan rokok hingga terhenti di atas aspal.
Tampak lambang jarum gramafon -- mesin pemutar piringan hitam -- berwarna merah tercetak di pangkal filter. Kaum perokok pasti tahu itu simbol kretek merek Djarum asal Indonesia yang dipasarkan di Amerika.
Adegan aktris Keira Knightley dalam film Domino(2005) menunjukkan hal serupa. Di menit ke-115, bintang film asal Inggris yang berperan sebagai pembunuh bayaran Domino Harvey, itu menyulut rokok saat diinterogasi di dalam penjara. Asap rokok menguap di muka sang interogator serta di atas sebungkus Marlboro yang tergolek di atas meja.
Dalam film-film Hollywood, berbagai simbol kenegaraan Amerika kerap muncul mewarnai hampir setiap adegan. Mulai bendera, gedung putih, bahkan Coca-cola dan Marlboro. Mereka menyisipkan pesan itu sebagai ekspresi nasionalisme Amerika.
Tapi, tahukah apa isi di dalam bungkus Marlboro yang tergeletak di atas meja itu? Sama seperti di film 3000 Miles, ternyata lambang rokok kretek merek Djarum Indonesia. Mengapa bukan bungkus asli Djarum yang dipamerkan? Di situ nasionalisme Amerika ditunjukkan secara sadar oleh insan film Hollywood.
Berbeda dengan adegan film, di adegan nyata kretek Indonesia tak lagi bisa disembunyikan dari mata telanjang. Di tahun 2014, selebriti Selena Gomez menjadi sorotan media setelah putus cinta dengan penyanyi Justin Bieber. Ia yang dikenal publik sebagai artis kalem, terjepret kamera tengah menggapit sebungkus kretek di depan sebuah toko tak jauh dari tempat tinggalnya di Tarzana, California. Di bagian bawah bungkus berwarna merah maron itu tercetak sangat jelas merek Djarum dengan huruf kapital berwarna putih.
Mirip Mariyuana
Kabar kretek sangat disukai masyarakat Amerika sudah lama kita dengar. Mereka sering menyebut rokok beraroma perisa ini mirip-mirip mariyuana alias ganja.
Efek aroma mariyuana dipengaruhi oleh kandungan aneka perisa atau rempah yang terkandung dalam kretek, seperti cengkeh, manis jangan, kapulaga, dan lain-lain. Aroma ini menjadi faktor pembeda dari rokok putih produk Philip Morris Amerika atau BAT Inggris umumnya.
Kisah paling dramatik pernah digambarkan Pramudya Ananta Toer dengan sangat indah dalam buku Mark Hanusz Kretek, The Culture and He-ritage of Indonesia's Clove Cigarette(2000). Kisah tentang perjalanan diplomatik H Agus Salim di Britania Raya, yang menyebut aroma kretek sebagai alasan Barat menjajah dunia oleh karena kandungan rempahnya. Jawaban itu tak saja menghentikan upaya para diplomat Inggris yang meminta Agus Salim menyudahi mengisap kretek di pertemuan itu, sekaligus memperolok mereka.
Produk-produk kretek, khususnya Djarum yang diekspor ke Amerika, memang menawarkan berbagai aroma yang cukup memikat. Antara lain Djarum Super, LA Lights, L.A Menthol Lights, juga Djarum Black Menthol, Black Cappucino dan Black Tea.
Data-data ketertarikan selebriti Amerika terhadap kretek terus tumbuh dan menguatirkan FDA (Food and Drug Administration) atau Badan Pengawas Obat dan Makanan Amerika Serikat. Pada 2009 mereka menyusun draft UU untuk mencegah masyarakat tertarik pada kretek. Ketertarikan itu bisa digambarkan melalui data ekspor pada tahun-tahun munculnya UU itu.
Perang Dagang
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), ekspor kretek tercatat sampai tahun 2009 mencapai USD500 juta, atau setara Rp4,26 triliun (dengan kurs saat itu). Dan seperlimanya diekspor ke Amerika Serikat (neraca.co.id, 25/04/2012). Angka itu setara hampir satu triliun rupiah. Pertumbuhan ekspor kretek di dunia dari tahun ke tahun terus tumbuh mencapai lebih dari lima persen. Hampir satu persen dari itu diserap oleh pasar rokok di Amerika.
Ekspor kretek Indonesia dibanding total nilai pasar rokok dunia sebetulnya masih sangat rendah. Nilai pasar rokok dunia pada 2009 mencapai USD575 miliar (Euromonitor International, 2019), atau setara Rp5.000 triliun (dengan kurs dolar Rp9.000). Nilai ekspor kretek sebesar Rp4,26 triliun itu hanya setara 0,001% dari total nilai pasar rokok dunia.
Tetapi, pertumbuhan lebih dari 5% menunjukkan angka yang cukup signifikan dalam tren konsumsi jenis kretek dibanding rokok putih atau rokok tanpa perisa umumnya. Pertumbuhan ini secara bisnis cukup menguatirkan para pemain rokok. Apalagi telah menyasar kalangan Hollywood sebagai influencer paling berpengaruh terhadap perilaku anak muda di Amerika dan dunia.
Upaya penghentian itu terjadi pada 2009. Presiden Barack Obama atas usul FDA mengeluarkan UU Pengendalian Keluarga dari Asap Rokok (Family Smoking Prevention and Tobacco Control Act) pada 22 Juni 2009. Dalam UU itu, rokok beraroma, termasuk perisa, dilarang diedarkan di pasar Amerika. Mulai 2010, ekspor kretek ke Amerika mengalami penurunan yang sangat drastis.
Pemerintah Indonesia melakukan protes kepada Amerika lewat WTO (World Trade Organization). UU ini dinilai diskriminatif, karena rokok putih mentol yang juga masuk kategori rokok beraroma tidak ikut dalam daftar produk yang dilarang. Rokok jenis ini menguasai 10% pasar rokok di Amerika dan sebagian besar diproduksi oleh Philip Morris.
Lebih penting dari itu, Pemerintah Indonesia merasa, UU ini lebih ditujukan kepada kretek, karena biddies, rokok beraroma asal India, tak memiliki pasar di Amerika. UU ini bagi pemerintah Indonesia tak lebih merupakan perang dagang yang culas.
Pada April 2012, Indonesia akhirnya memenangkan gugatan. Atas kemenangan ini, setahun kemudian Pemerintah Indonesia bersama Firma Hukum Mayer Brown menerima penghargaan Global Dispute of the Year dari majalah hukum The American Lawyer di New York, Amerika Serikat, pada September 2013.
Meski demikian, kemenangan ini tidak secara otomatis bisa dieksekusi, karena Dispute Settlement Body (DSB), badan yang mengurusi sengketa di WTO, menyerahkan solusi penyelesaian pada kedua negara yang berselesih. Pada 7 Oktober 2014, Pemerintah Indonesia dan Amerika sepakat menutup sengketa dagang dengan memberikan peluang ekspor cigars dan cigarillos dari Indonesia.
Produsen kretek Indonesia tentu saja kecewa, karena pasar kretek reguler tetap tertutup masuk Amerika. Tapi, mereka tak kehilangan akal. Produk cigars dan cigarillos atau rokok berjenis cerutu yang memang tidak masuk kategori rokok pada umumnya, mulai diproduksi secara inovatif oleh produsen kretek Indonesia dengan tetap mengedepankan ciri khas kretek.
Angka ekspor mulai tumbuh kembali sejak 2015. Pada 2020, nilai ekspor kretek dalam bentuk cigars maupun cigarillos mencapai USD776,1 juta, turun 5,79% dibanding tahun sebelumnya yang mencapai USD823,8 juta (Tribunnews, 2/11/2021).
Film dan Rokok
Sebagai karya seni, film merupakan ekspresi kemerdekaan berkarya yang tidak boleh dihambat oleh kepentingan kesehatan atau lainnya. Karena itu, ada banyak film Hollywood yang memberikan kebebasan sutradara untuk memperlihatkan adegan merokok sepanjang sesuai dengan tuntutan skenario.
Pelolosan adegan merokok Kevin Costner maupun Keira Knightley di dua film itu menunjukkan penghargaan yang tinggi terhadap sebuah karya seni. Produser hanya diwajibkan mencantumkan kode usia 18+, untuk menunjukkan film bagi orang dewasa dan sebaliknya.
Hal sama berlaku di Indonesia. Aturan tidak boleh menunjukkan bentuk rokok atau peragaan orang sedang merokok hanya diatur dalam ketentuan siaran iklan maupun pemberitaan. Karena itu, pengaturannya berada di bawah Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) yang diatur dalam P3SPS (Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran)-KPI (Pusat), dan bukan di bawah Lembaga Sensor Film (BSF) Indonesia.
Namun, dalam praktiknya, stasiun televisi nasional masih memberlakukan blur pada setiap peragaan bentuk rokok maupun adegan orang merokok pada setiap film yang mereka tayangkan.
Amerika sendiri mengalami perkembangan yang cukup signifikan. Meski tidak mengenal badan sensor film seperti di Indonesia sejak Mahkamah Agung Amerika melarang sensor film tahun 1952, insan film Hollywood mulai mengurangi adegan merokok di film mereka pada kurun 2001-2009.
Penelitian Center for Tobacco Control Research and Education dari University of California, AS, terhadap film-film Hollywood kurun 2001-2009 menunjukkan menurunnya jumlah adegan merokok. Jumlah adegan merokok terbanyak terjadi pada 2005, yakni 4.000 adegan, dan turun drastis menjadi 1.935 adegan pada 2009. Bahkan mereka mencatat, dari 145 film laris tahun 2009, tidak ditemukan satu pun adegan merokok (Kompas, 20/8/2010).
Lepas dari menurunnya adegan merokok dalam film-film Hollywood, ketertarikan insan film dan artis Amerika pada kretek menunjukkan tidak mudahnya menggeser kesukaan kelompok kelas menengah Amerika terhadap cita rasa rokok khas Indonesia. Meningkatnya angka ekspor kretek dari tahun ke tahun menunjukkan hal itu. Sesuatu yang dulu digambarkan sebagai "yang membuat Barat rela mengarungi negeri Timur" oleh H. Agus Salim, kini telah tersedia dengan segala variannya di setiap gerai di dekat rumah mereka.
Salam Dongeng!
(poe)