Krisis Lingkungan dan Paradigma Baru Pengelolaan SDA
Senin, 13 Desember 2021 - 13:59 WIB
Paradigma keilmuan yang bersifat sempit dan reduksionis—seperti yang terdapat dalam logika kapitalisme—memisahkan antara manusia dan lingkungan; menganggap bahwa lingkungan tidak tersentuh oleh aktivitas manusia (Haber, 2004). Tak dapat disangkal, keberlangsungan hidup manusia menuntut adanya produktivitas ekonomi yang berlangsung terus-menerus.
Semua kebutuhan manusia, diambil dari alam yang sebagian besar tidak terbaharukan. Jika dibiarkan secara simultan dan tak mengenal adanya pembatasan, kerusakan lingkungan pada akhirnya menjadi puncak dari usaha untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Kebijakan pembangunan yang didominasi oleh modernisasi dan konsumerisme pemenuhan pasar, berdampak pada ketimpangan ekologis yang membabi buta.
Setelah memetakan kerentanan diskursus di atas, penulis berusaha untuk mengonstruk bentuk ketahanan adaptif yang menunjang sustainability pada sistem sosial. Meskipun dalam kategori tertentu, penulis akui bahwa penggunaan paradigma sistem ketahanan sosial belum sepenuhnya memadai untuk dijadikan sebagai bangun rancang dalam menganalisa persoalan ekologi, karena refleksi kapasitas manusia sangat kompleks bila diimplementasikan dalam tindakan sosial.
Yang dapat dijadikan pijakan awal untuk melihat fenomen ekologi di atas adalah meletakkan paradigma bahwa, kerusakan lingkungan setidaknya disebabkan oleh dua faktor: paradigma manusia terhadap alam, dan modernitas. Paradigma dalam hal ini mencakup cara manusia memahami dan berhubungan dengan alam.
Paradigma manusia terhadap alam menjadi penentu utama bagaimana manusia seharusnya memperlakukan alam. Cara pandang Cartesian menjadi persoalan utama atas gagalnya pembangunan yang bersifat ekologis.
Cara pandang ini telah mendominasi pola pikir masyarakat yang bersifat antroposentris; memanfaatkan alam untuk kepentingan manusia secara berlebihan dan pada akhirnya berdampak pada terjadinya eksploitasi alam secara terus-menerus dengan dalih pembangunan.
Dengan mendasarkan pada logika kapitalisme neo-liberal dari cara pandang Cartesian, mengakibatkan manusia mengutamakan diri sebagai homoeconomicus; di mana kepentingan akumulasi laba dapat terpenuhi tanpa memperhitungkan beragam kerusakan lingkungan yang ada. Penaklukan manusia terhadap alam semacam ini pernah ditulis oleh Francis Bacon tentang “Knowledge ittself is Power” dalam karyanya Meditations Sacrae and Human Philosophy (Bacon, 1597).
Selain itu, modernisme yang difahami manusia hari ini juga menjadi faktor penentu dari perilaku eksploitatif yang memberikan dampak kerusakan lingkungan. Bruno Latour mengilustrasikan modernisme tidak pada pemahaman tentang ‘periode waktu’ (an existing historical period) melainkan mengarah pada ‘suatu cara berpikir’ (the way of thingking).
Bagi Latour, kerusakan lingkungan dan masifnya pembangunan yang tidak memperhatikan hak tumbuh alam merupakan kasus yang diakibatkan oleh cara pandang yang keliru terhadap modernisasi. Selain Latour, Adorno dan Max Horkheimer juga menggugat dasar pemikiran modernisme, yang kerap difahami tentang kemajuan atau progresivitas (Horkheimer & Adorno, Dialectic of Enlightenment, 2002).
Alam yang dalam paradigma modern kerap difahami sebagai objek, seolah diarahkan untuk membebaskan manusia dengan menguasai alam sebebas-bebasnya. Yang terjadi, manusia justru diposisikan sebagai objek yang dikuasai alam (Bertens, 2013).
Semua kebutuhan manusia, diambil dari alam yang sebagian besar tidak terbaharukan. Jika dibiarkan secara simultan dan tak mengenal adanya pembatasan, kerusakan lingkungan pada akhirnya menjadi puncak dari usaha untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Kebijakan pembangunan yang didominasi oleh modernisasi dan konsumerisme pemenuhan pasar, berdampak pada ketimpangan ekologis yang membabi buta.
Setelah memetakan kerentanan diskursus di atas, penulis berusaha untuk mengonstruk bentuk ketahanan adaptif yang menunjang sustainability pada sistem sosial. Meskipun dalam kategori tertentu, penulis akui bahwa penggunaan paradigma sistem ketahanan sosial belum sepenuhnya memadai untuk dijadikan sebagai bangun rancang dalam menganalisa persoalan ekologi, karena refleksi kapasitas manusia sangat kompleks bila diimplementasikan dalam tindakan sosial.
Yang dapat dijadikan pijakan awal untuk melihat fenomen ekologi di atas adalah meletakkan paradigma bahwa, kerusakan lingkungan setidaknya disebabkan oleh dua faktor: paradigma manusia terhadap alam, dan modernitas. Paradigma dalam hal ini mencakup cara manusia memahami dan berhubungan dengan alam.
Paradigma manusia terhadap alam menjadi penentu utama bagaimana manusia seharusnya memperlakukan alam. Cara pandang Cartesian menjadi persoalan utama atas gagalnya pembangunan yang bersifat ekologis.
Cara pandang ini telah mendominasi pola pikir masyarakat yang bersifat antroposentris; memanfaatkan alam untuk kepentingan manusia secara berlebihan dan pada akhirnya berdampak pada terjadinya eksploitasi alam secara terus-menerus dengan dalih pembangunan.
Dengan mendasarkan pada logika kapitalisme neo-liberal dari cara pandang Cartesian, mengakibatkan manusia mengutamakan diri sebagai homoeconomicus; di mana kepentingan akumulasi laba dapat terpenuhi tanpa memperhitungkan beragam kerusakan lingkungan yang ada. Penaklukan manusia terhadap alam semacam ini pernah ditulis oleh Francis Bacon tentang “Knowledge ittself is Power” dalam karyanya Meditations Sacrae and Human Philosophy (Bacon, 1597).
Selain itu, modernisme yang difahami manusia hari ini juga menjadi faktor penentu dari perilaku eksploitatif yang memberikan dampak kerusakan lingkungan. Bruno Latour mengilustrasikan modernisme tidak pada pemahaman tentang ‘periode waktu’ (an existing historical period) melainkan mengarah pada ‘suatu cara berpikir’ (the way of thingking).
Bagi Latour, kerusakan lingkungan dan masifnya pembangunan yang tidak memperhatikan hak tumbuh alam merupakan kasus yang diakibatkan oleh cara pandang yang keliru terhadap modernisasi. Selain Latour, Adorno dan Max Horkheimer juga menggugat dasar pemikiran modernisme, yang kerap difahami tentang kemajuan atau progresivitas (Horkheimer & Adorno, Dialectic of Enlightenment, 2002).
Alam yang dalam paradigma modern kerap difahami sebagai objek, seolah diarahkan untuk membebaskan manusia dengan menguasai alam sebebas-bebasnya. Yang terjadi, manusia justru diposisikan sebagai objek yang dikuasai alam (Bertens, 2013).
Lihat Juga :
tulis komentar anda