Akademisi: Draf Perpres TNI Atasi Terorisme Mengancam Supremasi Sipil
Minggu, 07 Juni 2020 - 07:15 WIB
JAKARTA - Pembenahan regulasi hukum mengenai pelibatan militer sebelum mensahkan rancangan Peraturan Presiden (Perpres) Tugas TNI dalam Menangani Aksi Terorisme menjadi sebuah beleid karena berpotensi mengancam supremasi sipil.
Hal itu disampaikan dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Univeritas Airlangga (Unair), Airlangga Pribadi. Dirinya mengingatkan, rancangan perpres yang mengatur kewenangan TNI dalam pemberantasan terorisme berpotensi mengingkari dan bertabrakan dengan landasan konstitusi yang telah ada.
Dijelaskan Airlangga, sebelum membuat rumusan kewenangan TNI di dalam perpres tersebut, yang harus dirapikan terdahulu adalah regulasi hukum, soal apa saja yang termasuk tindak terorisme, teritori tindak pidana maupun mekanisme pelibatannya. (Baca juga: Perpres Pelibatan TNI Tangani Terorisme Dinilai Membingungkan)
“TNI bukanlah aparat penegak hukum melainkan adalah aparat pertahanan negara. Kita harus sepakat dulu terkait hal ini. Hati-hati, ini menjadi ancaman baru bagi pengantar masuknya militer dalam supremasi sipil, serta melanggar HAM,” tukasnya, Minggu, (7/6/2020).
Airlangga menegaskan, prinsipnya bahwa leading sector dari penanganan terorisme adalah aparat penegak hukum dan keamanan negara, dalam hal ini melalui Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT). “Relasi hukum ini dulu yang harus diselesaikan dan semua pihak harus tahu dan paham,” imbuhnya. (Baca juga: Lampaui Undang-undang, Perpres Tugas TNI Atasi Terorisme Harus Dicabut)
Senada, Dekan Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Ali Safa’at dalam diskusi virtual, Jumat, 5 Juni 2020, menyampaikan rancangan perpres yang telah diserahkan pemerintah ke DPR awal Mei 2020 lalu itu bernafas UU TNI dibandingkan pelaksanaaan UU Pemberantasan Terorisme. Pengungkapan jaringan teroris diingatkannya akan menjadi problem tersendiri karena metode yang akan digunakan menggunakan parameter perang.
Dia menilai, ketika penindakan dilakukan dengan pendekatan perang justru akan menimbulkan spiral kekerasan. Menurutnya, TNI yang disiapkan untuk perang tentu mempunyai parameter berbeda dengan penegakkan hukum. Semua ini akan mengalami masalah, utamanya dalam hal pengungkapan jaringan dan pembuktian saat persidangan. “Karena militer dilatih dan dipersiapkan untuk perang maka penanganan teroris jika Perpres disahkan, metodenya akan menggunakan metode perang. Pengungkapan jaringan terorisme dan pembuktian pelaku menjadi problem tersendiri,” jelas Safa’at. (Baca juga: Perpres Tugas TNI Atasi Terorisme Picu Polemik, Begini Reaksi Kapuspen)
Diberitakan sebelumnya, paska penyerahan rancangan perpres tersebut ke DPR yang dilakukan di tengah pandemi Covid 19, muncul berbagai penolakan oleh sejumlah aktivis, akademisi hingga tokoh masyarakat sipil melalui penandatangan petisi bersama menolak rancangan Perpres TNI tersebut.
Sejumlah nama yang ikut menandatangani Petisi Bersama Masyarakat Sipil itu di antaranya, Guru Besar Fisipol UGM Mochtar Mas'oed, Guru Besar FH UGM Sigit Riyanto, Alissa Wahid, putri mendiang Gus Dur, dosen FISIP UI Nur Iman Subono, mantan legislator Nursyahbani Katjasungkana, Komisioner Komnas HAM Choirul Anam, Direktur Riset di Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) Wahyudi Djafar, Usman Hamid, dan dosen Universitas Paramadina Phil Shiskha Prabawaningtyas.
Hal itu disampaikan dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Univeritas Airlangga (Unair), Airlangga Pribadi. Dirinya mengingatkan, rancangan perpres yang mengatur kewenangan TNI dalam pemberantasan terorisme berpotensi mengingkari dan bertabrakan dengan landasan konstitusi yang telah ada.
Dijelaskan Airlangga, sebelum membuat rumusan kewenangan TNI di dalam perpres tersebut, yang harus dirapikan terdahulu adalah regulasi hukum, soal apa saja yang termasuk tindak terorisme, teritori tindak pidana maupun mekanisme pelibatannya. (Baca juga: Perpres Pelibatan TNI Tangani Terorisme Dinilai Membingungkan)
“TNI bukanlah aparat penegak hukum melainkan adalah aparat pertahanan negara. Kita harus sepakat dulu terkait hal ini. Hati-hati, ini menjadi ancaman baru bagi pengantar masuknya militer dalam supremasi sipil, serta melanggar HAM,” tukasnya, Minggu, (7/6/2020).
Airlangga menegaskan, prinsipnya bahwa leading sector dari penanganan terorisme adalah aparat penegak hukum dan keamanan negara, dalam hal ini melalui Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT). “Relasi hukum ini dulu yang harus diselesaikan dan semua pihak harus tahu dan paham,” imbuhnya. (Baca juga: Lampaui Undang-undang, Perpres Tugas TNI Atasi Terorisme Harus Dicabut)
Senada, Dekan Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Ali Safa’at dalam diskusi virtual, Jumat, 5 Juni 2020, menyampaikan rancangan perpres yang telah diserahkan pemerintah ke DPR awal Mei 2020 lalu itu bernafas UU TNI dibandingkan pelaksanaaan UU Pemberantasan Terorisme. Pengungkapan jaringan teroris diingatkannya akan menjadi problem tersendiri karena metode yang akan digunakan menggunakan parameter perang.
Dia menilai, ketika penindakan dilakukan dengan pendekatan perang justru akan menimbulkan spiral kekerasan. Menurutnya, TNI yang disiapkan untuk perang tentu mempunyai parameter berbeda dengan penegakkan hukum. Semua ini akan mengalami masalah, utamanya dalam hal pengungkapan jaringan dan pembuktian saat persidangan. “Karena militer dilatih dan dipersiapkan untuk perang maka penanganan teroris jika Perpres disahkan, metodenya akan menggunakan metode perang. Pengungkapan jaringan terorisme dan pembuktian pelaku menjadi problem tersendiri,” jelas Safa’at. (Baca juga: Perpres Tugas TNI Atasi Terorisme Picu Polemik, Begini Reaksi Kapuspen)
Diberitakan sebelumnya, paska penyerahan rancangan perpres tersebut ke DPR yang dilakukan di tengah pandemi Covid 19, muncul berbagai penolakan oleh sejumlah aktivis, akademisi hingga tokoh masyarakat sipil melalui penandatangan petisi bersama menolak rancangan Perpres TNI tersebut.
Sejumlah nama yang ikut menandatangani Petisi Bersama Masyarakat Sipil itu di antaranya, Guru Besar Fisipol UGM Mochtar Mas'oed, Guru Besar FH UGM Sigit Riyanto, Alissa Wahid, putri mendiang Gus Dur, dosen FISIP UI Nur Iman Subono, mantan legislator Nursyahbani Katjasungkana, Komisioner Komnas HAM Choirul Anam, Direktur Riset di Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) Wahyudi Djafar, Usman Hamid, dan dosen Universitas Paramadina Phil Shiskha Prabawaningtyas.
(cip)
tulis komentar anda