Akselerasi Pembangunan Daerah
Senin, 22 November 2021 - 16:48 WIB
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2019, sekitar 80,32% kontribusi wilayah terhadap produk domestik bruto (PDB) nasional masih berasal dari kawasan Barat khususnya Pulau Jawa dan Sumatera. Pulau Jawa, yang mencakup provinsi Banten, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, dan Jawa Timur, masih mendominasi denyut ekonomi Indonesia dengan kontribusi sebesar 59% terhadap PDB nasional.
Angka tersebut kontras dengan Maluku dan Papua yang mencatatkan kontribusi terendah terhadap PDB nasional yakni hanya sebesar 2,24%, dengan pertumbuhan mengalami kontraksi atau minus 7,4%. Selain itu, ketimpangan yang ditandai dengan Rasio Gini menunjukkan adanya peningkatan dari 0.350 di tahun 1965 menjadi 0.381 di tahun 2020.
Baca juga: Dipimpin Wapres, Gubernur Jabar Hadiri Peringatan Hari Otonomi Daerah XXV 2021
Perubahan UU dan Langkah Perbaikan
Indonesia merupakan negara kepulauan yang tersebar dari Sabang hingga Merauke dengan keaneragaman yang sangat besar. Pengalaman beberapa negara lain menunjukkan bahwa kebijakan otonomi daerah mampu menyelesaikan problematika ketimpangan, di mana perlibatan daerah dalam mengatur dan melaksanakan pembangunan mendapatkan porsi lebih besar sehingga dapat tercipta penataan kebijakan daerah yang efektif dan selaras dengan kebutuhan daerah tersebut.
Setelah lebih dari 20 tahun berlalu dan melewati proses pembelajaran yang tak singkat, kini saatnya Indonesia membutuhkan perubahan kebijakan dalam otonomi daerah yang berorientasi pada kinerja dan perbaikan kapasitas daerah dalam meningkatkan pelayanan publik dan kesejahteraan masyarakat. Saat ini pemerintah sedang melakukan perubahan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah termasuk UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak dan Retribusi Daerah dengan mengusulkan pembentukan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (HKPD).
Rancangan Undang-Undang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah (RUU HKPD) merupakan dukungan dan penguatan atas pelaksanaan desentralisasi fiskal yang berorientasi pada peningkatan kualitas belanja daerah, optimalisasi pencapaian kinerja daerah dalam meningkatkan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat melalui sinergi kolaborasi mendukung pembangunan nasional, dan peningkatan kapasitas perpajakan daerah.
RUU HKPD didesain untuk mendorong upaya pengalokasian sumber daya nasional yang efektif dan efisien melalui hubungan keuangan pusat dan daerah yang transparan, akuntabel dan berkeadilan, guna mewujudkan pemerataan kesejahteraan masyarakat di seluruh pelosok Indonesia. RUU HKPD mencoba mengintegrasikan peraturan terkait perimbangan keuangan yang diatur dalam UU Nomor 33 Tahun 2004 dengan peraturan terkait pajak daerah dan retribusi daerah dalam UU Nomor 28 Tahun 2009.
Terdapat empat pilar dalam kebijakan RUU HKPD. Pilar pertama adalah ketimpangan vertikal dan horizontal yang kian menunjukkan tren penurunan. Pemerintah akan reformulasi dana alokasi umum (DAU) dengan presisi ukuran kebutuhan yang lebih tinggi, dana alokasi khusus (DAK) yang fokus untuk prioritas nasional, dan perluasan skema pembiayaan daerah secara terkendali dan hati-hati.
Angka tersebut kontras dengan Maluku dan Papua yang mencatatkan kontribusi terendah terhadap PDB nasional yakni hanya sebesar 2,24%, dengan pertumbuhan mengalami kontraksi atau minus 7,4%. Selain itu, ketimpangan yang ditandai dengan Rasio Gini menunjukkan adanya peningkatan dari 0.350 di tahun 1965 menjadi 0.381 di tahun 2020.
Baca juga: Dipimpin Wapres, Gubernur Jabar Hadiri Peringatan Hari Otonomi Daerah XXV 2021
Perubahan UU dan Langkah Perbaikan
Indonesia merupakan negara kepulauan yang tersebar dari Sabang hingga Merauke dengan keaneragaman yang sangat besar. Pengalaman beberapa negara lain menunjukkan bahwa kebijakan otonomi daerah mampu menyelesaikan problematika ketimpangan, di mana perlibatan daerah dalam mengatur dan melaksanakan pembangunan mendapatkan porsi lebih besar sehingga dapat tercipta penataan kebijakan daerah yang efektif dan selaras dengan kebutuhan daerah tersebut.
Setelah lebih dari 20 tahun berlalu dan melewati proses pembelajaran yang tak singkat, kini saatnya Indonesia membutuhkan perubahan kebijakan dalam otonomi daerah yang berorientasi pada kinerja dan perbaikan kapasitas daerah dalam meningkatkan pelayanan publik dan kesejahteraan masyarakat. Saat ini pemerintah sedang melakukan perubahan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah termasuk UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak dan Retribusi Daerah dengan mengusulkan pembentukan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (HKPD).
Rancangan Undang-Undang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah (RUU HKPD) merupakan dukungan dan penguatan atas pelaksanaan desentralisasi fiskal yang berorientasi pada peningkatan kualitas belanja daerah, optimalisasi pencapaian kinerja daerah dalam meningkatkan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat melalui sinergi kolaborasi mendukung pembangunan nasional, dan peningkatan kapasitas perpajakan daerah.
RUU HKPD didesain untuk mendorong upaya pengalokasian sumber daya nasional yang efektif dan efisien melalui hubungan keuangan pusat dan daerah yang transparan, akuntabel dan berkeadilan, guna mewujudkan pemerataan kesejahteraan masyarakat di seluruh pelosok Indonesia. RUU HKPD mencoba mengintegrasikan peraturan terkait perimbangan keuangan yang diatur dalam UU Nomor 33 Tahun 2004 dengan peraturan terkait pajak daerah dan retribusi daerah dalam UU Nomor 28 Tahun 2009.
Terdapat empat pilar dalam kebijakan RUU HKPD. Pilar pertama adalah ketimpangan vertikal dan horizontal yang kian menunjukkan tren penurunan. Pemerintah akan reformulasi dana alokasi umum (DAU) dengan presisi ukuran kebutuhan yang lebih tinggi, dana alokasi khusus (DAK) yang fokus untuk prioritas nasional, dan perluasan skema pembiayaan daerah secara terkendali dan hati-hati.
tulis komentar anda