Pakar Hukum Sebut Ambang Batas Tak Ada dalam Sistem Presidensial
Jum'at, 05 Juni 2020 - 21:24 WIB
JAKARTA - Pro dan kontra presidential threshold (PT) masih terus terjadi. Ini buntut dari putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang dianggap bermasalah. Pakar Hukum Tata Negara Universitas Gadjah Mada (UGM) Zainal Arifin Mochtar mengkritik putusan MK yang menyebutkan penetapan ambang batas pencalonan presiden dan wakilnya sebagai open legal policy dari pembuat undang-undang (UU).
(Baca juga: KPU Pastikan Pasien Corona Akan Dilayani Khusus saat Pilkada)
"Ini ada dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Ini bukan open legal policy. Ini dipilih oleh partai atau gabungan parpol, siapapun yang menjadi peserta pemilu dia boleh mengajukan calon," ujarnya dalam diskusi daring dengan tema Ambang Batas Pilpres dan Ancaman Demokrasi, Jumat (5/6/2020).
(Baca juga: Perludem Desak KPU Tunda Pilkada 2020 atas Persetujuan Pemerintah dan DPR)
Ada ketakutan jika tanpa ambang batas, nantinya calon akan banyak. Zainal mengungkapkan cara menyaringnya dengan verifikasi yang ketat terhadap peserta pemilu. Hak orang untuk membuat partai politik (parpol) tidak dibatasi. Namun, untuk ikut pemilu harus memenuhi syarat-syarat tertentu.
"(Misal) Dia sudah punya rekan jejak yang jelas dengan tugas-tugas parpol, seperti pendidikan politik. Apalagi gejala saat ini pindah-pindah. Diaspora kita, gagal diakomadasi di partai sebelumnya, pindah bikin partai baru. Harus ada prasyarat yang lebih ketat," tuturnya.
MK juga menganggap ambang batas ini untuk menyederhanakan parpol. Zainal tidak mengerti dengan logika yang dibangun MK. Penyederhanaan parpol itu tidak bisa dipaksakan. Di era orde baru pernah melakukan itu melalui fusi partai.
MK menyamakan penyederhanaan parpol dengan koalisi. Dalam sistem presidensial, koalisi membentuk pemerintahan itu sebenarnya tidak diperlukan. Masalahnya, dukungan di parlemen itu penting untuk kestabilan politik.
"Dalam praktiknya membutuhkan untuk menjalakan pemerintahan. Ini dalam konsep politis. Maka, PT tidak ditemukan dimanapun. Amerika tidak ada. Karena tidak dbutuhkan koalisi dalam membentuk pemerintahan," pungkasnya.
Lihat Juga: PDIP Anggap Janggal Hakim PTUN Tak Menerima Gugatan Pencalonan Gibran: Kita Menang Dismissal
(Baca juga: KPU Pastikan Pasien Corona Akan Dilayani Khusus saat Pilkada)
"Ini ada dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Ini bukan open legal policy. Ini dipilih oleh partai atau gabungan parpol, siapapun yang menjadi peserta pemilu dia boleh mengajukan calon," ujarnya dalam diskusi daring dengan tema Ambang Batas Pilpres dan Ancaman Demokrasi, Jumat (5/6/2020).
(Baca juga: Perludem Desak KPU Tunda Pilkada 2020 atas Persetujuan Pemerintah dan DPR)
Ada ketakutan jika tanpa ambang batas, nantinya calon akan banyak. Zainal mengungkapkan cara menyaringnya dengan verifikasi yang ketat terhadap peserta pemilu. Hak orang untuk membuat partai politik (parpol) tidak dibatasi. Namun, untuk ikut pemilu harus memenuhi syarat-syarat tertentu.
"(Misal) Dia sudah punya rekan jejak yang jelas dengan tugas-tugas parpol, seperti pendidikan politik. Apalagi gejala saat ini pindah-pindah. Diaspora kita, gagal diakomadasi di partai sebelumnya, pindah bikin partai baru. Harus ada prasyarat yang lebih ketat," tuturnya.
MK juga menganggap ambang batas ini untuk menyederhanakan parpol. Zainal tidak mengerti dengan logika yang dibangun MK. Penyederhanaan parpol itu tidak bisa dipaksakan. Di era orde baru pernah melakukan itu melalui fusi partai.
MK menyamakan penyederhanaan parpol dengan koalisi. Dalam sistem presidensial, koalisi membentuk pemerintahan itu sebenarnya tidak diperlukan. Masalahnya, dukungan di parlemen itu penting untuk kestabilan politik.
"Dalam praktiknya membutuhkan untuk menjalakan pemerintahan. Ini dalam konsep politis. Maka, PT tidak ditemukan dimanapun. Amerika tidak ada. Karena tidak dbutuhkan koalisi dalam membentuk pemerintahan," pungkasnya.
Lihat Juga: PDIP Anggap Janggal Hakim PTUN Tak Menerima Gugatan Pencalonan Gibran: Kita Menang Dismissal
(maf)
tulis komentar anda