Melacak Jejak Harimau Jawa, Raja Rimba yang Menolak Punah (2)
Jum'at, 12 November 2021 - 05:34 WIB
Dalam sarasehan harimau Jawa di Jember pun merekomendasikan, bahwa hasil penelusuran dan penelitian sejak 1997 hingga 2012 masih menemukan jejak, cakaran, dan kotoran dari Harimau Jawa. Selain itu, banyaknya tertimoni tentang adanya perjumpaan oleh masyarakat terhadap fisik Harimau Jawa.
Untuk melawan pernyataan punah dari IUCN memang tidaklah mudah. Saat ini memang bukan era jejak, tapi era foto. Mereka tidak berani menjawab itu “jejak” kucing besar lainnya (bukan harimau Jawa), atau binatang lainnya. Lalu jejak apa?
baca juga: Wujudkan Nagari Ramah Harimau, BKSDA Sumbar Bentuk Tim Pagari di Agam
Nyoto Santoso, dosen Fakultas Kehutanan IPB, dalam opininya di Koran SINDO, 2017, berjudul Harimau Jawa dan Arti Penting Keberadaannya menyatakan, punahnya harimau Jawa dilihat dari aspek total economic value (TEV), kerugiannya akan sangat besar bagi manusia. Ini karena dalam TEV, parameter ekonominya bukan hanya berbasis nilai finansial yang ada saat itu, melainkan juga nilai ekonomi yang ”tidak ada pada saat itu”.
Parameter ekonomi yang ”tidak ada pada saat itu”, antara lain, adalah dampak lingkungan dan masa depan ekosistem akibat kerusakan alam. Karena itu, punahnya harimau berkaitan langsung dengan masalah kerusakan alam tadi.
baca juga: Jual Kulit dan Tengkorak Harimau Sumatera Rp70 Juta, 2 Warga Aceh Tengah Ditangkap
Dengan kata lain, punahnya harimau juga mengindikasikan rusaknya ekosistem, rusaknya suhu bumi (global warming), dan rusaknya biodiversitas (keanekaragaman hayati). Itulah sebabnya keberadaan mbah Loreng Jawa tersebut dirindukan kalangan konservasionis dan environmentalis.
Dalam kaitan ini, tampaknya perlu riset lebih mendalam dan komprehensif untuk meyakinkan dunia—apakah harimau Sumatera memang masih ada atau sudah punah. Bukan apa-apa, soalnya kesaksian masyarakat dan pengamat langsung yang bersentuhan dengan alam liar atau hutan belukar sering berbeda dengan pendapat para ilmuwan yang berada di menara gading.
Untuk melawan pernyataan punah dari IUCN memang tidaklah mudah. Saat ini memang bukan era jejak, tapi era foto. Mereka tidak berani menjawab itu “jejak” kucing besar lainnya (bukan harimau Jawa), atau binatang lainnya. Lalu jejak apa?
baca juga: Wujudkan Nagari Ramah Harimau, BKSDA Sumbar Bentuk Tim Pagari di Agam
Nyoto Santoso, dosen Fakultas Kehutanan IPB, dalam opininya di Koran SINDO, 2017, berjudul Harimau Jawa dan Arti Penting Keberadaannya menyatakan, punahnya harimau Jawa dilihat dari aspek total economic value (TEV), kerugiannya akan sangat besar bagi manusia. Ini karena dalam TEV, parameter ekonominya bukan hanya berbasis nilai finansial yang ada saat itu, melainkan juga nilai ekonomi yang ”tidak ada pada saat itu”.
Parameter ekonomi yang ”tidak ada pada saat itu”, antara lain, adalah dampak lingkungan dan masa depan ekosistem akibat kerusakan alam. Karena itu, punahnya harimau berkaitan langsung dengan masalah kerusakan alam tadi.
baca juga: Jual Kulit dan Tengkorak Harimau Sumatera Rp70 Juta, 2 Warga Aceh Tengah Ditangkap
Dengan kata lain, punahnya harimau juga mengindikasikan rusaknya ekosistem, rusaknya suhu bumi (global warming), dan rusaknya biodiversitas (keanekaragaman hayati). Itulah sebabnya keberadaan mbah Loreng Jawa tersebut dirindukan kalangan konservasionis dan environmentalis.
Dalam kaitan ini, tampaknya perlu riset lebih mendalam dan komprehensif untuk meyakinkan dunia—apakah harimau Sumatera memang masih ada atau sudah punah. Bukan apa-apa, soalnya kesaksian masyarakat dan pengamat langsung yang bersentuhan dengan alam liar atau hutan belukar sering berbeda dengan pendapat para ilmuwan yang berada di menara gading.
(hdr)
tulis komentar anda