Melacak Jejak Harimau Jawa, Raja Rimba yang Menolak Punah (2)

Jum'at, 12 November 2021 - 05:34 WIB
loading...
Melacak Jejak Harimau...
IUCN (1996) secara resmi menyatakan bahwa Harimau Jawa telah punah. Namun, pada 25 Agustus 2017, Harimau Jawa tertangkap kamera petugas Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK), Kabupaten Pandeglang. foto ilustrasi
A A A
JAKARTA - Perburuan dan beralihnya fungsi hutan akibat pembukaan lahan skala besar yang dilakukan manusia, menyebabkan ruang hidup harimau Jawa(Panthera tigris sondaica) semakin terdesak. Nasib sang Raja Rimba pun kian tak pasti dan hingga kini masih menjadi misteri.

baca juga: Melacak Jejak Harimau Jawa, Raja Rimba yang Menolak Punah (1)

Sebagian ahli satwa liar meyakini Taman Nasional Meru Betiri di Jawa Timur sebagai habitat terakhir bagi Harimau Jawa. Pada awal 1990-an, TN Meru Betiri yang didukung WWF Indonesia berinisiatif memasang kamera jebak (camera trap) untuk memastikan Harimau Jawa yang masih tersisa. Kamera Jebak pun di pasang di 19 titik yang diduga menjadi daerah perlintasan harimau Jawa.

Pemantauan dilakukan selama setahun penuh dari Maret 1993 hingga Maret 1994. Survei juga dilakukan terhadap jejak dan kotoran (faeces) yang ditinggalkan Harimau Jawa. Hasil pemantauan selama setahun tersebut, tak satu pun foto dan jejak Harimau Jawa berhasil ditemukan.

Bahkan, berdasarkan hasil survei tersebut, IUCN (1996) secara resmi menyatakan bahwa Harimau Jawa telah punah dari muka bumi untuk selamanya. Namun, pada 25 Agustus 2017, Harimau Jawa tertangkap kamera petugas Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK), Kabupaten Pandeglang.

baca juga: Harimau Jawa Tak Muncul, BKSDA Tarik Kamera Pengintai di Lereng Wilis Tulungagung

Petugas menduga itu adalah Harimau Jawa karena Taman Nasional Ujung Kulon merupakan habitat kucing besar tersebut. Pada 1950-an, ketika populasi Harimau Jawa hanya tinggal 25 ekor, kira-kira 13 ekor berada di Taman Nasional Ujung Kulon.

Dr Gono Semiadi, Peneliti Mamalia (Bidang Zoologi Pusat Penelitian Biologi-LIPI), dalam artikelnya Harimau Jawa: Dimanakah Dirimu (2014), menyatakan Harimau, pada intinya akan hidup dengan baik dan alami apabila cukup tutupan hutannya, tersedia air dan makanan. Untuk Harimau Jawa, habitat hidupnya dapat mencapai pada wilayah yang cukup tinggi curah hujannya.

Kepunahan dari harimau Indonesia dimulai dari punahnya harimau bali dan dilanjutkan dengan harimau Jawa. Masa kini, ancaman punah ini mulai mengintip pada Harimau Sumatera dan berharap hal tersebut tidak akan terjadi.

baca juga: Upaya BKSDA Blitar Melacak 'Sang Legenda' Harimau Jawa di Lereng Wilis

Konsep punah secara ilmiah telah bergeser dari suatu katagorik generik, yang berlaku umum menjadi lebih menekankan pada keyakinan ilmiah setelah memperhitungkan banyak pertimbangan. Dahulu suatu jenis satwa dikatakan punah apabila dalam kurun waktu 50 tahun setelah perjumpaan terakhir tidak pernah dijumpai kembali di alam.

Masa kini pernyataan punah ditetapkan manakala dunia ilmiah secara yakin, dengan telah mempertimbangkan berbagai pendekatan keilmuan dan teknik, berpendapat bahwa jenis tersebut memang sudah tidak mungkin lagi hidup di alam bebas.

Didik Raharyono, Peneliti Harimau Jawa dan penulis buku Berkawan Harimau Bersama Alam dalam presentasinya Fakta Harimau Jawa (2014) bahwa terjadi silang pendapat antara masyarakat ilmiah dan masyarakat sekitar hutan. Para ahli menyatakan bahwa Harimau Jawa ini telah punah yang didasarkan pada berbagai hasil penelitian yang tidak pernah menemukan sosok Harimau Jawa ini di alam.

baca juga: Ini Tempat Terakhir di Dunia, di Mana Gajah, Badak, Orangutan dan Harimau Hidup Bersama

Akan tetapi, berdasarkan penuturan masyarakat lokal di sekitar Taman Nasional Meru Betiri menyatakan bahwa masih terjadi perjumpaan dengan harimau loreng di kawasan tersebut. Fakta-fakta tentang keberadaannya dengan materi temuan seperti foto, laporan pembunuhan, sisa pembunuhan, jejak, cakaran dan kotoran menunjukkan informasi awal keberadaan spesies ini.

Wahyu Giri Prasetya dalam presentasinya berjudul “Mengapa Kami Menolak Harimau Jawa Punah” menyebutkan, bahwa harimau Jawa belum bisa dikatakan punah. Dalam materinya, fakta temuan selain dari foto, masih ditemukan. Laporan pembunuhan dan sisa pembunuhan masih terus didapat.

Selain itu, metode pemantauan konvensional dalam upaya melacak jejak harimau Jawa juga ada banyak kelemahan. Contohnya, pemasangan kamera di TN Meru Betiri masih dalam jumlah yang terbatas sekali, dan tidak dilakukan penelitian dalam 2 kali siklus umur secara terus menerus, dan juga lokasi penelitian yang ada masih terbatas di Meru Betiri.

baca juga: Memilukan, Ibu di Riau Saksikan Putrinya Diseret Harimau hingga Tewas

Pada 1974, penelitian Seidensticker dan Sujono di Taman Nasional Meru Betiri (TNMB), Jawa Timur memperkirakan Harimau Jawa tinggal 3-4 ekor. Jika mengacu pada Steidensticker & Soejono, yang menyatakan punah pada 1976 di Suaka Margasatwa Meru Betiri. Maka dengan usia harimau berkisar 25 tahun dikalikan dua kali umur rata-rata maka Harimau Jawa baru bisa dikatakan punah pada 2026. Jadi terlalu dini dan tak kuat dasar pernyataan punah bagi harimau Jawa.

Dalam sarasehan harimau Jawa di Jember pun merekomendasikan, bahwa hasil penelusuran dan penelitian sejak 1997 hingga 2012 masih menemukan jejak, cakaran, dan kotoran dari Harimau Jawa. Selain itu, banyaknya tertimoni tentang adanya perjumpaan oleh masyarakat terhadap fisik Harimau Jawa.

Untuk melawan pernyataan punah dari IUCN memang tidaklah mudah. Saat ini memang bukan era jejak, tapi era foto. Mereka tidak berani menjawab itu “jejak” kucing besar lainnya (bukan harimau Jawa), atau binatang lainnya. Lalu jejak apa?

baca juga: Wujudkan Nagari Ramah Harimau, BKSDA Sumbar Bentuk Tim Pagari di Agam

Nyoto Santoso, dosen Fakultas Kehutanan IPB, dalam opininya di Koran SINDO, 2017, berjudul Harimau Jawa dan Arti Penting Keberadaannya menyatakan, punahnya harimau Jawa dilihat dari aspek total economic value (TEV), kerugiannya akan sangat besar bagi manusia. Ini karena dalam TEV, parameter ekonominya bukan hanya berbasis nilai finansial yang ada saat itu, melainkan juga nilai ekonomi yang ”tidak ada pada saat itu”.

Parameter ekonomi yang ”tidak ada pada saat itu”, antara lain, adalah dampak lingkungan dan masa depan ekosistem akibat kerusakan alam. Karena itu, punahnya harimau berkaitan langsung dengan masalah kerusakan alam tadi.

baca juga: Jual Kulit dan Tengkorak Harimau Sumatera Rp70 Juta, 2 Warga Aceh Tengah Ditangkap

Dengan kata lain, punahnya harimau juga mengindikasikan rusaknya ekosistem, rusaknya suhu bumi (global warming), dan rusaknya biodiversitas (keanekaragaman hayati). Itulah sebabnya keberadaan mbah Loreng Jawa tersebut dirindukan kalangan konservasionis dan environmentalis.

Dalam kaitan ini, tampaknya perlu riset lebih mendalam dan komprehensif untuk meyakinkan dunia—apakah harimau Sumatera memang masih ada atau sudah punah. Bukan apa-apa, soalnya kesaksian masyarakat dan pengamat langsung yang bersentuhan dengan alam liar atau hutan belukar sering berbeda dengan pendapat para ilmuwan yang berada di menara gading.
(hdr)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1358 seconds (0.1#10.140)