Mafia Peradilan, Bagaimana Modusnya dan Siapa Pelakunya?
Jum'at, 05 Juni 2020 - 14:53 WIB
Perusahaan Kanada sebagai salah satu pemilik saham Asuransi Jiwa Manulife Indonesia (AJMI) meradang lantaran Pengadilan Niaga Jakarta Pusat mengabulkan gugatan PT Dharmala Sakti Sejahtera (DSS) selaku pemegang saham AJMI. AJMI dinyatakan pailit.
Kuasa hukum AJMI Hotma Sitompoel menyesalkan putusan itu. Ia menyatakan, jika yang dimasalahkan adalah kewajiban pembayaran dividen oleh AJMI kepada DSS, seharusnya digugat di pengadilan negeri, bukan pengadilan niaga.
Di balik putusan tersebut, santer disebutkan peran seorang pengacara “piawai” yang tak pernah kalah di pengadilan niaga dalam mengatur susunan majelis hakim untuk keuntungan DSS.
Praktik curang di pengadilan juga marak di pengadilan umum. Sepanjang 2012-2019 Indonesia Corruption Watch mencatat ada 20 hakim yang tersangkut korupsi. Menurut fakta yang terungkap di persidangan mereka menerima suap antara Rp 125 juta-280.000 dolar Singapura.
Nyaris dua dekade kemudian sang pengacara tak terkalahkan itu akhirnya tersandung juga. Lucas, nama si pengacara itu dijatuhi hukuman penjara tujuh tahun dan denda Rp 600 juta subsider 6 bulan kurungan penjara. Ia dinyatakan terbukti bersalah membantu Eddy Sindoro dan merintangi penyidikan KPK atas kasus yang menimpa mantan Presiden Komisaris Lippo Group itu. Ia juga disebut sebagai orang yang menyarankan Eddy Sindoro agar tidak kembali ke Indonesia.
Eddy Sindoro dijerat KPK berkaitan pengurusan perkara di pengadilan. Dia ditetapkan sebagai tersangka sejak 2016 dan kabur ke luar negeri selama dua tahun sebelum menyerahkan diri.
Eddy sudah lebih dulu dijatuhi hukuman empat tahun penjara dan denda Rp 200 juta subsider tiga bulan kurungan oleh Pengadilan Tipikor Jakarta.
Akan halnya Lucas, lantas didiskon dua tahun di tingkat banding. MA menambah korting di tingkat kasasi, sehigga sanksi bagi dia hanya tiga tahun penjara.
Sebelumnya ia juga pernah dilaporkan pengacara dari TPDI (Tim Pembela Demokrasi Indonesia) Petrus Selestinus ke Komisi Pemberantasan Korupsi. Berdasarkan data yang beredar di kalangan wartawan, sejumlah nama pejabat tinggi di Mahkamah Agung, Polri, Komisi Yudisial, telah menerima sejumlah uang Rp25 juta-Rp 1 miliar, dalam penanganan berbagai kasus. Entah mengapa kisah ini tak terdengar ujung pangkalnya.
Begitulah, MA sebagai benteng peradilan terakhir nyatanya tak bisa mengawal hukum dengan baik. Contoh paling miris dari lemahnya MA adalah Peninjauan kembali bagi terpidana korupsi Sujiono Timan dalam perkara korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Direktur Utama PT Bahana Pembinaan Usaha Indonesia (BPUI) itu dinilai telah merugikan negara sebesar 120 juta dolar AS dan Rp 98,7 juta.
Kuasa hukum AJMI Hotma Sitompoel menyesalkan putusan itu. Ia menyatakan, jika yang dimasalahkan adalah kewajiban pembayaran dividen oleh AJMI kepada DSS, seharusnya digugat di pengadilan negeri, bukan pengadilan niaga.
Di balik putusan tersebut, santer disebutkan peran seorang pengacara “piawai” yang tak pernah kalah di pengadilan niaga dalam mengatur susunan majelis hakim untuk keuntungan DSS.
Praktik curang di pengadilan juga marak di pengadilan umum. Sepanjang 2012-2019 Indonesia Corruption Watch mencatat ada 20 hakim yang tersangkut korupsi. Menurut fakta yang terungkap di persidangan mereka menerima suap antara Rp 125 juta-280.000 dolar Singapura.
Nyaris dua dekade kemudian sang pengacara tak terkalahkan itu akhirnya tersandung juga. Lucas, nama si pengacara itu dijatuhi hukuman penjara tujuh tahun dan denda Rp 600 juta subsider 6 bulan kurungan penjara. Ia dinyatakan terbukti bersalah membantu Eddy Sindoro dan merintangi penyidikan KPK atas kasus yang menimpa mantan Presiden Komisaris Lippo Group itu. Ia juga disebut sebagai orang yang menyarankan Eddy Sindoro agar tidak kembali ke Indonesia.
Eddy Sindoro dijerat KPK berkaitan pengurusan perkara di pengadilan. Dia ditetapkan sebagai tersangka sejak 2016 dan kabur ke luar negeri selama dua tahun sebelum menyerahkan diri.
Eddy sudah lebih dulu dijatuhi hukuman empat tahun penjara dan denda Rp 200 juta subsider tiga bulan kurungan oleh Pengadilan Tipikor Jakarta.
Akan halnya Lucas, lantas didiskon dua tahun di tingkat banding. MA menambah korting di tingkat kasasi, sehigga sanksi bagi dia hanya tiga tahun penjara.
Sebelumnya ia juga pernah dilaporkan pengacara dari TPDI (Tim Pembela Demokrasi Indonesia) Petrus Selestinus ke Komisi Pemberantasan Korupsi. Berdasarkan data yang beredar di kalangan wartawan, sejumlah nama pejabat tinggi di Mahkamah Agung, Polri, Komisi Yudisial, telah menerima sejumlah uang Rp25 juta-Rp 1 miliar, dalam penanganan berbagai kasus. Entah mengapa kisah ini tak terdengar ujung pangkalnya.
Begitulah, MA sebagai benteng peradilan terakhir nyatanya tak bisa mengawal hukum dengan baik. Contoh paling miris dari lemahnya MA adalah Peninjauan kembali bagi terpidana korupsi Sujiono Timan dalam perkara korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Direktur Utama PT Bahana Pembinaan Usaha Indonesia (BPUI) itu dinilai telah merugikan negara sebesar 120 juta dolar AS dan Rp 98,7 juta.
tulis komentar anda