Mafia Peradilan, Bagaimana Modusnya dan Siapa Pelakunya?

Jum'at, 05 Juni 2020 - 14:53 WIB
Salah satunya dengan membenahi pengadilan. Lewat Bank Pembangunan Asia, IMF lantas mengucurkan sejumlah dana untuk melakukan komputerisasi di pengadilan.

Komputerisasi bak angin segar di tengah sumpeknya dunia hukum kita. Masyarakat dapat dengan mudah untuk mengetahui jadwal, sidang, susunan majelis hakim, nomer perkara dan segala tetek bengek yang menyangkut perkaranya.

Wartawan pun sangat terbantu dengan kehadiran fasilitas itu. Mereka tak perlu lagi merogoh kocek pribadi untuk mendapatkan informasi yang bersifat terbuka itu dari panitera.

Apa hendak dikata, fasilitas itu hanya berjalan dalam hitungan bulan. Begitu komputer mengalami masalah, langsung dipindahkan ke gudang. Padahal apa sulitnya mereparasi komputer jika memang punya niat baik. Buntutnya para penegak hukum kembali bebas berhubungan langsung dengan masyarakat yang diwakili oleh pengacara.

Tujuan komputerisasi adalah mengurangi tatap muka antara pencari keadilan dan aparat hukum yang selama ini ditengarai sebagai awal dari pengaturan demi keuntungan salah satu pihak yang berperkara.

Tak heran jika ada kelompok pengacara yang menjamin perkaranya menang di pengadilan. Dan ada yang sesumbar, meski kalah di pengadilan tingkat pertama dan banding, dia akan memang di kasasi. Caranya, apalagi kalau bukan punya kedekatan dengan orang-orang di lembaga peradilan. Ini juga berlaku di tingkat penyidikan oleh polisi maupun jaksa.

Pada masa-masa itu bisa dibilang titik nadir bagi dunia hukum kita. Kejaksaan yang dipercaya menangani perkara korupsi malah tak malu-malu mengobral Surat Penghentian Penyidikan Perkara (SP 3) dan surat keterangan sakit bagi tersangka.

Kalaupun seorang tersangka akhirnya dimajukan ke meja hijau, hakim-hakim di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan –sesuai domisili para tersangka korupsi pada umumnya—terkenal sangat murah hati. Nyaris semua tersangka diberi setempel bebas.

Surat keterangan sakit paling kondang tentu saja yang diperuntukkan bagi pengusaha Syamsul Nursalim. Konglomerat yang tercatat sebagai obligor Rp 28 triliun itu hanya satu malam menjalani penahanan di sel Kejaksaan Agung. Berbekal surat izin berobat itu, ia langsung kabur ke Singapura. Danhingga kini ia tak ketahuan rimbanya.

Faktanya hingga satu dekade kemudian kejaksaan masih saja menjadikan Syamsul sebagai komoditi. Ini terbukti dari tertangkapnya Jaksa Urip Tri Gunawan menerima suap Rp 6 miiar dari orang kepercayaan Syamsul, Artalita Suryani. Saat dicokok, Urip baru seminggu dinobatkan sebagai satu dari 40 jaksa terbaik Kejaksaan Agung.
Dapatkan berita terbaru, follow WhatsApp Channel SINDOnews sekarang juga!
Halaman :
tulis komentar anda
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More