Mafia Peradilan, Bagaimana Modusnya dan Siapa Pelakunya?

Jum'at, 05 Juni 2020 - 14:53 WIB
Mantan Sekretaris MA Nurhadi
JAKARTA - Sepandai-pandainya Nurhadi bersembunyi akhirnya tertangkap juga. Bekas Sekretaris Mahkamah Agung yang telah diburu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) selama empat bulan diringkus Senin petang (1/6) lalu di Jalan Simprug Golf 17 nomor 1, Kebayoran Lama, Jakarta.

Ia ditangkap di salah satu kamar, sedangkan Rezky Herbiyono, menantunya, dicokok di kamar lainnnya.

KPK menetapkan Nurhadi dan menantunya sebagai tersangka suap dan gratifikasi memainkan sejumlah perkara di Mahkamah Agung sejak 6 Desember 2019. Keduanya dituding menerima suap berupa 9 lembar cek dari PT Multicon Indrajaya Terminal dan duit Rp 46 miliar.

Selain mereka, KPK juga menjerat Direktur PT Multicon Indrajaya Terminal Hiendra Soenjoto dengan pasal pemberi suap

Dalam keterangan pers, Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron mengatakan penyidik KPK mencari keberadaan Nurhadi hingga ke 13 lokasi. "Semua lokasi itu digeledah dan diperiksa setelah KPK mendapat informasi bahwa Nurhadi berada di sana," kata Ghufron sehari setelah penangkapan yang dikomandani penyidik senior Novel Baswedan.



Penangkapan Nurhadi hendaknya menjadi momentum untuk memperbaiki lembaga peradilan. Tentu saja ini harus dimulai dari proses rekrutmen hakim. Jangan sampai rekrutmen hakim diwarnai KKN (korupsi, kolusi, nepotisme). Proses yang penuh kecurangan niscaya hanya akan menghasilkan hakim korup, alih-alih pengadil yang berintegritas dan berjiwa negarawan.

Diringkusnya “orang kuat” MA itu juga harus diikuti dengan memberantas isu yang selama ini menggelayuti dunia peradilan, yakni mafia peradilan.

Jejaring hitam ini muncul akibat kedekatan antara pencari keadilan dengan aparat penegak hukum. Kedekatan yang memang sengaja diciptakan itu berujung pada hasil persidangan. Barangsiapa memiliki kedekatan dengan penegak hukum tentu saja dia akan diuntungkan.

Sesungguhnya lebih dari 20 tahun lampau, pengadilan kita telah mendapat resep dari IMF untuk membatasi pertemuan antara pencari keadilan dengan aparat. Itu tercantum dalam salah satu syarat pemulihan ekonomi Indonesia yang dilanda krisis.

Salah satunya dengan membenahi pengadilan. Lewat Bank Pembangunan Asia, IMF lantas mengucurkan sejumlah dana untuk melakukan komputerisasi di pengadilan.

Komputerisasi bak angin segar di tengah sumpeknya dunia hukum kita. Masyarakat dapat dengan mudah untuk mengetahui jadwal, sidang, susunan majelis hakim, nomer perkara dan segala tetek bengek yang menyangkut perkaranya.

Wartawan pun sangat terbantu dengan kehadiran fasilitas itu. Mereka tak perlu lagi merogoh kocek pribadi untuk mendapatkan informasi yang bersifat terbuka itu dari panitera.

Apa hendak dikata, fasilitas itu hanya berjalan dalam hitungan bulan. Begitu komputer mengalami masalah, langsung dipindahkan ke gudang. Padahal apa sulitnya mereparasi komputer jika memang punya niat baik. Buntutnya para penegak hukum kembali bebas berhubungan langsung dengan masyarakat yang diwakili oleh pengacara.

Tujuan komputerisasi adalah mengurangi tatap muka antara pencari keadilan dan aparat hukum yang selama ini ditengarai sebagai awal dari pengaturan demi keuntungan salah satu pihak yang berperkara.

Tak heran jika ada kelompok pengacara yang menjamin perkaranya menang di pengadilan. Dan ada yang sesumbar, meski kalah di pengadilan tingkat pertama dan banding, dia akan memang di kasasi. Caranya, apalagi kalau bukan punya kedekatan dengan orang-orang di lembaga peradilan. Ini juga berlaku di tingkat penyidikan oleh polisi maupun jaksa.

Pada masa-masa itu bisa dibilang titik nadir bagi dunia hukum kita. Kejaksaan yang dipercaya menangani perkara korupsi malah tak malu-malu mengobral Surat Penghentian Penyidikan Perkara (SP 3) dan surat keterangan sakit bagi tersangka.

Kalaupun seorang tersangka akhirnya dimajukan ke meja hijau, hakim-hakim di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan –sesuai domisili para tersangka korupsi pada umumnya—terkenal sangat murah hati. Nyaris semua tersangka diberi setempel bebas.

Surat keterangan sakit paling kondang tentu saja yang diperuntukkan bagi pengusaha Syamsul Nursalim. Konglomerat yang tercatat sebagai obligor Rp 28 triliun itu hanya satu malam menjalani penahanan di sel Kejaksaan Agung. Berbekal surat izin berobat itu, ia langsung kabur ke Singapura. Danhingga kini ia tak ketahuan rimbanya.

Faktanya hingga satu dekade kemudian kejaksaan masih saja menjadikan Syamsul sebagai komoditi. Ini terbukti dari tertangkapnya Jaksa Urip Tri Gunawan menerima suap Rp 6 miiar dari orang kepercayaan Syamsul, Artalita Suryani. Saat dicokok, Urip baru seminggu dinobatkan sebagai satu dari 40 jaksa terbaik Kejaksaan Agung.

Sepanjang tahun 2008-2019 ada 22 orang jaksa yang tertangkap tangan menerima suap. Mereka tersebar di Kejaksaan Agung, Kejaksaan Negeri (Kejari) Tangerang, Kejari Cibinong, Kejari Praya (NTB), Kejari Jawa Barat, Kejari DI Yogyakarta, Kejari Surabaya, Kejari Lampung, Kejari Soe (NTT), Kejari Wamena, Kejaksaan Tinggi (Kejati) Sumatera Barat, Kejati Bengkulu, Kejati DKI, Kejati Bali, Kejati Maluku. Suap yang mereka terima berkisar Rp 100 juta-Rp 6 miliar.

Pada periode awal reformasi itu pula Pengadilan Niaga Jakarta Pusat seolah menjadi panggung atraksi dua pengacara spesialis perkara kepailitan.

Semua klien yang mereka pegang dimenangkan oleh majelis hakim. Hebatnya mereka bisa mendikte susunan majelis hakim. Setiap perkara yang mereka tangani, susunan majelis hakimnya sudah pasti trio itu-itu juga.

Dan modusnya pun persis satu sama lain. Untuk setiap tuntutan pailit, mereka bisa mengadakan kreditur dari negeri antah berantah yang mengklaim memegang salah satu jaminan dari harta milik perusahaan yang dituntut kepailitannya. Anehnya, majelis hakim dengan entengnya mengabulkan klaim tersebut tanpa perlu melakukan verifikasi.
Halaman :
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More