Belajar dari Kasus Nurhadi, Lembaga Peradilan Harus Benahi Internalnya
Selasa, 02 Juni 2020 - 15:20 WIB
JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menangkap mantan Sekretaris Mahkamah Agung (MA) Nurhadi Abdurrachman dan menantunya, Rezky Herbiyono pada Senin (1/6/2020) malam. Keduanya merupakan tersangka kasus dugaan suap dan gratifikasi terkait pengurusan perkara di MA.
Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (MaPPI) Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FH UI) mengapresiasi kinerja KPK atas penangkapan itu. Sebeb, kasus tersebut sudah lama menjadi benalu bagi lembaga antirasuah tersebut.
"Apresiasi buat KPK yang akhirnya menangkap Nurhadi, meskipun harusnya tidak sampai buronan waktu dulu karena penanganannya lambat," tutur peneliti MaPPI Muhammad Rizaldi saat dihubungi SINDOnews, Selasa (2/6/2020). ( ).
Ia mengingatkan KPK agar berhati-hati dalam mengembangkan kasus tersebut sehingga tidak menimbulkan persepsi yang tak tepat terhadap lembaga peradilan. Sebab, bila publik sudah tak percaya hukum, bisa berujung pada aksi main hakim sendiri. "Ini yang harus diantisipasi. Di sisi lain, membongkar kasus ini penting sekali supaya pihak-pihak yang terlibat benar-benar dibersihkan dari organisasi MA," ujarnya.
Selain itu, Rizaldi juga meminta agar lembaga peradilan menjadikan kasus Nurhadi sebagai refleksi. Termasuk ke jajaran internalnya bahwa segala posisi penting di MA sangat rentan diisi oleh pejabat yang korup. "Artinya, sistem pengisian jabatannya harus benar-benar hati-hati dan mempertimbangkan tidak hanya jenjang karir atau senioritas, tapi juga kualitas dan integritas," ujarnya. ( Baca juga: Gantikan Ojek, Bajaj Bisa Jadi Alternatif Transportasi di Era New Normal ).
Sementara dari sisi pengawasan, lanjut dia, MA juga harus bisa menyiapkan aturan internal yang tegas dan mendorong akuntabilitas. Sebagai contoh, mekanisme whistle blowing harus ditingkatkan supaya ada check and balances yang berjalan dengan baik. (Baca juga:
Rizaldi menduga modus korupsi di MA bisa beraneka ragam. Ada yang memang makelar perkara, ada yang jual janji saja. "Jadi si oknum cuma jual omongan saja nanti dimenangkan, atau dia sudah tau kasus nya menang lalu info itu dijual," ujarnya.
Ia pun berharap lembaga peradilan belajar dari kasus Nurhadi dan segera membenahi institusi serta jajaran eksternalnya. Dengan begitu, publik bisa semakin yakin dan percaya dengan penegakan hukum di Indonesia.
Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (MaPPI) Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FH UI) mengapresiasi kinerja KPK atas penangkapan itu. Sebeb, kasus tersebut sudah lama menjadi benalu bagi lembaga antirasuah tersebut.
"Apresiasi buat KPK yang akhirnya menangkap Nurhadi, meskipun harusnya tidak sampai buronan waktu dulu karena penanganannya lambat," tutur peneliti MaPPI Muhammad Rizaldi saat dihubungi SINDOnews, Selasa (2/6/2020). ( ).
Ia mengingatkan KPK agar berhati-hati dalam mengembangkan kasus tersebut sehingga tidak menimbulkan persepsi yang tak tepat terhadap lembaga peradilan. Sebab, bila publik sudah tak percaya hukum, bisa berujung pada aksi main hakim sendiri. "Ini yang harus diantisipasi. Di sisi lain, membongkar kasus ini penting sekali supaya pihak-pihak yang terlibat benar-benar dibersihkan dari organisasi MA," ujarnya.
Selain itu, Rizaldi juga meminta agar lembaga peradilan menjadikan kasus Nurhadi sebagai refleksi. Termasuk ke jajaran internalnya bahwa segala posisi penting di MA sangat rentan diisi oleh pejabat yang korup. "Artinya, sistem pengisian jabatannya harus benar-benar hati-hati dan mempertimbangkan tidak hanya jenjang karir atau senioritas, tapi juga kualitas dan integritas," ujarnya. ( Baca juga: Gantikan Ojek, Bajaj Bisa Jadi Alternatif Transportasi di Era New Normal ).
Sementara dari sisi pengawasan, lanjut dia, MA juga harus bisa menyiapkan aturan internal yang tegas dan mendorong akuntabilitas. Sebagai contoh, mekanisme whistle blowing harus ditingkatkan supaya ada check and balances yang berjalan dengan baik. (Baca juga:
Rizaldi menduga modus korupsi di MA bisa beraneka ragam. Ada yang memang makelar perkara, ada yang jual janji saja. "Jadi si oknum cuma jual omongan saja nanti dimenangkan, atau dia sudah tau kasus nya menang lalu info itu dijual," ujarnya.
Ia pun berharap lembaga peradilan belajar dari kasus Nurhadi dan segera membenahi institusi serta jajaran eksternalnya. Dengan begitu, publik bisa semakin yakin dan percaya dengan penegakan hukum di Indonesia.
(zik)
tulis komentar anda