Mantan Ketua MK Kritik Etika Yusril Ihza Mahendra Gugat AD/ART Partai Demokrat
Minggu, 03 Oktober 2021 - 04:55 WIB
JAKARTA - Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Jimly Asshiddiqie mengkritik etika advokat senior, Yusril Ihza Mahendra yang menggugat atau judicial review (JR) AD/ART Partai Demokrat ke Mahkamah Agung (MA), sementara Yusril sendiri merupakan Ketua Umum Partai Bulan Bintang (PBB).
Mantan Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) ini menjelaskan, partai politik (parpol) merupakan pilar utama dan saluran aspirasi rakyat, yang dalam UUD 1945 juga menjadi peserta pemilu yang mengusung pasangan calon presiden dan calon wakil presiden. Parpol juga lembaga publik yang memiliki aturan internal yakni AD/ART partai, dan jika uji materi ini dikabulkan maka AD/ART partai lain bisa digugat.
"Parpol pilar utama & saluran daulat rakyat & bahkan disebut tegas dalam UUD sebagai peserta pemilu & usung capres. Statusnya juga lembaga publik (negara) dalam arti luas yang punya aturan internal AD sebagai pelaksana UU. Meski tidak disebut perundang-undangan, putusan JR bisa jadi inovasi baru. Kalau dikabulkan, JR AD parpol lain juga bisa," cuit Jimly di akunnya @JimlyAs dikutip Minggu (3/10/2021).
Tapi, anggota DPD RI ini mengingatkan demi tegaknya hukum dan keadilan, maka etika bernegara juga harus beriringan. Meskipun UU tidak melarang secara eksplisit seorang advokat menjadi ketum partai, tetap sulit diterima dari sisi etika kepantasan, apalagi menggugat AD/ART parpol lain.
"Tapi perlu diingat juga tegaknya hukum & keadilan harus seiring dengan tegaknya etika bernegara. Meski UU tidak explisit larang advokat jadi ketum parpol, tapi etika kepantasan sulit terima, apalagi mau persoalkan AD Parpol orang lain. Meski hukum selalu mesti tertulis, kepantasan & baik-buruk bisa cukup dengan sense of ethics," tulisnya lagi.
Namun demikian, parpol sebagai lembaga negara dalam artian yang luas yang diatur dalam konstitusi, maka AD/ART parpol sebagai peraturan pelaksana atas delegasi UU, maka tidak boleh melanggar UU. Pengadilan harus bisa menilai itu dan itu tergantung hakimnya.
"Parpol juga lembaga negara dalam arti luas, status & perannya ada di UUD. Apalagi kalau jadi dibiayai APBN, pasti jadi objek pemeriksaan BPK (Badan Pemeriksa Keuangan). Maka AD parpol sebagai implementing regulation kewenangan ngatur atas delegasi UU, tidak boleh langgar UU. Pengadilan harus bisa nilai hal ini, tentu tergntung hakimnya," tegas Jimly.
"Lembaga negara dalam arti luas itu bisa disebut juga lembaga publik yang sangat penting sehingga harus diatur dalam UUD 45. Maka status parpol sekarang bukan lagi cuma bdn hukum privat yang biasa dipahami, tapi juga badan hukum publik dengan tanggung jawab politik kenegaraan. Wewenangnya untuk ngatur materi AD juga ditentukan UU," tambahnya.
Mantan Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) ini menjelaskan, partai politik (parpol) merupakan pilar utama dan saluran aspirasi rakyat, yang dalam UUD 1945 juga menjadi peserta pemilu yang mengusung pasangan calon presiden dan calon wakil presiden. Parpol juga lembaga publik yang memiliki aturan internal yakni AD/ART partai, dan jika uji materi ini dikabulkan maka AD/ART partai lain bisa digugat.
"Parpol pilar utama & saluran daulat rakyat & bahkan disebut tegas dalam UUD sebagai peserta pemilu & usung capres. Statusnya juga lembaga publik (negara) dalam arti luas yang punya aturan internal AD sebagai pelaksana UU. Meski tidak disebut perundang-undangan, putusan JR bisa jadi inovasi baru. Kalau dikabulkan, JR AD parpol lain juga bisa," cuit Jimly di akunnya @JimlyAs dikutip Minggu (3/10/2021).
Tapi, anggota DPD RI ini mengingatkan demi tegaknya hukum dan keadilan, maka etika bernegara juga harus beriringan. Meskipun UU tidak melarang secara eksplisit seorang advokat menjadi ketum partai, tetap sulit diterima dari sisi etika kepantasan, apalagi menggugat AD/ART parpol lain.
Baca Juga
"Tapi perlu diingat juga tegaknya hukum & keadilan harus seiring dengan tegaknya etika bernegara. Meski UU tidak explisit larang advokat jadi ketum parpol, tapi etika kepantasan sulit terima, apalagi mau persoalkan AD Parpol orang lain. Meski hukum selalu mesti tertulis, kepantasan & baik-buruk bisa cukup dengan sense of ethics," tulisnya lagi.
Namun demikian, parpol sebagai lembaga negara dalam artian yang luas yang diatur dalam konstitusi, maka AD/ART parpol sebagai peraturan pelaksana atas delegasi UU, maka tidak boleh melanggar UU. Pengadilan harus bisa menilai itu dan itu tergantung hakimnya.
"Parpol juga lembaga negara dalam arti luas, status & perannya ada di UUD. Apalagi kalau jadi dibiayai APBN, pasti jadi objek pemeriksaan BPK (Badan Pemeriksa Keuangan). Maka AD parpol sebagai implementing regulation kewenangan ngatur atas delegasi UU, tidak boleh langgar UU. Pengadilan harus bisa nilai hal ini, tentu tergntung hakimnya," tegas Jimly.
"Lembaga negara dalam arti luas itu bisa disebut juga lembaga publik yang sangat penting sehingga harus diatur dalam UUD 45. Maka status parpol sekarang bukan lagi cuma bdn hukum privat yang biasa dipahami, tapi juga badan hukum publik dengan tanggung jawab politik kenegaraan. Wewenangnya untuk ngatur materi AD juga ditentukan UU," tambahnya.
(cip)
Lihat Juga :
tulis komentar anda