Menunggu Roadmap IHT
Senin, 27 September 2021 - 19:15 WIB
Bahkan, meski dalam kondisi pandemi, Cukai Hasil Tembakau (CHT) mampu menjadi oase bagi penerimaan nasional. Di masa pandemi, realisasi penerimaan CHT per Oktober 2020 sebesar Rp134,92 triliun atau naik 10,23% dibandingkan dengan Oktober 2019 lalu. Hal tersebut cukup menunjukkan bahwa kontribusi CHT memiliki
kontribusi yang signifikan bagi perekonomian nasional.
Di sisi lain, pemerintah memiliki target untuk menekan prevalensi perokok dewasa hingga 32,3 – 32,4% dan prevalensi perokok anak-anak dan perokok usia dini (10-18 tahun) hingga 8,7% pada 2024 sesuai RPJMN.
Demi mencapai target pengendalian konsumsi rokok, alhasil kenaikan tarif cukai dan harga rokok terus terjadi hampir setiap tahunnya, termasuk pada tahun 2020 ketika pandemic Covid-19 terjadi dan menekan berbagai lini usaha. Pemerintah melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 152/2019 telah menetapkan bahwa tarif cukai mengalami kenaikan 23% dan HJE 35%.
Tak hanya itu, satu tahun kemudian, melalui PMK 198/2020 pemerintah kembali menaikkan tarif cukai hingga 16% dan rata-rata tertimbang sebesar 12,5% yang berlaku pada 1 Februari 2021. Pemerintah memiliki harapan bahwa kenaikan tarif cukai tersebut dapat menjadi jalan bagi pemerintah untuk menekan prevalensi merokok.
Ironisnya, meski harga rokok terus dinaikkan, fakta menunjukkan bahwa angka prevalensi merokok tidak mengalami perubahan yang signifikan, setidaknya dalam kurun waktu lima tahun (2013-2018). Prevalensi merokok usia dini terus meningkat dari 2013 sebesar 7,2% hingga di tahun 2018 menjadi 9,1% dari jumlah penduduk usia dini di Indonesia.
Di sisi lain, Data riskesdas (2018) menunjukkan bahwa proporsi penduduk usia > 10 tahun di Indonesia dari tahun 2013 hingga 2018 yang mengkonsumsi rokok setiap hari tidak mengalami perubahan sama sekali, yakni sebesar 24,3%. Sedangkan bagi perokok yang mengkonsumsi rokok kadang-kadang, hanya terdapat penurunan tipis selama lima tahun yakni dari 5% (2013) hanya menjadi 4,6% (2018). Data tersebut menunjukkan bahwa kenaikan tarif cukai dan harga rokok yang terus menerus terjadi belum efektif menekan angka prevalensi merokok di Indonesia.
Di lain pihak, fakta justru menunjukkan bahwa dampak dari kenaikan tarif cukai dan harga rokok berdampak langsung pada keberlangsungan IHT. Data menunjukan bahwa penurunan jumlah pabrikan rokok terus terjadi, di mana pada tahun 2007 jumlah pabrikan rokok mencapai 4.793 namun pada tahun 2018 hanya tersisa 456 pabrikan rokok.
Dengan kata lain, hanya tinggal kurang dari 10% saja dari jumlah pabrikan rokok di tahun 2007 yang mampu bertahan sampai saat ini. Selain itu, volume produksi IHT menunjukkan trend penurunan dan juga penurunan pertumbuhan produksi.
Berdasarkan data Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (2020) menunjukkan bahwa sejak 2014, volume produksi IHT terus mengalami penurunan. Bahkan pada tahun 2020 – di masa pandemi – IHT mengalami penurunan volume produksi rokok terbesar dalam delapan tahun terakhir, yakni hingga minus 9,7%.
kontribusi yang signifikan bagi perekonomian nasional.
Di sisi lain, pemerintah memiliki target untuk menekan prevalensi perokok dewasa hingga 32,3 – 32,4% dan prevalensi perokok anak-anak dan perokok usia dini (10-18 tahun) hingga 8,7% pada 2024 sesuai RPJMN.
Demi mencapai target pengendalian konsumsi rokok, alhasil kenaikan tarif cukai dan harga rokok terus terjadi hampir setiap tahunnya, termasuk pada tahun 2020 ketika pandemic Covid-19 terjadi dan menekan berbagai lini usaha. Pemerintah melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 152/2019 telah menetapkan bahwa tarif cukai mengalami kenaikan 23% dan HJE 35%.
Tak hanya itu, satu tahun kemudian, melalui PMK 198/2020 pemerintah kembali menaikkan tarif cukai hingga 16% dan rata-rata tertimbang sebesar 12,5% yang berlaku pada 1 Februari 2021. Pemerintah memiliki harapan bahwa kenaikan tarif cukai tersebut dapat menjadi jalan bagi pemerintah untuk menekan prevalensi merokok.
Ironisnya, meski harga rokok terus dinaikkan, fakta menunjukkan bahwa angka prevalensi merokok tidak mengalami perubahan yang signifikan, setidaknya dalam kurun waktu lima tahun (2013-2018). Prevalensi merokok usia dini terus meningkat dari 2013 sebesar 7,2% hingga di tahun 2018 menjadi 9,1% dari jumlah penduduk usia dini di Indonesia.
Di sisi lain, Data riskesdas (2018) menunjukkan bahwa proporsi penduduk usia > 10 tahun di Indonesia dari tahun 2013 hingga 2018 yang mengkonsumsi rokok setiap hari tidak mengalami perubahan sama sekali, yakni sebesar 24,3%. Sedangkan bagi perokok yang mengkonsumsi rokok kadang-kadang, hanya terdapat penurunan tipis selama lima tahun yakni dari 5% (2013) hanya menjadi 4,6% (2018). Data tersebut menunjukkan bahwa kenaikan tarif cukai dan harga rokok yang terus menerus terjadi belum efektif menekan angka prevalensi merokok di Indonesia.
Di lain pihak, fakta justru menunjukkan bahwa dampak dari kenaikan tarif cukai dan harga rokok berdampak langsung pada keberlangsungan IHT. Data menunjukan bahwa penurunan jumlah pabrikan rokok terus terjadi, di mana pada tahun 2007 jumlah pabrikan rokok mencapai 4.793 namun pada tahun 2018 hanya tersisa 456 pabrikan rokok.
Dengan kata lain, hanya tinggal kurang dari 10% saja dari jumlah pabrikan rokok di tahun 2007 yang mampu bertahan sampai saat ini. Selain itu, volume produksi IHT menunjukkan trend penurunan dan juga penurunan pertumbuhan produksi.
Berdasarkan data Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (2020) menunjukkan bahwa sejak 2014, volume produksi IHT terus mengalami penurunan. Bahkan pada tahun 2020 – di masa pandemi – IHT mengalami penurunan volume produksi rokok terbesar dalam delapan tahun terakhir, yakni hingga minus 9,7%.
tulis komentar anda