Menunggu Roadmap IHT
loading...
A
A
A
Prof Candra Fajri Ananda PhD
Staf Khusus Kementerian Keuangan Republik Indonesia
DI BALIK sejarah besar kretek dan kontribusi signifikannya dalam perekonomian nasional, IHT menyimpan berbagai cerita pro dan kontra dari berbagai sudut pandang yang menyelimutinya. Terlepas dari berbagai perbedaan pandangan yang ada pada IHT, industri tersebut menyimpan sejarah panjang yang tidak bisa dilupakan begitu saja, termasuk dijaga sebagai identitas bangsa.
Jika Amerika memiliki produk rokok putihan, Kuba dikenal di dunia internasional dengan cerutunya, Indonesia tidak salah jika mengangkat kreteknya sebagai rokok asli khazanah Nusantara. Rokok kretek, atau keretek atau kumeretek dan kebiasaan menghisapnya sejatinya adalah warisan budaya dan masih merupakan bangunan peradaban asli hasil kreasi dan inovasi individu-individu maupun kelompok-kelompok masyarakat di wilayah nusantara yang tak terpisahkan dari keseharian masyarakat Indonesia hingga saat ini.
Meskipun kebiasaan menghisap asap tembakau bisa jadi adalah kebiasaan kalangan atas masyarakat Eropa pada abad ke-15, namun dengan berbagai inovasi yang telah dikembangkan menjadikan rokok kretek memiliki kecenderungan kebudayaan lokal Indonesia. Pembeda kebiasaan ini adalah ramuan rempah, saus dan cengkeh yang terkandung di dalam rokok kretek.
Di Indonesia, rokok kretek yang tidak hanya berfungsi sebagai barang yang dihisap untuk penenang dan membangun hubungan sosial, tetapi juga sebagai bagian dari bahan sesaji yang masih banyak dilakukan oleh masyarakat pedesaan, dapat kita temui hampir di seluruh masyarakat pedesaan pulau Jawa. Demikian juga rokok kretek sebagai bagian dari upacara slametan dan acara-acara adat merupakan budaya masyarakat Indonesia.
Efektivitas Kenaikan Harga Rokok
Rokok sebagai produk olahan tanaman tembakau, dalam perkembangan zaman telah menjadi sesuatu yang dilematis di antara sektor ekonomi dan kesehatan. Di sektor ekonomi, tak dapat dipungkiri bahwa selama ini CHT masih mendominasi penerimaan cukai negara.
Data kementerian Keuangan menununjukkan bahwa CHT menyumbang antara 95% hingga 96% dari total penerimaan cukai di Indonesia. Selain itu, seiring dengan kenaikan tarif cukai dan HJE, data juga menunjukkan bahwa penerimaan CHT sepanjang 2019 naik hingga 7,8% menjadi 164,87 Triliun.
Bahkan, meski dalam kondisi pandemi, Cukai Hasil Tembakau (CHT) mampu menjadi oase bagi penerimaan nasional. Di masa pandemi, realisasi penerimaan CHT per Oktober 2020 sebesar Rp134,92 triliun atau naik 10,23% dibandingkan dengan Oktober 2019 lalu. Hal tersebut cukup menunjukkan bahwa kontribusi CHT memiliki
kontribusi yang signifikan bagi perekonomian nasional.
Di sisi lain, pemerintah memiliki target untuk menekan prevalensi perokok dewasa hingga 32,3 – 32,4% dan prevalensi perokok anak-anak dan perokok usia dini (10-18 tahun) hingga 8,7% pada 2024 sesuai RPJMN.
Demi mencapai target pengendalian konsumsi rokok, alhasil kenaikan tarif cukai dan harga rokok terus terjadi hampir setiap tahunnya, termasuk pada tahun 2020 ketika pandemic Covid-19 terjadi dan menekan berbagai lini usaha. Pemerintah melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 152/2019 telah menetapkan bahwa tarif cukai mengalami kenaikan 23% dan HJE 35%.
Tak hanya itu, satu tahun kemudian, melalui PMK 198/2020 pemerintah kembali menaikkan tarif cukai hingga 16% dan rata-rata tertimbang sebesar 12,5% yang berlaku pada 1 Februari 2021. Pemerintah memiliki harapan bahwa kenaikan tarif cukai tersebut dapat menjadi jalan bagi pemerintah untuk menekan prevalensi merokok.
Ironisnya, meski harga rokok terus dinaikkan, fakta menunjukkan bahwa angka prevalensi merokok tidak mengalami perubahan yang signifikan, setidaknya dalam kurun waktu lima tahun (2013-2018). Prevalensi merokok usia dini terus meningkat dari 2013 sebesar 7,2% hingga di tahun 2018 menjadi 9,1% dari jumlah penduduk usia dini di Indonesia.
Di sisi lain, Data riskesdas (2018) menunjukkan bahwa proporsi penduduk usia > 10 tahun di Indonesia dari tahun 2013 hingga 2018 yang mengkonsumsi rokok setiap hari tidak mengalami perubahan sama sekali, yakni sebesar 24,3%. Sedangkan bagi perokok yang mengkonsumsi rokok kadang-kadang, hanya terdapat penurunan tipis selama lima tahun yakni dari 5% (2013) hanya menjadi 4,6% (2018). Data tersebut menunjukkan bahwa kenaikan tarif cukai dan harga rokok yang terus menerus terjadi belum efektif menekan angka prevalensi merokok di Indonesia.
Di lain pihak, fakta justru menunjukkan bahwa dampak dari kenaikan tarif cukai dan harga rokok berdampak langsung pada keberlangsungan IHT. Data menunjukan bahwa penurunan jumlah pabrikan rokok terus terjadi, di mana pada tahun 2007 jumlah pabrikan rokok mencapai 4.793 namun pada tahun 2018 hanya tersisa 456 pabrikan rokok.
Dengan kata lain, hanya tinggal kurang dari 10% saja dari jumlah pabrikan rokok di tahun 2007 yang mampu bertahan sampai saat ini. Selain itu, volume produksi IHT menunjukkan trend penurunan dan juga penurunan pertumbuhan produksi.
Berdasarkan data Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (2020) menunjukkan bahwa sejak 2014, volume produksi IHT terus mengalami penurunan. Bahkan pada tahun 2020 – di masa pandemi – IHT mengalami penurunan volume produksi rokok terbesar dalam delapan tahun terakhir, yakni hingga minus 9,7%.
Salah satu tantangan terbesar IHT selain kebijakan cukai ialah tentang besarnya peredaran rokok ilegal. Jika ditelaah lebih lanjut, peredaran rokok ilegal tidak hanya terjadi di Indonesia melainkan juga terjadi di beberapa negara lainnya. Adapun besarnya peredaran rokok ilegal di Indonesia maupun di dunia merupakan efek domino yang timbul akibat kenaikan tarif cukai dan harga rokok yang terus menerus terjadi.
Salah satu penyebab tingginya peredaran rokok ilegal adalah untuk memenuhi permintaan dari masyarakat. Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa kenaikan tarif cukai dapat memberikan dampak yang signifikan terhadap peredaran rokok ilegal.
Perokok dengan pendapatan yang lebih rendah cenderung untuk membeli rokok ilegal sebagai kompensasi atas kenaikan harga rokok akibat kenaikan tarif cukai. Oleh sebab itu, menjadi sebuah keniscayaan ketika kenaikan tarif cukai dan harga rokok terus terjadi namun prevalensi angka merokok belum juga dapat ditekan.
Roadmap IHT Sebagai Solusi Berkeadilan
Kebijakan cukai sangat berpengaruh terhadap kinerja IHT legal namun tidak menyasar rokok ilegal. Dari data DJBC, tarif cukai hasil tembakau telah melewati titik optimum untuk menghasilkan penerimaan. Sehingga, kebijakan tarif cukai hasil tembakau hanya berdampak pada berkurangnya produksi rokok legal, namun tidak dapat menurunkan konsumsi secara agregat, mengingat masih adanya peredaran rokok ilegal.
Merujuk pada 4 arahan kebijakan cukai hasil tembakau yang disampaikan Presiden Joko Widodo dalam rapat internal pada 20 Oktober 2020 lalu menyebutkan bahwa memperhatikan keberlangsungan industri dalam negeri menjadi prioritas di samping memberikan perhatian juga pada perlindungan kesehatan bagi masyarakat dengan pengendalian konsumsi rokok. Keberlangsungan industri dalam negeri juga menjadi pertimbangan mengingat besarnya multiplier effect yang dimiliki IHT di sektor ekonomi.
Setidaknya terdapat enam juta manusia yang masih menggantungkan nasib di sektor pertembakauan. Selain itu, dalam arahan Presiden tersebut juga disampaikan bahwa perlu memperhatikan penerimaan negara, mengingat pendapatan CHT dapat mendukung program pembangunan nasional melalui penerimaan negara. Selanjutnya, Presiden juga memberikan arahan terkait pencegahan rokok ilegal yang dipengaruhi oleh harga rokok.
Saat ini, penyusunan peta jalan (roadmap) IHT yang komprehensif dengan mempertimbangkan aspek kesehatan, ekonomi, pendapatan negara, tenaga kerja, pertanian, serta menjaga kelestarian budaya mendesak untuk segera dilakukan pemerintah. Kepastian tarif dan kebijakan CHT sangat diperlukan mengingat rantai produksi-distribusi usaha yang melibatkan banyak pihak dari petani, pabrik, buruh, distribusi, logistik, hingga pengecer warung.
Di sisi lain, pemerintah juga perlu membangun komitmen melestarikan tembakau, rokok kretek, dan pengembangan IHT berbasis sumber daya lokal yang mampu mengaktualisasikan, menjaga nilai-nilai sosial budaya, dan kearifan lokal bangsa Indonesia. Kini para stakeholders di sektor IHT perlu duduk bersama untuk menyelaraskan pemikiran dengan mengutamakan prinsip partisipatif, terbuka, dan holistik agar terciptanya kebijakan cukai hasil tembakau (CHT) yang lebih deliberatif, inklusif, dan mengedepankan persaingan usaha yang sehat.
Harmonisasi regulasi penting untuk kelangsungan IHT dan memberi arah yang jelas bagi seluruh stakeholders IHT. Roadmap adalah solusi yang dapat menjadi guidance para pengambil kebijakan, sehingga kebijakan-kebijakan terkait cukai IHT ke depan memberikan rasa keadilan dan tetap menjaga kesinambungan IHT. Semoga.
Staf Khusus Kementerian Keuangan Republik Indonesia
DI BALIK sejarah besar kretek dan kontribusi signifikannya dalam perekonomian nasional, IHT menyimpan berbagai cerita pro dan kontra dari berbagai sudut pandang yang menyelimutinya. Terlepas dari berbagai perbedaan pandangan yang ada pada IHT, industri tersebut menyimpan sejarah panjang yang tidak bisa dilupakan begitu saja, termasuk dijaga sebagai identitas bangsa.
Jika Amerika memiliki produk rokok putihan, Kuba dikenal di dunia internasional dengan cerutunya, Indonesia tidak salah jika mengangkat kreteknya sebagai rokok asli khazanah Nusantara. Rokok kretek, atau keretek atau kumeretek dan kebiasaan menghisapnya sejatinya adalah warisan budaya dan masih merupakan bangunan peradaban asli hasil kreasi dan inovasi individu-individu maupun kelompok-kelompok masyarakat di wilayah nusantara yang tak terpisahkan dari keseharian masyarakat Indonesia hingga saat ini.
Meskipun kebiasaan menghisap asap tembakau bisa jadi adalah kebiasaan kalangan atas masyarakat Eropa pada abad ke-15, namun dengan berbagai inovasi yang telah dikembangkan menjadikan rokok kretek memiliki kecenderungan kebudayaan lokal Indonesia. Pembeda kebiasaan ini adalah ramuan rempah, saus dan cengkeh yang terkandung di dalam rokok kretek.
Di Indonesia, rokok kretek yang tidak hanya berfungsi sebagai barang yang dihisap untuk penenang dan membangun hubungan sosial, tetapi juga sebagai bagian dari bahan sesaji yang masih banyak dilakukan oleh masyarakat pedesaan, dapat kita temui hampir di seluruh masyarakat pedesaan pulau Jawa. Demikian juga rokok kretek sebagai bagian dari upacara slametan dan acara-acara adat merupakan budaya masyarakat Indonesia.
Efektivitas Kenaikan Harga Rokok
Rokok sebagai produk olahan tanaman tembakau, dalam perkembangan zaman telah menjadi sesuatu yang dilematis di antara sektor ekonomi dan kesehatan. Di sektor ekonomi, tak dapat dipungkiri bahwa selama ini CHT masih mendominasi penerimaan cukai negara.
Data kementerian Keuangan menununjukkan bahwa CHT menyumbang antara 95% hingga 96% dari total penerimaan cukai di Indonesia. Selain itu, seiring dengan kenaikan tarif cukai dan HJE, data juga menunjukkan bahwa penerimaan CHT sepanjang 2019 naik hingga 7,8% menjadi 164,87 Triliun.
Bahkan, meski dalam kondisi pandemi, Cukai Hasil Tembakau (CHT) mampu menjadi oase bagi penerimaan nasional. Di masa pandemi, realisasi penerimaan CHT per Oktober 2020 sebesar Rp134,92 triliun atau naik 10,23% dibandingkan dengan Oktober 2019 lalu. Hal tersebut cukup menunjukkan bahwa kontribusi CHT memiliki
kontribusi yang signifikan bagi perekonomian nasional.
Di sisi lain, pemerintah memiliki target untuk menekan prevalensi perokok dewasa hingga 32,3 – 32,4% dan prevalensi perokok anak-anak dan perokok usia dini (10-18 tahun) hingga 8,7% pada 2024 sesuai RPJMN.
Demi mencapai target pengendalian konsumsi rokok, alhasil kenaikan tarif cukai dan harga rokok terus terjadi hampir setiap tahunnya, termasuk pada tahun 2020 ketika pandemic Covid-19 terjadi dan menekan berbagai lini usaha. Pemerintah melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 152/2019 telah menetapkan bahwa tarif cukai mengalami kenaikan 23% dan HJE 35%.
Tak hanya itu, satu tahun kemudian, melalui PMK 198/2020 pemerintah kembali menaikkan tarif cukai hingga 16% dan rata-rata tertimbang sebesar 12,5% yang berlaku pada 1 Februari 2021. Pemerintah memiliki harapan bahwa kenaikan tarif cukai tersebut dapat menjadi jalan bagi pemerintah untuk menekan prevalensi merokok.
Ironisnya, meski harga rokok terus dinaikkan, fakta menunjukkan bahwa angka prevalensi merokok tidak mengalami perubahan yang signifikan, setidaknya dalam kurun waktu lima tahun (2013-2018). Prevalensi merokok usia dini terus meningkat dari 2013 sebesar 7,2% hingga di tahun 2018 menjadi 9,1% dari jumlah penduduk usia dini di Indonesia.
Di sisi lain, Data riskesdas (2018) menunjukkan bahwa proporsi penduduk usia > 10 tahun di Indonesia dari tahun 2013 hingga 2018 yang mengkonsumsi rokok setiap hari tidak mengalami perubahan sama sekali, yakni sebesar 24,3%. Sedangkan bagi perokok yang mengkonsumsi rokok kadang-kadang, hanya terdapat penurunan tipis selama lima tahun yakni dari 5% (2013) hanya menjadi 4,6% (2018). Data tersebut menunjukkan bahwa kenaikan tarif cukai dan harga rokok yang terus menerus terjadi belum efektif menekan angka prevalensi merokok di Indonesia.
Di lain pihak, fakta justru menunjukkan bahwa dampak dari kenaikan tarif cukai dan harga rokok berdampak langsung pada keberlangsungan IHT. Data menunjukan bahwa penurunan jumlah pabrikan rokok terus terjadi, di mana pada tahun 2007 jumlah pabrikan rokok mencapai 4.793 namun pada tahun 2018 hanya tersisa 456 pabrikan rokok.
Dengan kata lain, hanya tinggal kurang dari 10% saja dari jumlah pabrikan rokok di tahun 2007 yang mampu bertahan sampai saat ini. Selain itu, volume produksi IHT menunjukkan trend penurunan dan juga penurunan pertumbuhan produksi.
Berdasarkan data Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (2020) menunjukkan bahwa sejak 2014, volume produksi IHT terus mengalami penurunan. Bahkan pada tahun 2020 – di masa pandemi – IHT mengalami penurunan volume produksi rokok terbesar dalam delapan tahun terakhir, yakni hingga minus 9,7%.
Salah satu tantangan terbesar IHT selain kebijakan cukai ialah tentang besarnya peredaran rokok ilegal. Jika ditelaah lebih lanjut, peredaran rokok ilegal tidak hanya terjadi di Indonesia melainkan juga terjadi di beberapa negara lainnya. Adapun besarnya peredaran rokok ilegal di Indonesia maupun di dunia merupakan efek domino yang timbul akibat kenaikan tarif cukai dan harga rokok yang terus menerus terjadi.
Salah satu penyebab tingginya peredaran rokok ilegal adalah untuk memenuhi permintaan dari masyarakat. Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa kenaikan tarif cukai dapat memberikan dampak yang signifikan terhadap peredaran rokok ilegal.
Perokok dengan pendapatan yang lebih rendah cenderung untuk membeli rokok ilegal sebagai kompensasi atas kenaikan harga rokok akibat kenaikan tarif cukai. Oleh sebab itu, menjadi sebuah keniscayaan ketika kenaikan tarif cukai dan harga rokok terus terjadi namun prevalensi angka merokok belum juga dapat ditekan.
Roadmap IHT Sebagai Solusi Berkeadilan
Kebijakan cukai sangat berpengaruh terhadap kinerja IHT legal namun tidak menyasar rokok ilegal. Dari data DJBC, tarif cukai hasil tembakau telah melewati titik optimum untuk menghasilkan penerimaan. Sehingga, kebijakan tarif cukai hasil tembakau hanya berdampak pada berkurangnya produksi rokok legal, namun tidak dapat menurunkan konsumsi secara agregat, mengingat masih adanya peredaran rokok ilegal.
Merujuk pada 4 arahan kebijakan cukai hasil tembakau yang disampaikan Presiden Joko Widodo dalam rapat internal pada 20 Oktober 2020 lalu menyebutkan bahwa memperhatikan keberlangsungan industri dalam negeri menjadi prioritas di samping memberikan perhatian juga pada perlindungan kesehatan bagi masyarakat dengan pengendalian konsumsi rokok. Keberlangsungan industri dalam negeri juga menjadi pertimbangan mengingat besarnya multiplier effect yang dimiliki IHT di sektor ekonomi.
Setidaknya terdapat enam juta manusia yang masih menggantungkan nasib di sektor pertembakauan. Selain itu, dalam arahan Presiden tersebut juga disampaikan bahwa perlu memperhatikan penerimaan negara, mengingat pendapatan CHT dapat mendukung program pembangunan nasional melalui penerimaan negara. Selanjutnya, Presiden juga memberikan arahan terkait pencegahan rokok ilegal yang dipengaruhi oleh harga rokok.
Saat ini, penyusunan peta jalan (roadmap) IHT yang komprehensif dengan mempertimbangkan aspek kesehatan, ekonomi, pendapatan negara, tenaga kerja, pertanian, serta menjaga kelestarian budaya mendesak untuk segera dilakukan pemerintah. Kepastian tarif dan kebijakan CHT sangat diperlukan mengingat rantai produksi-distribusi usaha yang melibatkan banyak pihak dari petani, pabrik, buruh, distribusi, logistik, hingga pengecer warung.
Di sisi lain, pemerintah juga perlu membangun komitmen melestarikan tembakau, rokok kretek, dan pengembangan IHT berbasis sumber daya lokal yang mampu mengaktualisasikan, menjaga nilai-nilai sosial budaya, dan kearifan lokal bangsa Indonesia. Kini para stakeholders di sektor IHT perlu duduk bersama untuk menyelaraskan pemikiran dengan mengutamakan prinsip partisipatif, terbuka, dan holistik agar terciptanya kebijakan cukai hasil tembakau (CHT) yang lebih deliberatif, inklusif, dan mengedepankan persaingan usaha yang sehat.
Harmonisasi regulasi penting untuk kelangsungan IHT dan memberi arah yang jelas bagi seluruh stakeholders IHT. Roadmap adalah solusi yang dapat menjadi guidance para pengambil kebijakan, sehingga kebijakan-kebijakan terkait cukai IHT ke depan memberikan rasa keadilan dan tetap menjaga kesinambungan IHT. Semoga.
(poe)