Kamp Plantungan, Penjara Perempuan Simpatisan Gerwani
Kamis, 23 September 2021 - 05:24 WIB
JAKARTA - Kamp Plantungan, merupakan penjara bagi tahanan politik (Tapol) perempuan yang terlibat dalam gerakan Partai Komunis Indonesia (PKI) 1965. Di kamp ini, ratusan tahanan perempuan di asingkan belasan tahun di bawah pengawasan ketat aparat keamanan tanpa pernah diadili.
Pascatragedi kemanusiaan Gerakan 30 September 1965 (G30/S/PKI) yang menyebabkan gugurnya tujuh perwira TNI Angkatan Darat (AD). Peta perpolitikan di Tanah Air berubah drastis. Kelompok yang terlibat maupun dituduh terlibat dalam gerakan PKI langsung diburu aparat keamanan. Bahkan, tidak sedikit anggota dan simpatisan PKI yang menjadi korban pembantaian massal.
Sementara mereka yang selamat dan tertangkap langsung dijebloskan ke sel tahanan untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya. Untuk pria, mereka ditahan di Pulau Buru, Maluku. Sedangkan untuk tahanan perempuan, mereka menghuni rumah-rumah tahanan di berbagai kota di Pulau Jawa seperti, penjara Bukit Duri, Jakarta Selatan, penjara Pesing, Jakarta Barat, penjara Wirogunan, Yogyakarta, penjara Wanita Bulu, Semarang. Termasuk penjara Undaan, Surabaya dan penjara lainnya di Solo dan Ambarawa sebelum akhirnya dipindah ke Kamp Plantungan untuk memudahkan pengawasan oleh aparat keamanan.
Kepala Subdirektorat Pemahaman Sejarah Direktorat Jenderal Sejarah dan Purbakala, Amurwani Dwi Lestariningsih dalam buku berjudul “Gerwani: Kisah Tapol Wanita di Kamp Plantungan” disebutkan, pemindahan sejumlah tapol wanita ke Kamp Plantungan oleh pemerintah Indonesia agar para tapol menjadi lebih terampil. Bekal keterampilan nantinya dapat digunakan ketika tapol kembali ke kehidupan masyarakat luar. Selain itu, pemindahan tapol ke Kamp Plantungan dapat memangkas anggaran belanja pemerintah.
Sejak Juni 1971 para tapol mulai menempati Kamp Plantungan. Dalam perjalanannya, kamp yang berada di bawah kaki Gunung Prahu, Kabupaten Kendal, Jawa Tengah ini seringkali disebut sebagai “Pulau Buru” nya tapol perempuan yang pernah menjadi anggota maupun simpatisan PKI dan organisasi afiliasinya seperti, Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani), Lembaga Kesenian Rakyat (Lekra), anggota Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI) dan sebagainya. Di Kamp ini pula para tahanan dikabarkan mendapat tekanan, penyiksaan bahkan pelecehan.
Kamp Plantungan sendiri memiliki enam blok besar yang dipagari dengan kawat berduri yakni, Blok A, B, C, D, E, dan F. Setiap bloknya berbentuk empat persegi panjang dengan dinding tembok dan lantainya terbuat dari plesteran semen. Setiap blok memiliki ketua dan wakil yang bertugas mengoordinasi para tahanan. Bagi tahanan yang masuk dalam klasifikasi berat seperti dosen, seniman, guru, tenaga kesehatan maupun profesi lainnya yang memiliki nama besar dan dikenal publik dikategorikan dalam golongan B. Mereka ditempatkan di Blok C.
Hal ini sesuai dengan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 13/Kogam/7/1966, tahanan golongan B adalah mereka yang terlibat secara tidak langsung dengan perencanaan pengkhianatan terhadap negara. Mereka adalah kaum yang telah mengetahui adanya gerakan pengkhianatan, menunjukkan sikap yang bersifat menyetujui gerakan tersebut, atau menghambat usaha-usaha penumpasan gerakan pengkhianatan. Mereka yang telah bersumpah kepada Partai Komunis Indonesia atau organisasi masyarakat yang seasas aktivitasnya juga termasuk dalam golongan ini.
Dalam bukunya tersebut, Amurwani menyebut pada 1968 ada sekitar 63.894 perempuan yang menjadi tahanan di kamp ini. Di antaranya Ketua Umum Gerwani Umi Sardjono, anggota MPRS Salawati Daud, istri pelukis S. Sudjojono Mia Bustam, dan sejumlah tokoh politik wanita lainnya. Selama di penjara, para tahanan diajarkan ilmu agama, politik, sosial dan ekonomi. Khusus setiap Sabtu atau hari indoktrinasi, para tahanan diminta mempelajari Pedoman Penghayatan Pengamalan Pancasila (P4).
“Saat pertama kami masuk sebagai tahanan di sini, alang-alangnya setinggi ini,” ujar Sumilah mantan tapol di Kamp Plantungan sembari menunjuk dadanya sebagai penanda tinggi alang-alang.
Pascatragedi kemanusiaan Gerakan 30 September 1965 (G30/S/PKI) yang menyebabkan gugurnya tujuh perwira TNI Angkatan Darat (AD). Peta perpolitikan di Tanah Air berubah drastis. Kelompok yang terlibat maupun dituduh terlibat dalam gerakan PKI langsung diburu aparat keamanan. Bahkan, tidak sedikit anggota dan simpatisan PKI yang menjadi korban pembantaian massal.
Sementara mereka yang selamat dan tertangkap langsung dijebloskan ke sel tahanan untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya. Untuk pria, mereka ditahan di Pulau Buru, Maluku. Sedangkan untuk tahanan perempuan, mereka menghuni rumah-rumah tahanan di berbagai kota di Pulau Jawa seperti, penjara Bukit Duri, Jakarta Selatan, penjara Pesing, Jakarta Barat, penjara Wirogunan, Yogyakarta, penjara Wanita Bulu, Semarang. Termasuk penjara Undaan, Surabaya dan penjara lainnya di Solo dan Ambarawa sebelum akhirnya dipindah ke Kamp Plantungan untuk memudahkan pengawasan oleh aparat keamanan.
Kepala Subdirektorat Pemahaman Sejarah Direktorat Jenderal Sejarah dan Purbakala, Amurwani Dwi Lestariningsih dalam buku berjudul “Gerwani: Kisah Tapol Wanita di Kamp Plantungan” disebutkan, pemindahan sejumlah tapol wanita ke Kamp Plantungan oleh pemerintah Indonesia agar para tapol menjadi lebih terampil. Bekal keterampilan nantinya dapat digunakan ketika tapol kembali ke kehidupan masyarakat luar. Selain itu, pemindahan tapol ke Kamp Plantungan dapat memangkas anggaran belanja pemerintah.
Sejak Juni 1971 para tapol mulai menempati Kamp Plantungan. Dalam perjalanannya, kamp yang berada di bawah kaki Gunung Prahu, Kabupaten Kendal, Jawa Tengah ini seringkali disebut sebagai “Pulau Buru” nya tapol perempuan yang pernah menjadi anggota maupun simpatisan PKI dan organisasi afiliasinya seperti, Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani), Lembaga Kesenian Rakyat (Lekra), anggota Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI) dan sebagainya. Di Kamp ini pula para tahanan dikabarkan mendapat tekanan, penyiksaan bahkan pelecehan.
Kamp Plantungan sendiri memiliki enam blok besar yang dipagari dengan kawat berduri yakni, Blok A, B, C, D, E, dan F. Setiap bloknya berbentuk empat persegi panjang dengan dinding tembok dan lantainya terbuat dari plesteran semen. Setiap blok memiliki ketua dan wakil yang bertugas mengoordinasi para tahanan. Bagi tahanan yang masuk dalam klasifikasi berat seperti dosen, seniman, guru, tenaga kesehatan maupun profesi lainnya yang memiliki nama besar dan dikenal publik dikategorikan dalam golongan B. Mereka ditempatkan di Blok C.
Hal ini sesuai dengan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 13/Kogam/7/1966, tahanan golongan B adalah mereka yang terlibat secara tidak langsung dengan perencanaan pengkhianatan terhadap negara. Mereka adalah kaum yang telah mengetahui adanya gerakan pengkhianatan, menunjukkan sikap yang bersifat menyetujui gerakan tersebut, atau menghambat usaha-usaha penumpasan gerakan pengkhianatan. Mereka yang telah bersumpah kepada Partai Komunis Indonesia atau organisasi masyarakat yang seasas aktivitasnya juga termasuk dalam golongan ini.
Dalam bukunya tersebut, Amurwani menyebut pada 1968 ada sekitar 63.894 perempuan yang menjadi tahanan di kamp ini. Di antaranya Ketua Umum Gerwani Umi Sardjono, anggota MPRS Salawati Daud, istri pelukis S. Sudjojono Mia Bustam, dan sejumlah tokoh politik wanita lainnya. Selama di penjara, para tahanan diajarkan ilmu agama, politik, sosial dan ekonomi. Khusus setiap Sabtu atau hari indoktrinasi, para tahanan diminta mempelajari Pedoman Penghayatan Pengamalan Pancasila (P4).
“Saat pertama kami masuk sebagai tahanan di sini, alang-alangnya setinggi ini,” ujar Sumilah mantan tapol di Kamp Plantungan sembari menunjuk dadanya sebagai penanda tinggi alang-alang.
Lihat Juga :
tulis komentar anda