Kamp Plantungan, Penjara Perempuan Simpatisan Gerwani
loading...
A
A
A
JAKARTA - Kamp Plantungan, merupakan penjara bagi tahanan politik (Tapol) perempuan yang terlibat dalam gerakan Partai Komunis Indonesia (PKI) 1965. Di kamp ini, ratusan tahanan perempuan di asingkan belasan tahun di bawah pengawasan ketat aparat keamanan tanpa pernah diadili.
Pascatragedi kemanusiaan Gerakan 30 September 1965 (G30/S/PKI) yang menyebabkan gugurnya tujuh perwira TNI Angkatan Darat (AD). Peta perpolitikan di Tanah Air berubah drastis. Kelompok yang terlibat maupun dituduh terlibat dalam gerakan PKI langsung diburu aparat keamanan. Bahkan, tidak sedikit anggota dan simpatisan PKI yang menjadi korban pembantaian massal.
Sementara mereka yang selamat dan tertangkap langsung dijebloskan ke sel tahanan untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya. Untuk pria, mereka ditahan di Pulau Buru, Maluku. Sedangkan untuk tahanan perempuan, mereka menghuni rumah-rumah tahanan di berbagai kota di Pulau Jawa seperti, penjara Bukit Duri, Jakarta Selatan, penjara Pesing, Jakarta Barat, penjara Wirogunan, Yogyakarta, penjara Wanita Bulu, Semarang. Termasuk penjara Undaan, Surabaya dan penjara lainnya di Solo dan Ambarawa sebelum akhirnya dipindah ke Kamp Plantungan untuk memudahkan pengawasan oleh aparat keamanan.
Kepala Subdirektorat Pemahaman Sejarah Direktorat Jenderal Sejarah dan Purbakala, Amurwani Dwi Lestariningsih dalam buku berjudul “Gerwani: Kisah Tapol Wanita di Kamp Plantungan” disebutkan, pemindahan sejumlah tapol wanita ke Kamp Plantungan oleh pemerintah Indonesia agar para tapol menjadi lebih terampil. Bekal keterampilan nantinya dapat digunakan ketika tapol kembali ke kehidupan masyarakat luar. Selain itu, pemindahan tapol ke Kamp Plantungan dapat memangkas anggaran belanja pemerintah.
Sejak Juni 1971 para tapol mulai menempati Kamp Plantungan. Dalam perjalanannya, kamp yang berada di bawah kaki Gunung Prahu, Kabupaten Kendal, Jawa Tengah ini seringkali disebut sebagai “Pulau Buru” nya tapol perempuan yang pernah menjadi anggota maupun simpatisan PKI dan organisasi afiliasinya seperti, Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani), Lembaga Kesenian Rakyat (Lekra), anggota Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI) dan sebagainya. Di Kamp ini pula para tahanan dikabarkan mendapat tekanan, penyiksaan bahkan pelecehan.
Kamp Plantungan sendiri memiliki enam blok besar yang dipagari dengan kawat berduri yakni, Blok A, B, C, D, E, dan F. Setiap bloknya berbentuk empat persegi panjang dengan dinding tembok dan lantainya terbuat dari plesteran semen. Setiap blok memiliki ketua dan wakil yang bertugas mengoordinasi para tahanan. Bagi tahanan yang masuk dalam klasifikasi berat seperti dosen, seniman, guru, tenaga kesehatan maupun profesi lainnya yang memiliki nama besar dan dikenal publik dikategorikan dalam golongan B. Mereka ditempatkan di Blok C.
Hal ini sesuai dengan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 13/Kogam/7/1966, tahanan golongan B adalah mereka yang terlibat secara tidak langsung dengan perencanaan pengkhianatan terhadap negara. Mereka adalah kaum yang telah mengetahui adanya gerakan pengkhianatan, menunjukkan sikap yang bersifat menyetujui gerakan tersebut, atau menghambat usaha-usaha penumpasan gerakan pengkhianatan. Mereka yang telah bersumpah kepada Partai Komunis Indonesia atau organisasi masyarakat yang seasas aktivitasnya juga termasuk dalam golongan ini.
Dalam bukunya tersebut, Amurwani menyebut pada 1968 ada sekitar 63.894 perempuan yang menjadi tahanan di kamp ini. Di antaranya Ketua Umum Gerwani Umi Sardjono, anggota MPRS Salawati Daud, istri pelukis S. Sudjojono Mia Bustam, dan sejumlah tokoh politik wanita lainnya. Selama di penjara, para tahanan diajarkan ilmu agama, politik, sosial dan ekonomi. Khusus setiap Sabtu atau hari indoktrinasi, para tahanan diminta mempelajari Pedoman Penghayatan Pengamalan Pancasila (P4).
“Saat pertama kami masuk sebagai tahanan di sini, alang-alangnya setinggi ini,” ujar Sumilah mantan tapol di Kamp Plantungan sembari menunjuk dadanya sebagai penanda tinggi alang-alang.
Menurut Sumilah, ketika tiba di Plantungan pada 1971, dirinya bersama tahanan lainnya harus menyiapkan sendiri tempat tinggal mereka mulai dari membabat tanaman merambat dan membersihkan alang-alang. Karena jauh sebelum menjadi kamp tahanan, bangunan di Kompleks Kamp Plantungan adalah rumah sakit militer yang dibangun Belanda pada 1870.
Kemudian, rumah sakit tersebut diubah menjadi lepratorium di tahun 1929. Pada 1960 rumah sakit tersebut berhenti beroperasi. Setelah dilakukan perbaikan pada 1969, pemerintah Indonesia menggunakan bangunan tersebut sebagai penjara anak-anak. Barulah pada Juni 1971 pemerintah Indonesia mengubahnya menjadi pusat rehabilitasi tahanan politik (tapol) G30S wanita golongan B.
Sumilah sendiri pernah ditahan di Penjara Wirogunan, Yogyakarta dan penjara wanita Bulu, Semarang sebelum akhirnya diasingkan di Kamp Plantungan tanpa peradilan. Ia dipenjara sejak November 1965 sampai dengan November 1979. “Saya ditahan sejak usia 14 tahun hanya karena senang menari Genjer-genjer,” kenang Sumilah.
Pada mulanya, Sumilah adalah korban salah tangkap aparat. Pasalnya, buron yang dimaksud adalah seorang guru SMP yang tinggal di lain desa. Hal itu pun baru diketahuinya saat pindah ke Plantungan, setelah dia melewati masa penahanan selama enam tahun.
Masa penahanan para tapol di Kamp Plantungan berakhir setelah Palang Merah Internasional mendesak pemerintah Indonesia mengembalikan para tahanan politik ke masyarakat. Pada 1975, pemerintahan Soeharto mulai membebaskan mereka. Sedangkan, 45 tahanan yang digolongkan berideologi komunis kuat selanjutnya direlokasi ke "inrehab" Bulu, Semarang, pada 1976. Tiga di antaranya, dokter Sumiyarsi, Mia Bustam, juga wartawan Istana, Roswati. Sedangkan, tahanan lainnya resmi meninggalkan Plantungan pada 1978-1979.
Kini Kamp Plantungan sudah berubah, tak ada lagi bangunan blok tahanan tapol perempuan. Pascabanjir bandang yang memporak-porandakan Kamp Plantungan pada 1990 silam. Pemerintah kemudian mengalihfungsikan kawasan tersebut sebagai tempat wisata pada 2000 yang kini dikenal dengan sebutan Bumi Perkemahan Jodipati Plantungan.
Sumber:
Wikipedia
Balairung Press UGM
Diolah dari berbagai sumber
Pascatragedi kemanusiaan Gerakan 30 September 1965 (G30/S/PKI) yang menyebabkan gugurnya tujuh perwira TNI Angkatan Darat (AD). Peta perpolitikan di Tanah Air berubah drastis. Kelompok yang terlibat maupun dituduh terlibat dalam gerakan PKI langsung diburu aparat keamanan. Bahkan, tidak sedikit anggota dan simpatisan PKI yang menjadi korban pembantaian massal.
Sementara mereka yang selamat dan tertangkap langsung dijebloskan ke sel tahanan untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya. Untuk pria, mereka ditahan di Pulau Buru, Maluku. Sedangkan untuk tahanan perempuan, mereka menghuni rumah-rumah tahanan di berbagai kota di Pulau Jawa seperti, penjara Bukit Duri, Jakarta Selatan, penjara Pesing, Jakarta Barat, penjara Wirogunan, Yogyakarta, penjara Wanita Bulu, Semarang. Termasuk penjara Undaan, Surabaya dan penjara lainnya di Solo dan Ambarawa sebelum akhirnya dipindah ke Kamp Plantungan untuk memudahkan pengawasan oleh aparat keamanan.
Kepala Subdirektorat Pemahaman Sejarah Direktorat Jenderal Sejarah dan Purbakala, Amurwani Dwi Lestariningsih dalam buku berjudul “Gerwani: Kisah Tapol Wanita di Kamp Plantungan” disebutkan, pemindahan sejumlah tapol wanita ke Kamp Plantungan oleh pemerintah Indonesia agar para tapol menjadi lebih terampil. Bekal keterampilan nantinya dapat digunakan ketika tapol kembali ke kehidupan masyarakat luar. Selain itu, pemindahan tapol ke Kamp Plantungan dapat memangkas anggaran belanja pemerintah.
Sejak Juni 1971 para tapol mulai menempati Kamp Plantungan. Dalam perjalanannya, kamp yang berada di bawah kaki Gunung Prahu, Kabupaten Kendal, Jawa Tengah ini seringkali disebut sebagai “Pulau Buru” nya tapol perempuan yang pernah menjadi anggota maupun simpatisan PKI dan organisasi afiliasinya seperti, Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani), Lembaga Kesenian Rakyat (Lekra), anggota Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI) dan sebagainya. Di Kamp ini pula para tahanan dikabarkan mendapat tekanan, penyiksaan bahkan pelecehan.
Kamp Plantungan sendiri memiliki enam blok besar yang dipagari dengan kawat berduri yakni, Blok A, B, C, D, E, dan F. Setiap bloknya berbentuk empat persegi panjang dengan dinding tembok dan lantainya terbuat dari plesteran semen. Setiap blok memiliki ketua dan wakil yang bertugas mengoordinasi para tahanan. Bagi tahanan yang masuk dalam klasifikasi berat seperti dosen, seniman, guru, tenaga kesehatan maupun profesi lainnya yang memiliki nama besar dan dikenal publik dikategorikan dalam golongan B. Mereka ditempatkan di Blok C.
Hal ini sesuai dengan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 13/Kogam/7/1966, tahanan golongan B adalah mereka yang terlibat secara tidak langsung dengan perencanaan pengkhianatan terhadap negara. Mereka adalah kaum yang telah mengetahui adanya gerakan pengkhianatan, menunjukkan sikap yang bersifat menyetujui gerakan tersebut, atau menghambat usaha-usaha penumpasan gerakan pengkhianatan. Mereka yang telah bersumpah kepada Partai Komunis Indonesia atau organisasi masyarakat yang seasas aktivitasnya juga termasuk dalam golongan ini.
Dalam bukunya tersebut, Amurwani menyebut pada 1968 ada sekitar 63.894 perempuan yang menjadi tahanan di kamp ini. Di antaranya Ketua Umum Gerwani Umi Sardjono, anggota MPRS Salawati Daud, istri pelukis S. Sudjojono Mia Bustam, dan sejumlah tokoh politik wanita lainnya. Selama di penjara, para tahanan diajarkan ilmu agama, politik, sosial dan ekonomi. Khusus setiap Sabtu atau hari indoktrinasi, para tahanan diminta mempelajari Pedoman Penghayatan Pengamalan Pancasila (P4).
“Saat pertama kami masuk sebagai tahanan di sini, alang-alangnya setinggi ini,” ujar Sumilah mantan tapol di Kamp Plantungan sembari menunjuk dadanya sebagai penanda tinggi alang-alang.
Menurut Sumilah, ketika tiba di Plantungan pada 1971, dirinya bersama tahanan lainnya harus menyiapkan sendiri tempat tinggal mereka mulai dari membabat tanaman merambat dan membersihkan alang-alang. Karena jauh sebelum menjadi kamp tahanan, bangunan di Kompleks Kamp Plantungan adalah rumah sakit militer yang dibangun Belanda pada 1870.
Kemudian, rumah sakit tersebut diubah menjadi lepratorium di tahun 1929. Pada 1960 rumah sakit tersebut berhenti beroperasi. Setelah dilakukan perbaikan pada 1969, pemerintah Indonesia menggunakan bangunan tersebut sebagai penjara anak-anak. Barulah pada Juni 1971 pemerintah Indonesia mengubahnya menjadi pusat rehabilitasi tahanan politik (tapol) G30S wanita golongan B.
Sumilah sendiri pernah ditahan di Penjara Wirogunan, Yogyakarta dan penjara wanita Bulu, Semarang sebelum akhirnya diasingkan di Kamp Plantungan tanpa peradilan. Ia dipenjara sejak November 1965 sampai dengan November 1979. “Saya ditahan sejak usia 14 tahun hanya karena senang menari Genjer-genjer,” kenang Sumilah.
Pada mulanya, Sumilah adalah korban salah tangkap aparat. Pasalnya, buron yang dimaksud adalah seorang guru SMP yang tinggal di lain desa. Hal itu pun baru diketahuinya saat pindah ke Plantungan, setelah dia melewati masa penahanan selama enam tahun.
Masa penahanan para tapol di Kamp Plantungan berakhir setelah Palang Merah Internasional mendesak pemerintah Indonesia mengembalikan para tahanan politik ke masyarakat. Pada 1975, pemerintahan Soeharto mulai membebaskan mereka. Sedangkan, 45 tahanan yang digolongkan berideologi komunis kuat selanjutnya direlokasi ke "inrehab" Bulu, Semarang, pada 1976. Tiga di antaranya, dokter Sumiyarsi, Mia Bustam, juga wartawan Istana, Roswati. Sedangkan, tahanan lainnya resmi meninggalkan Plantungan pada 1978-1979.
Kini Kamp Plantungan sudah berubah, tak ada lagi bangunan blok tahanan tapol perempuan. Pascabanjir bandang yang memporak-porandakan Kamp Plantungan pada 1990 silam. Pemerintah kemudian mengalihfungsikan kawasan tersebut sebagai tempat wisata pada 2000 yang kini dikenal dengan sebutan Bumi Perkemahan Jodipati Plantungan.
Sumber:
Wikipedia
Balairung Press UGM
Diolah dari berbagai sumber
(cip)