Persepsi Kemelut Dua Raksasa
Kamis, 16 September 2021 - 17:53 WIB
Sungguh pun AS memiliki hubungan baik dengan sejumlah negara seperti India, Jepang dan Australia, tetapi hubungan tersebut bisa dikatakan belum selevel dengan hubungan AS dengan sekutunya di Eropa, yang sudah teruji dalam keadaan genting/perang. Dengan lain perkataan, AS memerlukan kehadiran sekutu lamanya di Atlantik seperti Inggris, dan Prancis untuk menantang klaim sepihak China di Laut China Selatan.
AS sampai pada kesimpulan bahwa sikap apatis terhadap gejala-gejala yang berlangsung di kawasan ini, berarti suatu bencana. Sekali lagi, AS punya memori kelam di kawasan ini, sebagaimana yang pernah terjadi di masa silam dalam perang pasifik. Pengalaman itu merupakan salah satu modal berharga dalam mencermati kondisi geopolitik yang terus berkembang dan mungkin juga terkait dengan penentuan arah kebijakan.
AS tidak akan terjerumus kedalam lubang yang sama, AS pernah mengabaikan hubungan antara kemajuan industri, peningkatan jumlah alutsista dan meremehkan kalkulasi hasrat hegemoni Jepang di Asia-Pasifik. Padahal para pengamat militer dan geopolitik sudah mewanti-wanti dan meramalkan kemungkinan terjadinya perang besar di Pasifik, seperti yang ditemukan dalam uraian pakar geopolitik Jerman Karl Ernst Haushofer berjudul Geopolitik des Pazifischen Ozeans, dan Hector Bywter tentang Seapower in the Pacific. Karya-karya tersebut dibuat sekitar pertengahan 1920-an, jauh sebelum perang Pasifik meletus.
Bahkan presiden pertama RI, yang pada periode tersebut masih merupakan aktivis pergerakan nasional, menyatakan keyakinan akan terjadinya perang besar di Asia-Pasifik, hal itu sebagaimana yang tercatat dalam buku Di Bawah Bendera Revolusi, ”Kami tidak mengetahui, kapan perang lautan teduh itu akan meledak; kami tidak pula mengetahui, akan dimana pusat peledakannya; kami hanyalah mengetahui, Perang Pasifik satu ketika pasti akan meledak”.
Mengabaikan analisa historis bukan merupakan pilihan bijaksana ditengah situasi geopolitik kawasan yang sedang memanas, terlebih yang potensial memicu lahirnya konflik besar yang berdampak signifikan bagi banyak negara, tidak terkecuali Indonesia. Para aktor utama di Indo-Pasifik harus terus diingatkan tentang pentingnya memelihara situasi damai yang sudah terpelihara di kawasan ini selama beberapa dekade lamanya.
Dalam hal ini, Indonesia selalu bisa mengambil peran melalui kekuatan diplomasi dalam mempromosikan masa depan kawasan yang diliputi suasana damai sebagaimana yang telah kita lakukan di masa lalu.
AS sampai pada kesimpulan bahwa sikap apatis terhadap gejala-gejala yang berlangsung di kawasan ini, berarti suatu bencana. Sekali lagi, AS punya memori kelam di kawasan ini, sebagaimana yang pernah terjadi di masa silam dalam perang pasifik. Pengalaman itu merupakan salah satu modal berharga dalam mencermati kondisi geopolitik yang terus berkembang dan mungkin juga terkait dengan penentuan arah kebijakan.
AS tidak akan terjerumus kedalam lubang yang sama, AS pernah mengabaikan hubungan antara kemajuan industri, peningkatan jumlah alutsista dan meremehkan kalkulasi hasrat hegemoni Jepang di Asia-Pasifik. Padahal para pengamat militer dan geopolitik sudah mewanti-wanti dan meramalkan kemungkinan terjadinya perang besar di Pasifik, seperti yang ditemukan dalam uraian pakar geopolitik Jerman Karl Ernst Haushofer berjudul Geopolitik des Pazifischen Ozeans, dan Hector Bywter tentang Seapower in the Pacific. Karya-karya tersebut dibuat sekitar pertengahan 1920-an, jauh sebelum perang Pasifik meletus.
Bahkan presiden pertama RI, yang pada periode tersebut masih merupakan aktivis pergerakan nasional, menyatakan keyakinan akan terjadinya perang besar di Asia-Pasifik, hal itu sebagaimana yang tercatat dalam buku Di Bawah Bendera Revolusi, ”Kami tidak mengetahui, kapan perang lautan teduh itu akan meledak; kami tidak pula mengetahui, akan dimana pusat peledakannya; kami hanyalah mengetahui, Perang Pasifik satu ketika pasti akan meledak”.
Mengabaikan analisa historis bukan merupakan pilihan bijaksana ditengah situasi geopolitik kawasan yang sedang memanas, terlebih yang potensial memicu lahirnya konflik besar yang berdampak signifikan bagi banyak negara, tidak terkecuali Indonesia. Para aktor utama di Indo-Pasifik harus terus diingatkan tentang pentingnya memelihara situasi damai yang sudah terpelihara di kawasan ini selama beberapa dekade lamanya.
Dalam hal ini, Indonesia selalu bisa mengambil peran melalui kekuatan diplomasi dalam mempromosikan masa depan kawasan yang diliputi suasana damai sebagaimana yang telah kita lakukan di masa lalu.
(bmm)
tulis komentar anda