Persepsi Kemelut Dua Raksasa
Kamis, 16 September 2021 - 17:53 WIB
Terdapat sejumlah alasan yang melatarbelakangi “hengkangnya” AS dari Eropa dan Timur Tengah menuju Indo-Pasifik. Tetapi saya ingin menghindari alasan yang terlalu umum, seperti misalnya yang terkait dengan fakta bahwa Indo-Pasifik sebagai titik sentral pertumbuhan ekonomi global yang menjadi basis merajalelanya ekonomi China, ataupun persoalan Taiwan dan klaim China atas sebagian besar kawasan di Laut China Selatan. Juga alasan lain seperti keberhasilan China merebut singgasana AS sebagai mitra dagang terbesar bagi banyak negara di kawasan ini.
Semua alasan tersebut terlalu mainstream, dan tampaknya kita menginginkan suatu pandangan baru untuk diketengahkan. Harus diakui, China merupakan negara yang jauh lebih kuat dibanding para pesaing AS sebelumnya, baik Jepang ketika perang pasifik, maupun Uni Soviet saat perang dingin. Uni Soviet jelas-jelas tidak mampu bersaing secara ekonomi dengan AS, di mana capaian tertinggi GDP Uni Soviet bahkan tidak mencapai 50% dari GDP AS.
Sementara Jepang memiliki keterbatasan dalam hal sumber daya. Jepang tidak memiliki angkatan kerja semelimpah China, yang berguna bagi peningkatan jumlah produksi. Jepang juga banyak melakukan kesalahan fatal melalui strategi pendekatan militeristik yang tidak terukur/sporadis, yang menantang AS jauh sebelum waktunya.
Bedanya, dengan Uni Soviet adalah bahwa Jepang meruncingkan perseteruan sampai pada arena pertempuran brutal dalam teater perang pasifik. Perang tersebut, merupakan salah satu peperangan yang terberat dalam sejarah AS, selain perang melawan Vietnam dan dengan Nazi Jerman.
Pada titik ini, AS sadar betul bahwa mentalitas negara-negara Asia sama sekali tidak dapat dipandang remeh. Karenanya, kemunculan kekuatan baru dari Asia yang berusaha menantang hegemoni AS, akan disikapi dengan kewaspadaan ekstratinggi.
Namun, sekali lagi, perseturuan AS-China nampaknya sangat berbeda dan jauh lebih kompleks. Tidak saja dari haluan politik kedua negara yang satu sama lain berlawanan dan adanya perlombaan peningkatan kapasitas alustsista, tetapi juga terjadinya perang dagang yang terus meruncing di tengah hubungan ekonomi kedua negara yang saling terhubung.
Narasi dan retorika perang memang terlalu dini dan tidak dapat menggambarkan kondisi AS-China saat ini, tetapi mengabaikan potensi konflik terbuka antara dua kekuatan global tersebut juga bukan tindakan arif. Sebab akan selalu terdapat gejala-gejala yang menjadi variabel potensial lahirnya konflik terbuka antara AS-China, lewat sejumlah tanda-tanda salah satunya dari intensitas kehadiran armada tempur.
Sudah tidak terhitung jumlah armada tempur AS hilir mudik di kawasan Indo-Pasifik. Yang terbaru adalah kehadiran kapal perusak berpeluru kendali USS Curtis Wilbur yang berlayar di selat Taiwan. Sebelumnya, AS juga mengerahkan kapal penjelajah rudal USS Shiloh, dan kapal perusak rudal USS Halsey. Keduanya melakukan misi mengawal kapal induk USS Reagan di Laut China Selatan pada pertengahan Juni 2021.
Dalam satu dekade terakhir, diperkirakan lebih dari 50% kapal perang milik AS, berada di kawasan Indo-Pasifik. Jumlah tersebut nampaknya akan terus dipertahankan dan mungkin akan ditingkatkan sampai akhir masa pemerintahan Presiden Joe Biden.
Aliansi Minim Pengalaman
Semua alasan tersebut terlalu mainstream, dan tampaknya kita menginginkan suatu pandangan baru untuk diketengahkan. Harus diakui, China merupakan negara yang jauh lebih kuat dibanding para pesaing AS sebelumnya, baik Jepang ketika perang pasifik, maupun Uni Soviet saat perang dingin. Uni Soviet jelas-jelas tidak mampu bersaing secara ekonomi dengan AS, di mana capaian tertinggi GDP Uni Soviet bahkan tidak mencapai 50% dari GDP AS.
Sementara Jepang memiliki keterbatasan dalam hal sumber daya. Jepang tidak memiliki angkatan kerja semelimpah China, yang berguna bagi peningkatan jumlah produksi. Jepang juga banyak melakukan kesalahan fatal melalui strategi pendekatan militeristik yang tidak terukur/sporadis, yang menantang AS jauh sebelum waktunya.
Bedanya, dengan Uni Soviet adalah bahwa Jepang meruncingkan perseteruan sampai pada arena pertempuran brutal dalam teater perang pasifik. Perang tersebut, merupakan salah satu peperangan yang terberat dalam sejarah AS, selain perang melawan Vietnam dan dengan Nazi Jerman.
Pada titik ini, AS sadar betul bahwa mentalitas negara-negara Asia sama sekali tidak dapat dipandang remeh. Karenanya, kemunculan kekuatan baru dari Asia yang berusaha menantang hegemoni AS, akan disikapi dengan kewaspadaan ekstratinggi.
Namun, sekali lagi, perseturuan AS-China nampaknya sangat berbeda dan jauh lebih kompleks. Tidak saja dari haluan politik kedua negara yang satu sama lain berlawanan dan adanya perlombaan peningkatan kapasitas alustsista, tetapi juga terjadinya perang dagang yang terus meruncing di tengah hubungan ekonomi kedua negara yang saling terhubung.
Narasi dan retorika perang memang terlalu dini dan tidak dapat menggambarkan kondisi AS-China saat ini, tetapi mengabaikan potensi konflik terbuka antara dua kekuatan global tersebut juga bukan tindakan arif. Sebab akan selalu terdapat gejala-gejala yang menjadi variabel potensial lahirnya konflik terbuka antara AS-China, lewat sejumlah tanda-tanda salah satunya dari intensitas kehadiran armada tempur.
Sudah tidak terhitung jumlah armada tempur AS hilir mudik di kawasan Indo-Pasifik. Yang terbaru adalah kehadiran kapal perusak berpeluru kendali USS Curtis Wilbur yang berlayar di selat Taiwan. Sebelumnya, AS juga mengerahkan kapal penjelajah rudal USS Shiloh, dan kapal perusak rudal USS Halsey. Keduanya melakukan misi mengawal kapal induk USS Reagan di Laut China Selatan pada pertengahan Juni 2021.
Dalam satu dekade terakhir, diperkirakan lebih dari 50% kapal perang milik AS, berada di kawasan Indo-Pasifik. Jumlah tersebut nampaknya akan terus dipertahankan dan mungkin akan ditingkatkan sampai akhir masa pemerintahan Presiden Joe Biden.
Aliansi Minim Pengalaman
tulis komentar anda