Sistem Resi Gudang sebagai Sumber Pembiayaan Petani
Rabu, 01 September 2021 - 16:02 WIB
Meski SRG mampu memberikan manfaat bagi petani, pelaksanaannya masih sangat terbatas. Walaupun diperkenalkan sejak 2006, pelaksanaannya masih cenderung berjalan lambat karena kurangnya infrastruktur, peralatan penyimpanan, sosialisasi, dan masih terbatasnya jumlah lembaga keuangan yang menyediakan layanan kredit SRG.
Laporan Bappebti menyebutkan bahwa dari 123 gudang SRG pemerintah, hanya 35 yang aktif, 58 tidak beroperasi lagi, dan 30 belum pernah aktif. Kurangnya infrastruktur menjadi salah satu kendala dalam menerapkan SRG. Selain sedikitnya gudang yang beroperasi, tidak semua gudang dilengkapi alat-alat yang mampu menjaga kualitas hasil panen, seperti mesin pengering.
Walaupun komoditas yang masuk ke gudang harus memenuhi standar tertentu agar kualitas dan nilainya tetap sama saat pertama kali masuk dan ketika dikeluarkan dari gudang, ketiadaan alat-alat penunjang juga dapat berpengaruh kepada terjaganya mutu komoditas yang disimpan. Mutu komoditas jelas akan memengaruhi harga jualnya.
Laporan Bank Indonesia mengatakan lokasi SRG juga sering jauh dari Lembaga Penilaian Kesesuaian (LPK), yaitu perusahaan, koperasi, atau institusi pemerintahan yang berfungsi untuk melakukan sertifikasi, inspeksi, dan pengujian barang, gudang, dan pengelola gudang. Tidak semua wilayah di mana gudang berada mempunyai petugas mutu yang penting untuk memastikan bahwa mutu komoditas yang disimpan dapat terjaga dengan baik.
Jumlah gudang yang sedikit juga mengurangi minat petani mengikuti skema pembiayaan ini karena harus menanggung ongkos transportasi yang tinggi untuk mengangkut hasil panen dari sawah ke gudang yang jauh. Penelitian Gunawan (2019) menemukan bahwa semakin dekat lokasi gudang semakin tinggi kesediaan petani untuk memanfaatkan sistem resi gudang.
Lambannya implementasi juga ditandai dengan masih sedikitnya jumlah institusi keuangan yang menyediakan pembiayaan dengan resi gudang karena secara umum masih banyak skema pembiayaan yang lain yang lebih menguntungkan bagi bank. Data dari PT Kliring Berjangka Indonesia memperlihatkan bahwa hanya ada 40 institusi yang memberikan layanan ini.
Masalah terakhir adalah kurangnya sosialisasi mengenai sistem resi gudang kepada petani. Selama ini, sosialisasi juga dititikberatkan pada mekanisme pendaftaran resi gudang dan bukan pada manfaat yang diterima petani, hingga tidak mendorong petani untuk menggunakan sistem resi gudang.
Rekomendasi
Pembiayaan pertanian dengan menggunakan resi gudang sebagai jaminan tidak akan berjalan efektif apabila masalah-masalah di atas tidak diatasi. Pemerintah melalui Bappebti yang bekerja sama pemerintah daerah perlu secara bertahap mengaktifkan gudang-gudang yang tidak aktif dan yang belum pernah dioperasikan.
Kerja sama juga diperlukan dengan kementerian dan lembaga, seperti Kementerian Pertanian, untuk menyediakan alat-alat penunjang di gudang penyimpanan. Selain itu, perlu adanya perluasan jaringan lembaga penguji komoditas di wilayah-wilayah yang menerapkan sistem resi gudang.
Laporan Bappebti menyebutkan bahwa dari 123 gudang SRG pemerintah, hanya 35 yang aktif, 58 tidak beroperasi lagi, dan 30 belum pernah aktif. Kurangnya infrastruktur menjadi salah satu kendala dalam menerapkan SRG. Selain sedikitnya gudang yang beroperasi, tidak semua gudang dilengkapi alat-alat yang mampu menjaga kualitas hasil panen, seperti mesin pengering.
Walaupun komoditas yang masuk ke gudang harus memenuhi standar tertentu agar kualitas dan nilainya tetap sama saat pertama kali masuk dan ketika dikeluarkan dari gudang, ketiadaan alat-alat penunjang juga dapat berpengaruh kepada terjaganya mutu komoditas yang disimpan. Mutu komoditas jelas akan memengaruhi harga jualnya.
Laporan Bank Indonesia mengatakan lokasi SRG juga sering jauh dari Lembaga Penilaian Kesesuaian (LPK), yaitu perusahaan, koperasi, atau institusi pemerintahan yang berfungsi untuk melakukan sertifikasi, inspeksi, dan pengujian barang, gudang, dan pengelola gudang. Tidak semua wilayah di mana gudang berada mempunyai petugas mutu yang penting untuk memastikan bahwa mutu komoditas yang disimpan dapat terjaga dengan baik.
Jumlah gudang yang sedikit juga mengurangi minat petani mengikuti skema pembiayaan ini karena harus menanggung ongkos transportasi yang tinggi untuk mengangkut hasil panen dari sawah ke gudang yang jauh. Penelitian Gunawan (2019) menemukan bahwa semakin dekat lokasi gudang semakin tinggi kesediaan petani untuk memanfaatkan sistem resi gudang.
Lambannya implementasi juga ditandai dengan masih sedikitnya jumlah institusi keuangan yang menyediakan pembiayaan dengan resi gudang karena secara umum masih banyak skema pembiayaan yang lain yang lebih menguntungkan bagi bank. Data dari PT Kliring Berjangka Indonesia memperlihatkan bahwa hanya ada 40 institusi yang memberikan layanan ini.
Masalah terakhir adalah kurangnya sosialisasi mengenai sistem resi gudang kepada petani. Selama ini, sosialisasi juga dititikberatkan pada mekanisme pendaftaran resi gudang dan bukan pada manfaat yang diterima petani, hingga tidak mendorong petani untuk menggunakan sistem resi gudang.
Rekomendasi
Pembiayaan pertanian dengan menggunakan resi gudang sebagai jaminan tidak akan berjalan efektif apabila masalah-masalah di atas tidak diatasi. Pemerintah melalui Bappebti yang bekerja sama pemerintah daerah perlu secara bertahap mengaktifkan gudang-gudang yang tidak aktif dan yang belum pernah dioperasikan.
Kerja sama juga diperlukan dengan kementerian dan lembaga, seperti Kementerian Pertanian, untuk menyediakan alat-alat penunjang di gudang penyimpanan. Selain itu, perlu adanya perluasan jaringan lembaga penguji komoditas di wilayah-wilayah yang menerapkan sistem resi gudang.
Lihat Juga :
tulis komentar anda