Data Lebih Mahal dari Tambang, Indonesia Perlu Lembaga Perlindungan Data
Selasa, 31 Agustus 2021 - 16:52 WIB
JAKARTA - Anggota Komisi I DPR M. Farhan mengaku geram dengan maraknya kasus kebocoran data di Tanah Air yang muncul setiap minggunya, setelah pihak swasta yakni Bukalapak dan Tokopedia, instansi pemerintah atau perusahaan BUMN seperti BPJS Kesehatan dan e-HAC juga mengalami kebocoran.
“Sebagai wakil rakyat, apakah kami marah? ya sangat marah, tetapi kalau sekedar marah, maka pertanyannya, lalu apa? lalu apakah kita bisa ngomong ke pak Hendrik, maka kita harus bersama-sama mencari sebuah solusi yang pas,” kata Farhan dalam diskusi Forum Legislasi yang bertajuk “Nasib RUU Perlindungan Data Pribadi” di Media Center DPR, Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Selasa (31/8/2021).
Farhan menjelaskan, solusi yang pas saat ini dengan menggunakan Undang-Undang Nomor 19/2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), yang mana instansi yang tidak menjamin keamanan data tersebut bisa dicabut PSE (pendaftaran sistem elektronik), sehingga penyelenggaraan sistem elektronik BPJS Kesehatan yang datanya bocor ini dicabut, imbasnya akan ada jutaan orang yang tidak bisa terlayani jaminan sosialnya, karena semuanya ditangguhkan.
“Karena pilihan berikutnya adalah kriminalisasi, maka siapapun yang bertanggung jawab terhadap penguasaan data di sana sampai bocor itu langsung dikasih ke Bareskrim dan Bareskrim selidiki terus, sampai masuk pengadilan dan penjara,” terangnya.
Namun, dia menilai bahwa dengan UU ITE unu tidak menjawab masalah bagaimana menjaga data pribadi ini. Untuk itu, dalam Rancangan Undang-Undang tentang Perlindungan Data Pribadi (RUU PDP) ini, ingin melahirkan sebuah profesi baru yaitu data protection officer, yang akan membantu para penguasa data untuk mengelola penyimpanan, penguasaan dan pengolahan data pribadi itu sesuai dengan UU.
“Bisa juga lembaga atau protection officer ini juga dalam posisi di level sebuah perusahaan atau lembaga seperti, kalau di perbankan bisa kita samakan dengan direktur compliance dan mitigasi risiko, itu sama tuh posisinya,Jadi ini posisi yang sangat tinggi, karena kalau sampai salah, dalam penguasaan dan pengelolaan data pribadi, maka ada sanksi yang menarik di RUU PDP tidak ada kriminalisasi, di RUU PDP ini akan ada denda yang sangat besar,” papar legislator Dapil Jawa Barat ini.
Menurut Farhan, otoritas perlindungan data ini tentu harus ada induknya, yakni sebuah lembaga yang punya otoritas yang kuat. Mimpinya bisa seperti Otoritas Jasa Keuangan (OJK), karena data ini sekarang lebih mahal daripada minyak atau barang tambang. Bahkan, kalau minyak dan tambang bisa habis, tapi data ini tak terbatas. “Jadi kalau kita punya perlindungan data sekuat OJK, segitu dahsyatnya itu ideal sekali,” ungkap Farhan.
Mantan pembawa acara kondang ini menambahkan, lembaga ini akan bertanggung jawab langsung di bawah presiden, dan ini sesuai dengan hasil kajian dan juga GDPR (general data protection regulation) yang ada di Eropa. Sayangnya, ada pragmatisme dan skeptisisme bahwa jika ingin membuat lembaga perlindungan data seperti OJK akan memakan waktu berapa lama, dan seberapa besar dukungan anggarannya.
Karena, politikus Partai Nasdem ini menjelaskan, Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) sebagai lembaga pertahanan siber nasional membutuhkan anggaran Rp 4 triliun per tahun, namun realsiasinya hanya Rp 400 miliar, turun 50% karena refocusing untuk penanganan pandemi Covid-19. Sehingga, menurutnya, yang paling realistis adalah lembaga ini dibentuk di bawah Kominfo untuk sementara waktu.
“Bahwa nanti dalam perkembangan berikutnya kita lakukan evaluasi lembaga ini makin lama makin besar, sehingga nanti bisa menjadi keberadaan Kominfo, ya boleh dipecah, persis seperti BI (Bank Indonesia) dan OJK. Kalau langsung dibikin sekarang efektifnya bisa 3 sampai 5 tahun bos, selama lembaga itu nggak efektif maka percuma juga kita sekarang ribut-ribut punya undang-undang dan bicara soal pencegahan kebocoran data serta perlindungan data pribadi. Jadi yang saya tawarkan disini adalah sebuah narasi tentang pragmatisme dan idealisme, dua-duanya bagus bagus, hati kita harus memilih dengan konsekuensinya masing-masing terima kasih,” tandas Farhan.
“Sebagai wakil rakyat, apakah kami marah? ya sangat marah, tetapi kalau sekedar marah, maka pertanyannya, lalu apa? lalu apakah kita bisa ngomong ke pak Hendrik, maka kita harus bersama-sama mencari sebuah solusi yang pas,” kata Farhan dalam diskusi Forum Legislasi yang bertajuk “Nasib RUU Perlindungan Data Pribadi” di Media Center DPR, Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Selasa (31/8/2021).
Farhan menjelaskan, solusi yang pas saat ini dengan menggunakan Undang-Undang Nomor 19/2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), yang mana instansi yang tidak menjamin keamanan data tersebut bisa dicabut PSE (pendaftaran sistem elektronik), sehingga penyelenggaraan sistem elektronik BPJS Kesehatan yang datanya bocor ini dicabut, imbasnya akan ada jutaan orang yang tidak bisa terlayani jaminan sosialnya, karena semuanya ditangguhkan.
“Karena pilihan berikutnya adalah kriminalisasi, maka siapapun yang bertanggung jawab terhadap penguasaan data di sana sampai bocor itu langsung dikasih ke Bareskrim dan Bareskrim selidiki terus, sampai masuk pengadilan dan penjara,” terangnya.
Namun, dia menilai bahwa dengan UU ITE unu tidak menjawab masalah bagaimana menjaga data pribadi ini. Untuk itu, dalam Rancangan Undang-Undang tentang Perlindungan Data Pribadi (RUU PDP) ini, ingin melahirkan sebuah profesi baru yaitu data protection officer, yang akan membantu para penguasa data untuk mengelola penyimpanan, penguasaan dan pengolahan data pribadi itu sesuai dengan UU.
“Bisa juga lembaga atau protection officer ini juga dalam posisi di level sebuah perusahaan atau lembaga seperti, kalau di perbankan bisa kita samakan dengan direktur compliance dan mitigasi risiko, itu sama tuh posisinya,Jadi ini posisi yang sangat tinggi, karena kalau sampai salah, dalam penguasaan dan pengelolaan data pribadi, maka ada sanksi yang menarik di RUU PDP tidak ada kriminalisasi, di RUU PDP ini akan ada denda yang sangat besar,” papar legislator Dapil Jawa Barat ini.
Menurut Farhan, otoritas perlindungan data ini tentu harus ada induknya, yakni sebuah lembaga yang punya otoritas yang kuat. Mimpinya bisa seperti Otoritas Jasa Keuangan (OJK), karena data ini sekarang lebih mahal daripada minyak atau barang tambang. Bahkan, kalau minyak dan tambang bisa habis, tapi data ini tak terbatas. “Jadi kalau kita punya perlindungan data sekuat OJK, segitu dahsyatnya itu ideal sekali,” ungkap Farhan.
Mantan pembawa acara kondang ini menambahkan, lembaga ini akan bertanggung jawab langsung di bawah presiden, dan ini sesuai dengan hasil kajian dan juga GDPR (general data protection regulation) yang ada di Eropa. Sayangnya, ada pragmatisme dan skeptisisme bahwa jika ingin membuat lembaga perlindungan data seperti OJK akan memakan waktu berapa lama, dan seberapa besar dukungan anggarannya.
Karena, politikus Partai Nasdem ini menjelaskan, Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) sebagai lembaga pertahanan siber nasional membutuhkan anggaran Rp 4 triliun per tahun, namun realsiasinya hanya Rp 400 miliar, turun 50% karena refocusing untuk penanganan pandemi Covid-19. Sehingga, menurutnya, yang paling realistis adalah lembaga ini dibentuk di bawah Kominfo untuk sementara waktu.
“Bahwa nanti dalam perkembangan berikutnya kita lakukan evaluasi lembaga ini makin lama makin besar, sehingga nanti bisa menjadi keberadaan Kominfo, ya boleh dipecah, persis seperti BI (Bank Indonesia) dan OJK. Kalau langsung dibikin sekarang efektifnya bisa 3 sampai 5 tahun bos, selama lembaga itu nggak efektif maka percuma juga kita sekarang ribut-ribut punya undang-undang dan bicara soal pencegahan kebocoran data serta perlindungan data pribadi. Jadi yang saya tawarkan disini adalah sebuah narasi tentang pragmatisme dan idealisme, dua-duanya bagus bagus, hati kita harus memilih dengan konsekuensinya masing-masing terima kasih,” tandas Farhan.
(cip)
Lihat Juga :
tulis komentar anda