Imperialisme Hoaks Masa Pandemi
Selasa, 31 Agustus 2021 - 06:28 WIB
Rian Fauzi
Dosen Pendidikan Sejarah STKIP Setiabudhi Rangkasbitung
ILMU sejarah adalah satu dari sekian ilmu yang memegang prinsip serta kaidah yang menekankan pada perlunya otentisitas sumber, baik sumber tertulis maupun lisan. Sumber-sumber yang dianggap valid dan berimbang (objektif) merupakan instrumen penting bagi upaya rekonstruksi sejarah.
Bagi mahasiswa Pendidikan Sejarah terutama yang tengah menyusun tugas akhir, akan mengalami pergulatan dalam mencari, mengumpulkan, dan memilah data/sumber, atau yang biasa disebut kegiatan heuristik. Kegiatan tersebut diperlukan sebelum melakukan verifikasi, interpretasi, dan melakukan kritik terhadap sumber-sumber yang diperoleh agar kegiatan penulisan sejarah (historiografi) dilandasi justifikasi ilmiah.
Saya termasuk yang pernah mengalami sukarnya menempuh semua proses tersebut. Tetapi, belakangan saya merasa beruntung telah diajarkan untuk terbiasa mengolah validitas sumber hingga ke akarnya. Saya jadi kritis terhadap teks, terhadap pemberitaan, terhadap opini publik, jauh sebelum hingar berita hoaks hilir-mudik di antara grup WhatsApp dan di hampir semua platform media sosial.
Tulisan ini tidak ditujukan untuk memperlihatkan sisi lain dari keunggulan ilmu sejarah dari ilmu lainnnya karena pada dasarnya semua ilmu memiliki model metodologi serupa. Tetapi, yang khas dari ilmu sejarah ialah penekanannya terhadap uji validitas data atau sumber. Bahkan suatu sumber yang dianggap sezaman (primer), objektif, dan berasal dari media kredibel sekalipun tetap tidak luput dari kritik.
Dijajah Hoaks
Dalam pengertian sederhana, untuk memperoleh gambaran proporsional tentang suatu realitas, seseorang memerlukan upaya yang dilandasi sikap kritis terhadap setiap informasi yang diperolehnya. Sebab, disadari ataupun tidak, kebenaran tidak bisa benar-benar kita ketahui hanya dengan menerima informasi melalui kata ataupun tulisan, tanpa terlebih dahulu menelusuri otentisitasnya. Budaya berpikir semacam itu tentu diperlukan untuk terhindar dari bahaya laten hoaks, yang saat ini serupa dengan kolonialisme jenis baru.
Persoalannya sekarang apakah masyarakat kita terdidik dengan budaya berpikir kritis semacam itu? Apakah masyarakat kita mengetahui bahwa setiap berita itu ada kadar kebenarannya? Apakah masyarakat kita mengetahui bahwa ada berita yang bahkan kadar kebenarannya di angka nol?
Dosen Pendidikan Sejarah STKIP Setiabudhi Rangkasbitung
ILMU sejarah adalah satu dari sekian ilmu yang memegang prinsip serta kaidah yang menekankan pada perlunya otentisitas sumber, baik sumber tertulis maupun lisan. Sumber-sumber yang dianggap valid dan berimbang (objektif) merupakan instrumen penting bagi upaya rekonstruksi sejarah.
Bagi mahasiswa Pendidikan Sejarah terutama yang tengah menyusun tugas akhir, akan mengalami pergulatan dalam mencari, mengumpulkan, dan memilah data/sumber, atau yang biasa disebut kegiatan heuristik. Kegiatan tersebut diperlukan sebelum melakukan verifikasi, interpretasi, dan melakukan kritik terhadap sumber-sumber yang diperoleh agar kegiatan penulisan sejarah (historiografi) dilandasi justifikasi ilmiah.
Saya termasuk yang pernah mengalami sukarnya menempuh semua proses tersebut. Tetapi, belakangan saya merasa beruntung telah diajarkan untuk terbiasa mengolah validitas sumber hingga ke akarnya. Saya jadi kritis terhadap teks, terhadap pemberitaan, terhadap opini publik, jauh sebelum hingar berita hoaks hilir-mudik di antara grup WhatsApp dan di hampir semua platform media sosial.
Tulisan ini tidak ditujukan untuk memperlihatkan sisi lain dari keunggulan ilmu sejarah dari ilmu lainnnya karena pada dasarnya semua ilmu memiliki model metodologi serupa. Tetapi, yang khas dari ilmu sejarah ialah penekanannya terhadap uji validitas data atau sumber. Bahkan suatu sumber yang dianggap sezaman (primer), objektif, dan berasal dari media kredibel sekalipun tetap tidak luput dari kritik.
Dijajah Hoaks
Dalam pengertian sederhana, untuk memperoleh gambaran proporsional tentang suatu realitas, seseorang memerlukan upaya yang dilandasi sikap kritis terhadap setiap informasi yang diperolehnya. Sebab, disadari ataupun tidak, kebenaran tidak bisa benar-benar kita ketahui hanya dengan menerima informasi melalui kata ataupun tulisan, tanpa terlebih dahulu menelusuri otentisitasnya. Budaya berpikir semacam itu tentu diperlukan untuk terhindar dari bahaya laten hoaks, yang saat ini serupa dengan kolonialisme jenis baru.
Persoalannya sekarang apakah masyarakat kita terdidik dengan budaya berpikir kritis semacam itu? Apakah masyarakat kita mengetahui bahwa setiap berita itu ada kadar kebenarannya? Apakah masyarakat kita mengetahui bahwa ada berita yang bahkan kadar kebenarannya di angka nol?
tulis komentar anda